Subsidi Pertanian Naik, Produksi Pangan Stagnan

Senin, 25 Januari 2021 - 07:05 WIB
loading...
Subsidi Pertanian Naik,...
Masbantar Sangadji (Foto: Istimewa)
A A A
Masbantar Sangadji
Peneliti di Ruang Lestari Indonesia, Mahasiswa Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB

KEBIJAKAN anggaran untuk subsidi pertanian setiap tahun meningkat namun tidak diikuti dengan lompatan produksi hasil pertanian. Faktanya Indonesia tetap melakukan Impor pangan beras, kedelai dan pangan lainnya dari berbagai negara untuk memenuhi konsumsi pangan nasional. Padahal setiap rupiah yang dialokasikan dan setiap sumberdaya yang dikerahkan harapannya dapat meningkatkan produksi dan juga kesejahteraan petani.

Kebijakan subsidi pupuk diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional. Harapan publik dari kebijakan subsidi pertanian adalah terwujudnya swasembada pangan sehingga setiap rumah tangga mendapat akses pangan dengan mudah dan mutu yang baik. Kebijakan subsidi pertanian yang selama ini berlangsung belum menunjukkan derajat mutu implementasi yang baik dalam efektivitas maupun juga efisiensi.

Anggaran subsidi pupuk konsisten naik menurut data Kementerian Keuangan. Pada 2014 dialokasikan Rp21,04 triliun. Selanjutnya pada 2019 naik menjadi Rp34,3 triliun. Selama periode pertama, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sudah digelontorkan anggaran subsidi pupuk sekitar Rp175 triliun. Pada saat yang sama, data Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan produksi sejumlah komoditas stagnan bahkan menurun. Misalnya, produksi padi yang stagnan di angka 59 juta ton selama periode pertama dan turun menjadi 54 juta ton pada 2019. Jika dirata-rata sejak 2015 hingga 2019, tiap tahun ada penurunan produksi padi sebesar 0,22%.

Saat ini juga terjadi kelangkaan kedelai. Pada 2014 produksinya 954.000 ton, lalu turun ke 538.000 ton pada 2017. Pada 2019 produksi sempat naik menjadi 940.000 atau tetap lebih rendah ketimbang lima tahun sebelumnya.

Hasil Produksi tersebut belum memenuhi kebutuhan nasional sehingga kekurangannya dipenuhi dari impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor beras Indonesia sejak 2000 hingga 2019 fluktuatif. Impor beras pada 2019 yakni 444,500 ton. Sedangkan impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,7 juta ton per tahun.

Fakta tersebut memberikan pertanyaan besar bahwa sebenarnya tujuan subsidi pupuk itu untuk apa? Ketidakmampuan negara dalam meningkatkan produksi pertanian menimbulkan sejumlah ragam pertanyaan yang sekiranya perlu jadi bahan evaluasi oleh Kementerian Pertanian, di antaranya apakah pola subsidi yang dilakukan selama ini sudah baik? Apakah mekanisme penyaluran sudah berjalan baik? Apakah implementasi di lapangan lancar atau tidak lancar? Apakah penyalurannya sudah tepat waktu, tepat harga, tepat jumlah, tepat penggunaan? Apakah subsidi yang sudah berjalan selama ini perlu diubah, kalau perlu apanya yang diubah? Lalu, caranya seperti apa dan petunjuknya bagaimana? Tata kelolanya seperti apa, dan aspek kelembagaannya bagaimana?

Seringkali penyaluran pupuk tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah, tidak tepat jenis, tidak tepat harga, tidak tepat sasaran dan juga rawan terjadi penyelewengan. Hal ini disebabkan karena persoalan manajemen dan ketidakmampuan untuk merencanakan dan menginplementasikan rencana. Selain itu ada pula persoalan di lapangan terkait gudang penyangga produsen langsung ke gudang distributor kemudian ke gudang pengecer dan langsung ke kelompok tani. Ada juga persoalan pengecer tidak resmi, ini merupakan persoalan governance di dalam rantai distribusi. Jadi kalau kapasitas pengelolaannya tidak diperbaiki maka akan terjadi manajemen berulang-ulang.

Subsidi pertanian sangat beda dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan jenis subsidi langsung yang diberikan tanpa bunga. Jika menyubsidi pertanian maka ada aspek pemberdayaan dan aspek peningkatan produksi. Sementara subsidi tidak langsung seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), pertanyaannya, apakah penggunaan BBM ada kontrol prestasinya? Misalkan, seseorang pergi bolak balik Jakarta-Bogor 100 kali dengan menggunakan BBM subsidi dan orang tersebut tidak pernah dilarang. Tapi itu tidak mungkin dilakukan oleh petani dalam menggunakan pupuk bersubsidi. Tidak mungkin petani menggunakan pupuk 100 kali dalam sehari. Jadi isu dalam subsidi pertanian adalah bagaimana petani melakukan kontrol prestasi.

Menyubsidi Pertanian atau Petani?
Jika menyubsidi petani itu lebih mudah, artinya kalau petani kurang income kasih saja uang tunai, kemudian selesai, atau cukup dengan memberikan saja ongkos transportasinya. Tapi kalau menyubsidi pertanian kita bicara bagaimana membangun pertanian, bagaimana mengembangkan pertanian, bagaimana membangun sebuah peradaban, membangun kemandirian bangsa, menjaga kedaulatan pangan dan ketahanan pangan, dan aspeknya lebih luas.

Banyak studi yang mengatakan bahwa kebijakan subsidi pertanian sudah lama berjalan, namun petani cenderung memakai pupuk kurang optimum atau lebih tinggi dari yang dibutuhkan. Pertanyaannya, siapa yang mendidik petani untuk menggunakan input secara baik dan benar? Ada yang mendidik tapi rumusnya se-Indonesia sama yakni 200 kg urea/hektare tanpa mengindahkan perbedaan cara tanam antarsatu komoditas dengan komoditas yang lain. Otomatis kalau di-sampling pasti ada yang over utilization. Oleh karena itu jangan salahkan petani kalau mereka tidak menggunakan pupuk dengan benar, mengapa? Karena tidak mempersiapkan informasi yang tepat mengenai berapa komposisi pupuk yang harus dipakai untuk jagung, padi, kedelai. Jadi subsidi pupuk tidak bisa optimal kalau tidak tersedia informasi terkait bagaimana pupuk itu harus diaplikasikan oleh petani, berapa banyak dan bagaimana komposisi pupuk yang harus diberikan.

Selain itu subsidi pertanian tidak bisa optimal kalau pemerintah tidak melakukan intervensi di pasar output. Untuk itu pada prinsipnya marginal product harus sama dengan perbandingan harga input dengan harga output. Dampaknya, kalau harga input diturunkan atau harga output dinaikkan, marginal product semakin kecil. Oleh karena itu, meski petani meningkatkan produksi lebih banyak tapi kalau output lebih tinggi, yang terjadi adalah harga pada umumnya akan turun. Oleh karena itu subsidi input tanpa intervensi di pasar output akan menenggelamkan semangat aktivitas petani karena akan menurunkan disinsentif bagi mereka untuk memakai input berupa pupuk, benih, dan bibit. Sebab, setelah memproduksi banyak, ternyata harganya turun dan tidak lagi terjadi elastisitas. Penurunan harga output jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah subsidi yang diterima. Dengan begitu harus dilakukan intervensi di pasar output dan teknologi diperkuat.

Untuk itu hal-hal yang perlu diperbaiki di antaranya, mengoptimalkan lembaga pengawasan distribusi pupuk bersubsidi. Selain itu sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) Kartu Tani yang diterapkan Kementerian Pertanian (Kementan) sebaiknya dilengkapi dengan QR dan barcode scanner yang memuat informasi harga, cuaca dan informasi takaran penggunaan pupuk sesuai jenis komoditi. Lalu, menyusun pedoman kredibilitas penyalur (distributor dan pengecer) yang meliputi kemampuan permodalan, fasilitas, manajemen dan sumberdaya manusia. Sumber pasokan dalam pemenuhan kebutuhan pupuk pada masing-masing pulau harus mempertimbangkan efisiensi dari biaya transportasi. Selain itu, penentuan harga eceran tertinggi (HET) sebaiknya mempertimbangkan kondisi dan situasi wilayah. Dari situ dapat ditentukan HET berdasarkan regional. Aspek perbaikan kapasitas pengelolaan dan governance dalam distribusi pupuk merupakan persayaratan utama.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1656 seconds (0.1#10.140)