Demokrasi Masih Sekadar Formalitas, Politik Uang Terus Marak

Rabu, 27 Januari 2021 - 16:37 WIB
loading...
Demokrasi Masih Sekadar Formalitas, Politik Uang Terus Marak
demokrasi di Indonesia memiliki tantangan tersendiri jika dikaitkan dengan politik uang, mulai dari politik berbiaya tinggi hingga indikasi aktor politisi yang tidak kompeten yang tawarkan kepada publik dalam proses elektoral. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar diksusi Seri ke-12 Forum 100 Ilmuwan Sosial dan Politik, Selasa 26 Januari 2021.

Dinamika politik uang dalam kontestasi politik yang nyaris selalu dikaitkan dengan partai politik menjadi topik bahasan diskusi kali ini.

Diskusi menghadirkan Ward Berenschot, pemikir dari Belanda yang telah menerbitkan buku Democracy for Sale pad 2019, pakar politik Burhanudin Muhtadi, ahli tentang partai politik Firman Noor serta Sekarwati yang hadir membawa perspektif praktis sebagai politisi perempuan.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, diskusi sore ini penting karena ada pola penurunan operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang sangat signifikan pada tahun 2020.

Dia menyayangkan hal itu. Tren peningkatan OTT setiap kali menjelang pemilu menunjukkan eksistensi politik uang menjelang periode kontestasi politik.

Sementara itu, Sekarwati memaparkan masalah lain dalam reformasi dahulu adalah hanya ditujukan untuk mereformasi negara dan bukan masyarakat. Padahal, prospek dan potensi masyarakat untuk terlibat dalam kancah perpolitikan negara jauh lebih penting.

"Tidak mengherankan jika edukasi politik masih menjadi problema sendiri bagi bangsa ini. Para aktor reformasi 1998 sangat sedikit terlibat secara aktif dalam partai politik dan terlebih lagi parlemen. Kalau pun ada, maka pada akhirnya mereka terjebak dalam sistem perebutan kekuasaan dan bahkan ikut memunggungi demokrasi. Oleh karena itu, demokrasi kita masih bersifat formalitas dan tidak secara substantif," tutur Sekarwati dalam siaran pers LP3ES yang diterima SINDOnews, Rabu (27/1/2021).

Sekarwati juga memaparkan beberapa rekomendasi untuk mereformasi partai politik dapat melalui beberapa metode. Pertama, partai politik harus memiliki pimpinan yang berkarakter kuat dan visioner.

Kedua, kader parpol juga harus punya keinginan dan agenda yang sama untuk mereformasi Parpol. Ketiga, harus ada regulasi yang melandasi upaya tersebut. Keempat, parpol perlu memiliki unit sistem yang mendukung.

Ke depannya, lanjut dia, demokrasi di Indonesia memiliki tantangan tersendiri jika dikaitkan dengan politik uang, mulai dari politik berbiaya tinggi hingga indikasi aktor politikus yang tidak kompeten yang tawarkan kepada publik dalam proses elektoral.

Sementar itu, Ward Berenschot dalam paparannya mengurai kembali temuannya dalam penelitian terkait koalisi dan mahar politik di Indonesia.

Menurut dia, ada penurunan jumlah calon dalam Pilkada dari tahun 2017 ke tahun 2018. Di sisi lain, ada kecenderungan partai politik mencari mahar yang terus meningkat dari setiap periode pilkada.



Dia menilai ideologi partai politik tidak memengaruhi pembentukan koalisi untuk setiap pemilu. Tidak ada kecenderungan yang signifikan untuk partai politik hanya berkoalisi dengan partai yang satu ideologi.

Menariknya, ada kecenderungan partai politik di tingkat lokal untuk berkoalisi mengikuti pola koalisi nasional.

"Sebagian besar koalisi yang dibuat oleh calon itu cenderung untuk sekadar untuk memenuhi threshold, dan tidak mau mencari dukungan yang lebih besar jika sudah memenuhi persyaratan tersebut. Kecuali untuk calon yang elektabilitasnya tinggi, itu pun untuk mendapatkan patronase. Pola ini lah yang semakin populer dari sejak 2017 hingga saat ini," tuturnya.

Ward menambahkan, calon incumbent memperoleh dukungan koalisi yang lebih besar jika dibandingkan dengan calon yang bukan incumbent. Parpol tidak menyeleksi kandidat murni berdasarkan kapabilitas dan kualifikasi, melainkan menggunakan kandidat tersebut untuk memperoleh mahar politik dan juga akses terhadap sumber kekayaan negara (patronase).

"Di Indonesia, Parpol lebih cenderung mencari mahar politik di tingkat lokal. Karena, setelah memenangkan Pilkada, kandidat terkait dapat saja tidak memberikan patronase," katanya.

Baca juga: Covid-19 Lewati Angka 1 Juta, Muhammadiyah: Pertaruhan Masa Depan Bangsa

Sementara itu, Firman Noor pun mengelaborasi temuan Ward lebih lanjut dengan menegaskan bahwa peranan elite partai dan kemunduran demokrasi adalah suatu hal yang kompleks. Memang, politik Indonesia cenderung dikuasai oleh elite.

"Secara substansial, model yang terjadi di Indonesia dewasa ini sudah bukan lagi demokrasi, tetapi post-democracy. Hal itu karena keputusan penting ditentukan oleh inner-circle dan kedekatan di tatanan pemegang kekuasaan (elite)," katanya.

Oligarki dikatakannya juga masih kuat, terlebih ketika partai masih lemah secara finansial. Maka praktik-praktik seperti politik dinasti juga marak terjadi, seiring dengan koruptor yang mengakar. Maka tidak heran jika Indeks persepsi korupsi di Indonesia jauh lebih buruk dari masa Orde Baru.

"Sebenarnya, hubungan antara partai politik dan penguatan demokrasi adalah suatu yang kompleks karena bisa saja partai politik justru menyebabkan stagnasi dalam perkembangan politik. Tetapi, di sisi lain, bisa saja demokrasi belum cukup mapan untuk diterapkan di suatu wilayah," tuturnya.

Menurut dia, kemunduran demokrasi terjadi di beberapa negara dan semakin buruk dengan adanya pandemi Covid-19. Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa kualitas demokrasi mengalami stagnasi. Terlebih, penelitian LIPI mengungkapkan bahwa 46,7% masyarakat menganggap bahwa politik uang itu dapat dimaklumi.

Sementara itu, pengamat politik Burhanudin Muhtadi pun mengulik adanya peranan elite partai nasional dalam membangun perspektif masyarakat umum tentang pandangan mereka terhadap nilai-nilai demokrasi.

Menurut dia, ada kecenderungan partisan (masyarakat umum) untuk berubah pendapat terkait dengan demokrasi setelah dipengaruhi oleh pernyataan figur politik nasional, Jokowi dan Prabowo). Ini berarti ada peranan dari elite untuk membangun perspektif masyarakat terkait nilai-nilai demokrasi.

"Demokrasi mengalami regresi dalam konteks Indonesia itu juga disebabkan oleh perilaku elite yang mencoba untuk menarik konstituen untuk mendukung hal-hal yang bertentangan dengan demokrasi. Padahal perilaku lagi masyarakat umum itu penting, karena terlalu penting maka mereka seharusnya menggunakan akal sehat ketika bertemu dengan kenyataan di mana politik di Indonesia mengalami polarisasi yang sangat kuat," katanya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1135 seconds (0.1#10.140)