Susah Percaya dengan Data Korona

Selasa, 19 Januari 2021 - 06:25 WIB
loading...
Susah Percaya dengan Data Korona
Hingga 11 bulan pandemi Covid-19 di Tanah Air, akurasi data masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. (Ilustrasi: SINDONews/Wawan Bastian)
A A A
HINGGA pertengahan Januari 2021 ini, virus korona (Covid-19) tercatat hampir setahun resmi dinyatakan memapar Indonesia. Sayangnya, 11 bulan lebih menangani korona, pemerintah tampak masih tertatih-tatih.

Keruwetan dan kerancuan data tak henti terjadi. Untuk kesekian kali, input data dari daerah ke pusat misalnya, tidak nyambung. Data dari daerah tak bisa dengan cepat divalidasi pusat dan ditampilkan ke publik. Imbasnya terjadi penumpukan data yang seolah-olah terjadi penambahan kasus baru dengan jumlah fantastis. Keruwetan ini belum lagi dengan keluhan daerah yang masih menilai ada duplikasi identitas.

Soal duplikasi ini pernah dikeluhkan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, akhir November 2020. Sedang Gubernur Jabar Ridwan Kamil Kamis (14/1) lalu juga menyebut, potensi terjadi penambahan kasus hingga 10.000 di wilayahnya akan terjadi lantaran data yang dia laporkan ngendon di pusat. Artinya, ketika data itu akhirnya dipublikasi oleh Satgas Penanganan Covid-19 Pusat, maka hal itu sejatinya bukan menampilkan data harian yang sejati. Pemerintah pusat masih kesulitan menampilkan data real time.

Muaranya, data-data yang muncul ke publik seperti halnya rutin disampaikan oleh Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Bakti Bawono Adisasmito, menjadi tidak lagi sepenuhnya nyata. “Beberapa saat belakangan ini terjadi pemasukan data dari daerah yang terlambat karena sistem data terintegrasi yang belum dapat berjalan sempurna,” demikian kata Wiku, Minggu (17/1).

Lantas masihkah kita percaya dengan narasi-narasi yang merupakan konklusi dari data yang salah ini? Dalam dampak yang lebih buruk, bagaimana data itu bisa menjadi patokan kuat untuk membuat kebijakan? Sementara di balik kebijakan itu, ada ratusan juta jiwa penduduk Indonesia yang terdampak. Apakah pelambatan penampilan data itu juga adalah sebuah kesengajaan?

Pertanyaan-pertanyaan publik harus dijawab tuntas oleh pemerintah. Berbagai skenario sangat mungkin dilakukan pemerintah seperti untuk shock therapy, kebutuhan penambahan anggaran dan lain sebagainya. Namun di balik itu, kesalahan menampilkan data ini tentu berbahaya. Kita sepakat bahwa semua berawal dari data. Jika kebijakan lahir berbasis data, maka setidaknya di situlah ada keyakinan akan mendekati situasi yang sebenarnya.

11 bulan berjalan, tentu bukan waktu yang pendek lagi. Jika saat Maret atau April 2020, pemerintah saat itu masih tergagap-gagap menghadapi pandemi ini, bisa dipahami hal yang wajar. Namun jika hingga saat ini, pengelolaan data ini masih saja menyisakan masalah, tentu menjadi pertanyaan besar.

Situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan. Pengelolaan data adalah menjadi kunci. Dengan keyakinan demikian, segala kendala yang melingkupi pengolahan data ini harus segera dipecahkan. Teknologi yang kita miliki saat ini, tentu tak sulit untuk mengolah data nasional dengan cepat sekaligus akurat.

Berpijak dari pengalaman sejumlah negara lain yang relatif berhasil mengendalikan Covid-19, mereka begitu ketat dalam mengelola data. Pun demikian, dengan China yang disinyalir menjadi negara pertama tempat munculnya korona, saat ini begitu rigid terhadap pengelolaan data. Bahkan, data-data itu memiliki keakuratannya tinggi karena diperoleh dengan dukungan kecanggihan teknologi artificial intelligence (AI).

Melihat terus meningginya kasus baru korona, kita patut waspada. Namun yang lebih berbahaya jika angka-angka yang muncul di publik itu belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1112 seconds (0.1#10.140)