Walhi: Pernyataan Jokowi Banjir Kalsel Akibat Curah Hujan Tinggi Perlu Diuji
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengunjungi Kalimantan Selatan (Kalsel), Senin (18/1) lalu, menegaskan bahwa banjir di wilayah tersebut akibat luapan Sungai Barito. Curah hujan yang tinggi hampir 10 hari berturut-turut membuat sungai tak cukup menampung debit air. Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air sehingga meluap di 10 kabupaten dan kota di Kalsel.
"Saya kira pernyataan presiden bahwa sebab banjir di Kalsel karena curah hujan ekstrem yang terjadi setiap 50 tahun sekali perlu diuji, agar keselamatan rakyat dan lingkungan tidak jadi barang mainan. Sementara di sisi lain ada pihak yang diam-diam menimba kekayaan," kata Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup ( Walhi ) Mualimin Pardi Dahlan, kepada KORAN SINDO, kemarin.
(Baca: Sebut Hujan Penyebab Banjir Kalsel, Demokrat Sebut Pemerintah Tutup Mata)
"Aneh juga itu, sehari setelah Jokowi (ke Kalsel), KLHK nyatakan siklus itu 100 tahun bukan 50 tahun. Coba buktikan datanya mana bahwa 50 atau 100 tahun lalu juga terjadi bencana yang sama seperti sekarang. Sementara data berbeda tiga lokasi yang kena banjir parah yakni Kabupaten Tanah Laut, Banjar, dan Hulu Sungai Tengah merupakan pusat peradaban di Kalsel, seperti benteng Belanda, Kesultanan Banjar, hingga masjid yang ada hubungan dengan Kerajaan Demak," imbuh pria yang akrab disapa Apenk ini.
Lebih lanjut pria yang digadang-gadang maju sebagai Direktur Eksekutif Nasional Walhi ini mengungkapkan, bahwa peradaban di tiga wilayah yang terdampak banjir itu sudah berlangsung selama ratusan tahun bahkan sejak abad 14. Dan logikanya, kata dia, jika daerah-daerah tersebut pernah mengalami banjir besar tentu sudah lama ditinggalkan. Tapi nyatanya hingga sekarang masih menjadi pusat permukiman. Walhi juga menyayangkan hadirnya Jokowi ke daerah yang terdampak banjir hanya melihat kerusakan infrastruktur, evakuasi, dan distribusi logistik, bukan melihat akar penyebab banjir.
Data Walhi soal pengusaan lahan di Kalimantan Selatan. Sumber: Walhi
“Karena pantauan teman-teman kita di Walhi Kalsel sana, bahwa 50% dari luas 3,7 juta hektare (hutan) sudah dibebani izin tambang 33%, perkebunan kelapa sawit 17%, belum HTI dan HPH. Jadi patut diduga bahwa bencana ini akibat dari kerusakan lingkungan yang dipicu aktivitas industri ekstraktif, perkebunan skala luas, dan buruknya tata ruang wilayah. Maka yang perlu dilakukan evaluasi semua perizinan yang ada. Stop izin baru, dan penegakan hukum atas kejahatan lingkungan luar biasa yang melumpuhkan hampir semua daerah,” tegas Apenk.
(Baca: Deforestasi Disebut Penyebab Banjir Kalsel, Moeldoko: Presiden Jokowi Tak Obral Izin)
Setali tiga uang, Manager Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute (HaKI) Adiosyafri mengatakan, anomali hujan yang sangat tinggi dalam sepuluh hari terakhir di Kalsel dan menyebabkan banjir sangat dahsyat di 50 tahun terakhir, tentu tidak akan terjadi tanpa sebab, sebagaimana hukum sebab akibat. Adios sendiri mengakui, dari beberapa data yang dihimpun menunjukkan bahwa kemampuan sungai Barito telah sangat over kapasitas menampung air larian (run-off), sehingga air meluap.
“Tapi, jika tutupan hutan di Kalsel masih bagus dan merata tentu air larian ini akan dapat terhambat dan lebih teratur mengalirnya, sehingga luapan air (banjir) akan lebih terkendali,” kata pria yang kini rajin mengadvokasi ancaman alih fungsi lahan Hutan Harapan, di perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi.
"Saya kira pernyataan presiden bahwa sebab banjir di Kalsel karena curah hujan ekstrem yang terjadi setiap 50 tahun sekali perlu diuji, agar keselamatan rakyat dan lingkungan tidak jadi barang mainan. Sementara di sisi lain ada pihak yang diam-diam menimba kekayaan," kata Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup ( Walhi ) Mualimin Pardi Dahlan, kepada KORAN SINDO, kemarin.
(Baca: Sebut Hujan Penyebab Banjir Kalsel, Demokrat Sebut Pemerintah Tutup Mata)
"Aneh juga itu, sehari setelah Jokowi (ke Kalsel), KLHK nyatakan siklus itu 100 tahun bukan 50 tahun. Coba buktikan datanya mana bahwa 50 atau 100 tahun lalu juga terjadi bencana yang sama seperti sekarang. Sementara data berbeda tiga lokasi yang kena banjir parah yakni Kabupaten Tanah Laut, Banjar, dan Hulu Sungai Tengah merupakan pusat peradaban di Kalsel, seperti benteng Belanda, Kesultanan Banjar, hingga masjid yang ada hubungan dengan Kerajaan Demak," imbuh pria yang akrab disapa Apenk ini.
Lebih lanjut pria yang digadang-gadang maju sebagai Direktur Eksekutif Nasional Walhi ini mengungkapkan, bahwa peradaban di tiga wilayah yang terdampak banjir itu sudah berlangsung selama ratusan tahun bahkan sejak abad 14. Dan logikanya, kata dia, jika daerah-daerah tersebut pernah mengalami banjir besar tentu sudah lama ditinggalkan. Tapi nyatanya hingga sekarang masih menjadi pusat permukiman. Walhi juga menyayangkan hadirnya Jokowi ke daerah yang terdampak banjir hanya melihat kerusakan infrastruktur, evakuasi, dan distribusi logistik, bukan melihat akar penyebab banjir.
Data Walhi soal pengusaan lahan di Kalimantan Selatan. Sumber: Walhi
“Karena pantauan teman-teman kita di Walhi Kalsel sana, bahwa 50% dari luas 3,7 juta hektare (hutan) sudah dibebani izin tambang 33%, perkebunan kelapa sawit 17%, belum HTI dan HPH. Jadi patut diduga bahwa bencana ini akibat dari kerusakan lingkungan yang dipicu aktivitas industri ekstraktif, perkebunan skala luas, dan buruknya tata ruang wilayah. Maka yang perlu dilakukan evaluasi semua perizinan yang ada. Stop izin baru, dan penegakan hukum atas kejahatan lingkungan luar biasa yang melumpuhkan hampir semua daerah,” tegas Apenk.
(Baca: Deforestasi Disebut Penyebab Banjir Kalsel, Moeldoko: Presiden Jokowi Tak Obral Izin)
Setali tiga uang, Manager Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute (HaKI) Adiosyafri mengatakan, anomali hujan yang sangat tinggi dalam sepuluh hari terakhir di Kalsel dan menyebabkan banjir sangat dahsyat di 50 tahun terakhir, tentu tidak akan terjadi tanpa sebab, sebagaimana hukum sebab akibat. Adios sendiri mengakui, dari beberapa data yang dihimpun menunjukkan bahwa kemampuan sungai Barito telah sangat over kapasitas menampung air larian (run-off), sehingga air meluap.
“Tapi, jika tutupan hutan di Kalsel masih bagus dan merata tentu air larian ini akan dapat terhambat dan lebih teratur mengalirnya, sehingga luapan air (banjir) akan lebih terkendali,” kata pria yang kini rajin mengadvokasi ancaman alih fungsi lahan Hutan Harapan, di perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi.