Pendidikan Kebencanaan Mendesak Diperkuat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rentetan bencana alam yang melanda sejumlah wilayah Indonesia dalam beberapa hari terakhir menjadi alarm akan pentingnya penguatan sistem pendidikan tentang mitigasi bencana. Lewat cara ini maka risiko bencana bisa diminimalisasi sekaligus menjaga keberlangsungan layanan pendidikan.
Pendidikan kebencanaan menjadi pengetahuan baru yang dibutuhkan masyarakat di tengah kondisi Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana. Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hanya dalam kurang satu bulan, tepatnya periode 1 hingga 21 Januari 2021 saja misalnya, terdapat 185 bencana melanda Indonesia. Dari jumlah itu, bencana hidrometeorologi masih mendominasi, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung . Setelah wilayah Sulawesi Barat, kemarin gempa besar berkekuatan magnitudo 7,1 jjuga mengguncang Sulawesi Utara.
(Baca juga: Tiga Lempeng Tektonik Aktif Pemicu Gempa Bumi di Indonesia )
Di tengah tingginya intensitas bencana dan semakin bertambahnya kesadaran masyarakat soal bencana, dorongan agar pendidikan kebencanaan ditingkatkan kian kuat.
Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq mengungkapkan pihaknya sedang mempercepat Revisi Undang-Undang (RUU) Penanganan Bencana. Beberapa materi penting yang akan diatur lebih detail adalah prabencana, mitigasi bencana, penanganan, dan pasca bencana. Pada tahap mitigasi, menurutnya, akan ditekankan bahwa masyarakat Indonesia harus ‘bersahabat’ dengan bencana.
Persahabatan dengan bencana dianggap wajar lantaran hampir di seluruh wilayah Indonesia rawan bencana, mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, dan tsunami. Maman menegaskan ke depan, penanganan bencana tidak hanya reaksioner. Akan tetapi, harus proaktif dan melakukan kajian konstruktif. Penanganan bencana kerap tidak komprehensif karena hanya ditangani setelah terjadi dan kadang tidak selesai.
(Baca juga: Diguncang Gempa Dahsyat Bermagnitudo 7,1 Warga Sangihe Berhamburan ke Luar Rumah )
Masyarakat yang menjadi korban sering terkatung-katung di pengungsian. Dalam bencana longsor, banjir bandang, dan gempa, mereka selalu dalam pilihan sulit. Jika bertahan di tempat tinggal awal, ancaman bencana akan mengintai terus. Ketika ingin pindah, tidak tahu kemana tujuannya. “Bukan sekadar reaktif pada satu daerah ditangani, bergotong-royong. Jadi semacam dramatologi. Orang-orang menunjukkan kepeduliannya. Yang penting itu kajian soal early warning, masyarakat diedukasi, dan relokasi,” ujarnya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menegaskan pengetahuan dan pemahaman tentang ancaman dan risiko bencana seharusnya diajarkan sejak usia dini hingga dewasa. Komisi VII, menurutnya, mendorong kajian kebencanaan diajarkan di semua tingkatan pendidikan, yakni pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.
“Sampai hari ini, kita tidak melihat ada fakultas kebencanaan. Kita tidak melihat materi tentang kebencanaan diajarkan di SD, SMP, dan SMA. Sampai hari ini, kita tidak melihat khutbah keagamaan, baik di masjid, gereja, pura (dan lainnya), yang menekankan pentingnya menjaga alam. Hari ini kita betul-betul sudah mengeksploitasi alam,” tuturnya.
(Baca juga: Tertimbun Longsor, Jalur Tasikmalaya-Pangandaran Putus )
Untuk memberikan pendidikan kebencanaan ini, sebenarnya pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 33/ 2019 telah membuat pedoman yang dinamakan Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
Pada pasal 1 ayat 3 Permendikbud tersebut disebutkan bahwa program SPAB merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di satuan pendidikan. Kemudian, pada pasal 2 huruf a dinyatakan SPAB ini bertujuan untuk meningkatkan sumber daya di satuan pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana.
Adapun ruang lingkup penyelenggaraan program SPAB meliputi penyelenggaraan pada saat prabencana, layanan pendidikan dalam situasi darurat bencana dan pemulihan layanan pendidikan pascabencana.
Meski telah diundang sejak 22 Oktober 2019, namun efektvitas regulasi ini tak banyak terlihat. Kala terjadi bencana, lembaga-lembaga pendidikan umumnya kelabakan dan gagal memberikan layanan kepada masyarakat secara semestinya.
KORAN SINDO belum berhasil mendapat penjelasan apa penyebab Permendikbud ini tidak berjalan sesuai harapan. Kabiro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Hendarman saat dihubungi belum bersedia memberi penjelasan. “Silakan ke Dirjen PAUD Dikdasmen agar lebih akurat,” ucapnya. Namun, hingga berita ini diturunkan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Jumeri dan Sesdirjen Sutanto belum menjawab permohonan wawancara.
Pelatihan Saja Tak Cukup
Maman Imanulhaq menilai pelatihan kesiapsiagaan yang sering digelar oleh sejumlah lembaga negara, seperti Basarnas dan BNPB, tidak cukup untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Alasannya, masyarakat harus diedukasi tentang cara hidup dalam mengelola sungai, saluran air, bibir pantai, lahan, hutan, dan gunung. “Itu harus diberikan melalui kurikulum pendidikan,” ucapnya.
Pada Pasal 5 huruf H Permendikbud No 33/2019 ditegaskan bahwa kementerian bertanggung jawab untuk mengintegrasikan materi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di satuan pendidikan ke dalam kurikulum nasional. Kementerian juga diharuskan menyediakan bahan dan informasi tentang pengurangan risiko bencana.
Setahun sudah permendikbud tersebut dilahirkan, tetapi tak terlihat upaya nyata di lapangan. Padahal, menurut pakar mitigasi bencana Eko Teguh Paripurno, pendidikan kebencanaan ini menjadi bagian dari pembangunan yang berkelanjutan. Masyarakat perlu diajarkan pengelolaan risiko bencana secara komprehensif. Dia menyebut setiap upaya pembangunan selalu memiliki risiko.
Contohnya, membangun rumah itu akan mempengaruhi kondisi bangunan terdekat. Bangunan terdekat akan kekurangan sinar matahari. Atau ketika memasang air conditioner (AC), tetangga akan terkena uap panasnya. Dosen Universitas Pembangunan Nasional menerangkan pendidikan pengelolaan risiko bencana itu bisa masuk ke mata pelajaran yang ada, seperti matematika, olahraga, dan agama.
Materi kebencanaan juga bisa dibuat dalam mata pelajaran khusus. “Kenapa penting? Prinsip dasarnya sebuah proses pembangunan pasti berisiko sehingga perlu memilih dan memilah dari awal. Kampanye saya, selalu dimulai sejak di perencanaan. Harus ada upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi risiko,” ujarnya.
Eko Teguh memaparkan jika masih ada risiko, langkah selanjutnya adalah mitigasi dan kesiapsiagaan. Pendidikan kebencanaan di perguruan tinggi juga harus dimulai sejak masuk hingga keluar dari kampus. Pada tahap awal, pendidikan kebencanaan dimulai dengan kuliah-kuliah umum dan mata kuliah pengantar.
Pada semester satu itu harus ada mata kuliah kebencanaan. Pada semester 2, 3, dan 4, materi kebencanaan disisipkan dalam mata kuliah, enggak ada mata kuliah khusus. “Berikutnya nyisip ke biologi, lingkungan, dan vulkanologi. Lalu memberikan ruang diskusi mahasiswa di unit-unit kegiatan mahasiswa,” terangnya.
Pendidikan kebencanaan menjadi pengetahuan baru yang dibutuhkan masyarakat di tengah kondisi Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana. Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hanya dalam kurang satu bulan, tepatnya periode 1 hingga 21 Januari 2021 saja misalnya, terdapat 185 bencana melanda Indonesia. Dari jumlah itu, bencana hidrometeorologi masih mendominasi, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung . Setelah wilayah Sulawesi Barat, kemarin gempa besar berkekuatan magnitudo 7,1 jjuga mengguncang Sulawesi Utara.
(Baca juga: Tiga Lempeng Tektonik Aktif Pemicu Gempa Bumi di Indonesia )
Di tengah tingginya intensitas bencana dan semakin bertambahnya kesadaran masyarakat soal bencana, dorongan agar pendidikan kebencanaan ditingkatkan kian kuat.
Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq mengungkapkan pihaknya sedang mempercepat Revisi Undang-Undang (RUU) Penanganan Bencana. Beberapa materi penting yang akan diatur lebih detail adalah prabencana, mitigasi bencana, penanganan, dan pasca bencana. Pada tahap mitigasi, menurutnya, akan ditekankan bahwa masyarakat Indonesia harus ‘bersahabat’ dengan bencana.
Persahabatan dengan bencana dianggap wajar lantaran hampir di seluruh wilayah Indonesia rawan bencana, mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, dan tsunami. Maman menegaskan ke depan, penanganan bencana tidak hanya reaksioner. Akan tetapi, harus proaktif dan melakukan kajian konstruktif. Penanganan bencana kerap tidak komprehensif karena hanya ditangani setelah terjadi dan kadang tidak selesai.
(Baca juga: Diguncang Gempa Dahsyat Bermagnitudo 7,1 Warga Sangihe Berhamburan ke Luar Rumah )
Masyarakat yang menjadi korban sering terkatung-katung di pengungsian. Dalam bencana longsor, banjir bandang, dan gempa, mereka selalu dalam pilihan sulit. Jika bertahan di tempat tinggal awal, ancaman bencana akan mengintai terus. Ketika ingin pindah, tidak tahu kemana tujuannya. “Bukan sekadar reaktif pada satu daerah ditangani, bergotong-royong. Jadi semacam dramatologi. Orang-orang menunjukkan kepeduliannya. Yang penting itu kajian soal early warning, masyarakat diedukasi, dan relokasi,” ujarnya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menegaskan pengetahuan dan pemahaman tentang ancaman dan risiko bencana seharusnya diajarkan sejak usia dini hingga dewasa. Komisi VII, menurutnya, mendorong kajian kebencanaan diajarkan di semua tingkatan pendidikan, yakni pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.
“Sampai hari ini, kita tidak melihat ada fakultas kebencanaan. Kita tidak melihat materi tentang kebencanaan diajarkan di SD, SMP, dan SMA. Sampai hari ini, kita tidak melihat khutbah keagamaan, baik di masjid, gereja, pura (dan lainnya), yang menekankan pentingnya menjaga alam. Hari ini kita betul-betul sudah mengeksploitasi alam,” tuturnya.
(Baca juga: Tertimbun Longsor, Jalur Tasikmalaya-Pangandaran Putus )
Untuk memberikan pendidikan kebencanaan ini, sebenarnya pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 33/ 2019 telah membuat pedoman yang dinamakan Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
Pada pasal 1 ayat 3 Permendikbud tersebut disebutkan bahwa program SPAB merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di satuan pendidikan. Kemudian, pada pasal 2 huruf a dinyatakan SPAB ini bertujuan untuk meningkatkan sumber daya di satuan pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana.
Adapun ruang lingkup penyelenggaraan program SPAB meliputi penyelenggaraan pada saat prabencana, layanan pendidikan dalam situasi darurat bencana dan pemulihan layanan pendidikan pascabencana.
Meski telah diundang sejak 22 Oktober 2019, namun efektvitas regulasi ini tak banyak terlihat. Kala terjadi bencana, lembaga-lembaga pendidikan umumnya kelabakan dan gagal memberikan layanan kepada masyarakat secara semestinya.
KORAN SINDO belum berhasil mendapat penjelasan apa penyebab Permendikbud ini tidak berjalan sesuai harapan. Kabiro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Hendarman saat dihubungi belum bersedia memberi penjelasan. “Silakan ke Dirjen PAUD Dikdasmen agar lebih akurat,” ucapnya. Namun, hingga berita ini diturunkan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Jumeri dan Sesdirjen Sutanto belum menjawab permohonan wawancara.
Pelatihan Saja Tak Cukup
Maman Imanulhaq menilai pelatihan kesiapsiagaan yang sering digelar oleh sejumlah lembaga negara, seperti Basarnas dan BNPB, tidak cukup untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Alasannya, masyarakat harus diedukasi tentang cara hidup dalam mengelola sungai, saluran air, bibir pantai, lahan, hutan, dan gunung. “Itu harus diberikan melalui kurikulum pendidikan,” ucapnya.
Pada Pasal 5 huruf H Permendikbud No 33/2019 ditegaskan bahwa kementerian bertanggung jawab untuk mengintegrasikan materi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di satuan pendidikan ke dalam kurikulum nasional. Kementerian juga diharuskan menyediakan bahan dan informasi tentang pengurangan risiko bencana.
Setahun sudah permendikbud tersebut dilahirkan, tetapi tak terlihat upaya nyata di lapangan. Padahal, menurut pakar mitigasi bencana Eko Teguh Paripurno, pendidikan kebencanaan ini menjadi bagian dari pembangunan yang berkelanjutan. Masyarakat perlu diajarkan pengelolaan risiko bencana secara komprehensif. Dia menyebut setiap upaya pembangunan selalu memiliki risiko.
Contohnya, membangun rumah itu akan mempengaruhi kondisi bangunan terdekat. Bangunan terdekat akan kekurangan sinar matahari. Atau ketika memasang air conditioner (AC), tetangga akan terkena uap panasnya. Dosen Universitas Pembangunan Nasional menerangkan pendidikan pengelolaan risiko bencana itu bisa masuk ke mata pelajaran yang ada, seperti matematika, olahraga, dan agama.
Materi kebencanaan juga bisa dibuat dalam mata pelajaran khusus. “Kenapa penting? Prinsip dasarnya sebuah proses pembangunan pasti berisiko sehingga perlu memilih dan memilah dari awal. Kampanye saya, selalu dimulai sejak di perencanaan. Harus ada upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi risiko,” ujarnya.
Eko Teguh memaparkan jika masih ada risiko, langkah selanjutnya adalah mitigasi dan kesiapsiagaan. Pendidikan kebencanaan di perguruan tinggi juga harus dimulai sejak masuk hingga keluar dari kampus. Pada tahap awal, pendidikan kebencanaan dimulai dengan kuliah-kuliah umum dan mata kuliah pengantar.
Pada semester satu itu harus ada mata kuliah kebencanaan. Pada semester 2, 3, dan 4, materi kebencanaan disisipkan dalam mata kuliah, enggak ada mata kuliah khusus. “Berikutnya nyisip ke biologi, lingkungan, dan vulkanologi. Lalu memberikan ruang diskusi mahasiswa di unit-unit kegiatan mahasiswa,” terangnya.
(ynt)