Gugatan Rizal Ramli Soal Ambang Batas Presiden Kandas di MK, Ini Kata Pengamat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak dapat diterima. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Rizal Ramli (Pemohon I) dan Abdulrachim Kresno (Pemohon II).
Putusan tersebut dibacakan hakim MK pada Kamis 14 Januari 2021. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat hal yang dipermasalahkan kedua Pemohon bukanlah masalah konstitusionalitas norma. Pemohon I mendalilkan beberapa kali mendapat dukungan publik dari beberapa partai politik untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan dimintakan untuk membayar sejumlah uang, namun tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa Pemohon I pernah dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden. (Baca juga: Gugat Presidential Threshold, Rizal Ramli: Hapus Demokrasi Kriminal)
Seandainya Pemohon I memang benar didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, dalam batas penalaran yang wajar, Pemohon I mestinya menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah atau menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan Pemohon I. (Baca juga: Didoakan Jadi Presiden, Begini Reaksi Rizal Ramli)
"Berkenaan dengan argumentasi Pemohon I mengenai kerugian potensial yang terjadi ketika mendeklarasikan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden harus membayar sejumlah uang kepada partai politik tertentu, hal tersebut adalah persoalan yang tidak relevan karena dalam ketentuan norma a quo tidak ditemukan ketentuan dimaksud. Dengan demikian, Pemohon I tidak mengalami kerugian dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Apalagi klaim tersebut tidak didukung dengan bukti yang bisa meyakinkan Mahkamah. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," ujar Arief.
Perlu diketahui, dalam gugatannya ke MK, keduanya mendalilkan jika Pasal 222 terkait ambang batas perolehan suara bagi pemilihan presiden (Presidential Threshold) melanggar hak konstitusional keduanya.
Rizal Ramli selaku Pemohon Prinsipal menjelaskan dirinya dan Pemohon II hendak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2024. Namun keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu dinilai telah menghambat proses pencalonan para Pemohon.
Menanggapi hal ini, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menghormati putusan MK sehingga membuat langkah pemohon kandas untuk bertarung di Pilpres 2024. Namun, Fadli menilai, seharusnya penerapan PT lebih proporsional. Menurutnya, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu tidak sesuai dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945. "Karena membuat partai politik peserta pemilu tidak langsung dapat mencalonkan pasangan calon presiden," singkat Fadli saat dihubungi Sindonews, Senin (18/1/2021).
Sementara itu, Direktur Riset dan Program Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Surya Vandiantara menilai, gugatan yang dilayangkan Rizal Ramli sebagai ekonom senior menambah daftar panjang gugatan PT yang kandas di tangan hakim MK. "Sebelum Pak Rizal, UU ini sering digugat oleh tokoh nasional kita. Termasuk oleh organisai pegiat pemilu, tapi hasilnya selalu kalah, kandas di ujung jalan," ungkapnya dihubungi terpisah.
Surya mengaku tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan hakim MK sehingga berbagai gugatan ambang batas ini berakhir kandas saat diuji materikan. Tapi, Surya melihat ada yang unik dalam pertimbangan hakim yakni yang menyebut pemohon I dalam hal ini Rizal Ramli tidak dapat membuktikan dukungan dari partai politik sebagai calon presiden.
"Hak kontitusionalitasnya (Rizal Ramli) untuk menggugat UU ini sah. Tapi memang Pak Rizal juga gak bisa asal klaim pernah dicalonkan (Parpol). Alasan hakim cukup mencengangkan. Makanya putusan (MK) ini bisa menjadi koreksi beliau buat kembali ke MK, bawa saja bukti-bukti yang kuat," ujar Analis Ekonomi-Politik asal UIN Jakarta ini menandaskan.
Putusan tersebut dibacakan hakim MK pada Kamis 14 Januari 2021. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat hal yang dipermasalahkan kedua Pemohon bukanlah masalah konstitusionalitas norma. Pemohon I mendalilkan beberapa kali mendapat dukungan publik dari beberapa partai politik untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan dimintakan untuk membayar sejumlah uang, namun tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa Pemohon I pernah dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden. (Baca juga: Gugat Presidential Threshold, Rizal Ramli: Hapus Demokrasi Kriminal)
Seandainya Pemohon I memang benar didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, dalam batas penalaran yang wajar, Pemohon I mestinya menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah atau menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan Pemohon I. (Baca juga: Didoakan Jadi Presiden, Begini Reaksi Rizal Ramli)
"Berkenaan dengan argumentasi Pemohon I mengenai kerugian potensial yang terjadi ketika mendeklarasikan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden harus membayar sejumlah uang kepada partai politik tertentu, hal tersebut adalah persoalan yang tidak relevan karena dalam ketentuan norma a quo tidak ditemukan ketentuan dimaksud. Dengan demikian, Pemohon I tidak mengalami kerugian dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Apalagi klaim tersebut tidak didukung dengan bukti yang bisa meyakinkan Mahkamah. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," ujar Arief.
Perlu diketahui, dalam gugatannya ke MK, keduanya mendalilkan jika Pasal 222 terkait ambang batas perolehan suara bagi pemilihan presiden (Presidential Threshold) melanggar hak konstitusional keduanya.
Rizal Ramli selaku Pemohon Prinsipal menjelaskan dirinya dan Pemohon II hendak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2024. Namun keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu dinilai telah menghambat proses pencalonan para Pemohon.
Menanggapi hal ini, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menghormati putusan MK sehingga membuat langkah pemohon kandas untuk bertarung di Pilpres 2024. Namun, Fadli menilai, seharusnya penerapan PT lebih proporsional. Menurutnya, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu tidak sesuai dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945. "Karena membuat partai politik peserta pemilu tidak langsung dapat mencalonkan pasangan calon presiden," singkat Fadli saat dihubungi Sindonews, Senin (18/1/2021).
Sementara itu, Direktur Riset dan Program Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Surya Vandiantara menilai, gugatan yang dilayangkan Rizal Ramli sebagai ekonom senior menambah daftar panjang gugatan PT yang kandas di tangan hakim MK. "Sebelum Pak Rizal, UU ini sering digugat oleh tokoh nasional kita. Termasuk oleh organisai pegiat pemilu, tapi hasilnya selalu kalah, kandas di ujung jalan," ungkapnya dihubungi terpisah.
Surya mengaku tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan hakim MK sehingga berbagai gugatan ambang batas ini berakhir kandas saat diuji materikan. Tapi, Surya melihat ada yang unik dalam pertimbangan hakim yakni yang menyebut pemohon I dalam hal ini Rizal Ramli tidak dapat membuktikan dukungan dari partai politik sebagai calon presiden.
"Hak kontitusionalitasnya (Rizal Ramli) untuk menggugat UU ini sah. Tapi memang Pak Rizal juga gak bisa asal klaim pernah dicalonkan (Parpol). Alasan hakim cukup mencengangkan. Makanya putusan (MK) ini bisa menjadi koreksi beliau buat kembali ke MK, bawa saja bukti-bukti yang kuat," ujar Analis Ekonomi-Politik asal UIN Jakarta ini menandaskan.
(cip)