Pendidikan Kebencanaan Mendesak Diperkuat

Jum'at, 22 Januari 2021 - 05:57 WIB
loading...
Pendidikan Kebencanaan...
Sebagai negara dengan tingkat kerawanan yang cukup tinggi, Indonesia sudah selayaknya memiliki kurikulum kebencanaan. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Rentetan bencana alam yang melanda sejumlah wilayah Indonesia dalam beberapa hari terakhir menjadi alarm akan pentingnya penguatan sistem pendidikan tentang mitigasi bencana. Lewat cara ini maka risiko bencana bisa diminimalisasi sekaligus menjaga keberlangsungan layanan pendidikan.

Pendidikan kebencanaan menjadi pengetahuan baru yang dibutuhkan masyarakat di tengah kondisi Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana. Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hanya dalam kurang satu bulan, tepatnya periode 1 hingga 21 Januari 2021 saja misalnya, terdapat 185 bencana melanda Indonesia. Dari jumlah itu, bencana hidrometeorologi masih mendominasi, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung . Setelah wilayah Sulawesi Barat, kemarin gempa besar berkekuatan magnitudo 7,1 jjuga mengguncang Sulawesi Utara.

(Baca juga: Tiga Lempeng Tektonik Aktif Pemicu Gempa Bumi di Indonesia )

Di tengah tingginya intensitas bencana dan semakin bertambahnya kesadaran masyarakat soal bencana, dorongan agar pendidikan kebencanaan ditingkatkan kian kuat.

Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq mengungkapkan pihaknya sedang mempercepat Revisi Undang-Undang (RUU) Penanganan Bencana. Beberapa materi penting yang akan diatur lebih detail adalah prabencana, mitigasi bencana, penanganan, dan pasca bencana. Pada tahap mitigasi, menurutnya, akan ditekankan bahwa masyarakat Indonesia harus ‘bersahabat’ dengan bencana.

Persahabatan dengan bencana dianggap wajar lantaran hampir di seluruh wilayah Indonesia rawan bencana, mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, dan tsunami. Maman menegaskan ke depan, penanganan bencana tidak hanya reaksioner. Akan tetapi, harus proaktif dan melakukan kajian konstruktif. Penanganan bencana kerap tidak komprehensif karena hanya ditangani setelah terjadi dan kadang tidak selesai.

(Baca juga: Diguncang Gempa Dahsyat Bermagnitudo 7,1 Warga Sangihe Berhamburan ke Luar Rumah )

Masyarakat yang menjadi korban sering terkatung-katung di pengungsian. Dalam bencana longsor, banjir bandang, dan gempa, mereka selalu dalam pilihan sulit. Jika bertahan di tempat tinggal awal, ancaman bencana akan mengintai terus. Ketika ingin pindah, tidak tahu kemana tujuannya. “Bukan sekadar reaktif pada satu daerah ditangani, bergotong-royong. Jadi semacam dramatologi. Orang-orang menunjukkan kepeduliannya. Yang penting itu kajian soal early warning, masyarakat diedukasi, dan relokasi,” ujarnya.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menegaskan pengetahuan dan pemahaman tentang ancaman dan risiko bencana seharusnya diajarkan sejak usia dini hingga dewasa. Komisi VII, menurutnya, mendorong kajian kebencanaan diajarkan di semua tingkatan pendidikan, yakni pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.

“Sampai hari ini, kita tidak melihat ada fakultas kebencanaan. Kita tidak melihat materi tentang kebencanaan diajarkan di SD, SMP, dan SMA. Sampai hari ini, kita tidak melihat khutbah keagamaan, baik di masjid, gereja, pura (dan lainnya), yang menekankan pentingnya menjaga alam. Hari ini kita betul-betul sudah mengeksploitasi alam,” tuturnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1814 seconds (0.1#10.140)