Bencana Alam sebagai Alarm Kemanusiaan
loading...
A
A
A
Sunanto
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah
MENGAWALI tahun 2021 Indonesia didera kesedihan massal. Selain musibah pandemi coronavirus disease (Covid-19) yang tak kunjung berujung, di berbagai daerah terjadi berbagai bentuk bencana alam. Ragamnya pun bermacam, mulai gempa bumi di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, longsor di Kabupaten Sumedang dan luapan ombak laut di Manado menjadi arus informasi bertubi-tubi yang kita saksikan di televisi dan media sosial.
Belum lagi bencana Banjir di Pidie, Aceh, Nunukan Kalimantan Utara, manjir bandang di Gunung Mas, Cisarua Kabupaten Bogor, dan juga banjir yang hampir merata terjadi di berbagai daerah. Dampak dari berbagai bencana ini pun menyesakkan hati seluruh masyarakat. Puluhan ribu warga harus mengungsi, ribuan rumah terendam banjir, ratusan nyawa melayang, dan kelumpuhan ekonomi yang masih berlangsung hingga saat ini.
Informasi tentang bencana dan korban terdampak sengaja menjadi pembuka tulisan ini. Saya ingin menempatkan bencana yang terjadi akhir-akhir ini sebagai akibat dari sikap dan perbuatan manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungannya.
Pandangan saya dalam menyikapi berbagai bencana tidak bisa sepenuhnya menempatkan alam sebagai penyebabnya. Persyarikatan Muhammadiyah jauh-jauh hari juga sudah menyampaikan hasil kajiannya yang tak jauh berbeda dengan para aktivis lingkungan lainnya. Beberapa penyebabnya diantaranya mulai deforestasi, perilaku masyarakat tentang manajemen sampah dan juga lemahnya penegakan hukum.
Contoh sederhana di Kalimantan Selatan, banyak analisa dan hasil kajian yang mengulas tentang dampak deforestasi dan aktivitas tambang yang tidak pro terhadap keberlangsungan lingkungan. Belum lagi di Sumedang, Pidie Aceh, Jember Jawa Timur, jika ditelisik sebabnya pun tak akan jauh berbeda, pengelolaan lahan dan penegakan hukum bagi para pelanggar kerusakan lingkungan yang kurang tegas.
Sebab lainya adalah tata ruang pembangunan daerah yang kerap menabrak aturan dan keseimbangan alam. Apalagi masyarakat kita belum mempunyai kesadaran kolektif untuk berpartisipasi menjaga keberlangsungan alam di Nusantara.
Padahal, jika kita renungkan, berbagai bencana hidro meteorologis seperti banjir, kekeringan dan longsor nyata-nyata disebabkan oleh degradasi lahan dan deforestasi. Dalam jangka yang lebih luas dengan jumlah populasi Indonesia sebanyak 267 juta jiwa, bukan tidka mungkin hal ini akan menjadi jalan krisis kehidupan baru.
Bencana Alam Alarm Kemanusiaan
Dalam situasi seperti saat ini, seluruh anak bangsa harus menjadikan rentetan bencana sebagai sebuah alarm kemanusiaan. Tujuannya tentu membuat masyarakat memiliki komitmen seiring sekata tentang pentingnya melindungi alam dengan sikap dan keadaban terhadap lingkungan.
Contohnya saja kesadaran tentang fungsi pohon, sebagai salah satu keanekaragaman hayati yang sarat dengan manfaat bagi kehidupan umat manusia. Seluruh umat manusia harus menjadi agen penjaga lingkungan.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah
MENGAWALI tahun 2021 Indonesia didera kesedihan massal. Selain musibah pandemi coronavirus disease (Covid-19) yang tak kunjung berujung, di berbagai daerah terjadi berbagai bentuk bencana alam. Ragamnya pun bermacam, mulai gempa bumi di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, longsor di Kabupaten Sumedang dan luapan ombak laut di Manado menjadi arus informasi bertubi-tubi yang kita saksikan di televisi dan media sosial.
Belum lagi bencana Banjir di Pidie, Aceh, Nunukan Kalimantan Utara, manjir bandang di Gunung Mas, Cisarua Kabupaten Bogor, dan juga banjir yang hampir merata terjadi di berbagai daerah. Dampak dari berbagai bencana ini pun menyesakkan hati seluruh masyarakat. Puluhan ribu warga harus mengungsi, ribuan rumah terendam banjir, ratusan nyawa melayang, dan kelumpuhan ekonomi yang masih berlangsung hingga saat ini.
Informasi tentang bencana dan korban terdampak sengaja menjadi pembuka tulisan ini. Saya ingin menempatkan bencana yang terjadi akhir-akhir ini sebagai akibat dari sikap dan perbuatan manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungannya.
Pandangan saya dalam menyikapi berbagai bencana tidak bisa sepenuhnya menempatkan alam sebagai penyebabnya. Persyarikatan Muhammadiyah jauh-jauh hari juga sudah menyampaikan hasil kajiannya yang tak jauh berbeda dengan para aktivis lingkungan lainnya. Beberapa penyebabnya diantaranya mulai deforestasi, perilaku masyarakat tentang manajemen sampah dan juga lemahnya penegakan hukum.
Contoh sederhana di Kalimantan Selatan, banyak analisa dan hasil kajian yang mengulas tentang dampak deforestasi dan aktivitas tambang yang tidak pro terhadap keberlangsungan lingkungan. Belum lagi di Sumedang, Pidie Aceh, Jember Jawa Timur, jika ditelisik sebabnya pun tak akan jauh berbeda, pengelolaan lahan dan penegakan hukum bagi para pelanggar kerusakan lingkungan yang kurang tegas.
Sebab lainya adalah tata ruang pembangunan daerah yang kerap menabrak aturan dan keseimbangan alam. Apalagi masyarakat kita belum mempunyai kesadaran kolektif untuk berpartisipasi menjaga keberlangsungan alam di Nusantara.
Padahal, jika kita renungkan, berbagai bencana hidro meteorologis seperti banjir, kekeringan dan longsor nyata-nyata disebabkan oleh degradasi lahan dan deforestasi. Dalam jangka yang lebih luas dengan jumlah populasi Indonesia sebanyak 267 juta jiwa, bukan tidka mungkin hal ini akan menjadi jalan krisis kehidupan baru.
Bencana Alam Alarm Kemanusiaan
Dalam situasi seperti saat ini, seluruh anak bangsa harus menjadikan rentetan bencana sebagai sebuah alarm kemanusiaan. Tujuannya tentu membuat masyarakat memiliki komitmen seiring sekata tentang pentingnya melindungi alam dengan sikap dan keadaban terhadap lingkungan.
Contohnya saja kesadaran tentang fungsi pohon, sebagai salah satu keanekaragaman hayati yang sarat dengan manfaat bagi kehidupan umat manusia. Seluruh umat manusia harus menjadi agen penjaga lingkungan.