Sidang Djoko Tjandra, Hakim Selisik Kedekatan Pinangki dengan Bos Kejaksaan
loading...
A
A
A
Dalam persidangan ini tidak diketahui siapa bos-bos Kejaksaan yang dimaksud oleh Rahmat. Namun, pertemuan antara Djoko dengan Pinangki terjadi di Gedung The Exchange 106, Kuala Lumpur, Malaysia, November 2019.
Djoko Tjandra yang duduk sebagai terdakwa dalam perkara ini turut angkat bicara. Djoko menanyakan pengetahuan Pinangki terkait masalah hukum yang menjeratnya. Namun, Djoko mengklaim Pinangki tidak mengetahui.
"Poin penting diskusi saya jelaskan semua masalah hukum. Sebelum saya tutup saya katakan karena saudara pinangki PNS (Jaksa), saya tidak bersedia berhubungan kerja dengan PNS. Untuk itu kalau mau bantu saya, silakan kenalkan pengacara. Di situ timbulnya," ucap Djoko Tjandra.
Menindaklanjuti itu, Pinangki membawa rekannya Anita Kolopaking untuk menjadi pengacara Djoko guna mengurus permasalahan hukum atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali. Menggandeng Anita, Djoko pada akhirnya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sekadar informasi, terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra didakwa pernah menjanjikan uang sebesar USD1 juta atau sekitar Rp14,6 miliar untuk Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI. Uang itu dijanjikan Djoko Tjandra kepada Jaksa Pinangki jika berhasil mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) lewat Kejaksaan Agung (Kejagung). Fatwa MA itu bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.
Namun, Djoko Tjandra baru memberikan setengah uang dari yang dijanjikan, senilai USD500.000 atau sekitar Rp7,3 miliar. Oleh karenanya, Djoko Tjandra didakwa telah menyuap Jaksa Pinangki sebesar Rp7,3 miliar untuk mengurus fatwa MA.
Dalam surat dakwaan, Djoko Tjandra mengenal Pinangki Sirna Malasari melalui seseorang bernama Rahmat. Pinangki, Djoko Tjandra, dan Rahmat sempat bertemu di kantor Djoko Tjandra yang berada di The Exchange 106 Kuala Lumpur Malaysia. Dalam pertemuan tersebut, Pinangkilah yang mengusulkan terkait rencana pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung). Pengurusan fatwa MA lewat Kejagung itu dianggap mujarab agar Djoko Tjandra bisa terbebas dari perkaranya.
Djoko Tjandra sepakat dengan usulan Pinangki terkait rencana fatwa dari MA melalui Kejagung dengan argumen bahwa putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 atas kasus cessie Bank Bali yang menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun kepada Joko Soegiarto Tjandra tidak bisa dieksekusi sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan hak untuk mengajukan PK hanya terpidana atau keluarganya.
Akan tetapi, karena terdakwa Djoko Tjandra mengetahui status Pinangki sebagai jaksa, maka ia tidak mau melakukan transaksi secara langsung. Selanjutnya, Pinangki menyanggupi akan menghadirkan pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya untuk bertransaksi dengan Djoko Tjandra dalam pengurusan Fatwa ke MA.
Djoko Tjandra yang duduk sebagai terdakwa dalam perkara ini turut angkat bicara. Djoko menanyakan pengetahuan Pinangki terkait masalah hukum yang menjeratnya. Namun, Djoko mengklaim Pinangki tidak mengetahui.
"Poin penting diskusi saya jelaskan semua masalah hukum. Sebelum saya tutup saya katakan karena saudara pinangki PNS (Jaksa), saya tidak bersedia berhubungan kerja dengan PNS. Untuk itu kalau mau bantu saya, silakan kenalkan pengacara. Di situ timbulnya," ucap Djoko Tjandra.
Menindaklanjuti itu, Pinangki membawa rekannya Anita Kolopaking untuk menjadi pengacara Djoko guna mengurus permasalahan hukum atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali. Menggandeng Anita, Djoko pada akhirnya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sekadar informasi, terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra didakwa pernah menjanjikan uang sebesar USD1 juta atau sekitar Rp14,6 miliar untuk Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI. Uang itu dijanjikan Djoko Tjandra kepada Jaksa Pinangki jika berhasil mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) lewat Kejaksaan Agung (Kejagung). Fatwa MA itu bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.
Namun, Djoko Tjandra baru memberikan setengah uang dari yang dijanjikan, senilai USD500.000 atau sekitar Rp7,3 miliar. Oleh karenanya, Djoko Tjandra didakwa telah menyuap Jaksa Pinangki sebesar Rp7,3 miliar untuk mengurus fatwa MA.
Dalam surat dakwaan, Djoko Tjandra mengenal Pinangki Sirna Malasari melalui seseorang bernama Rahmat. Pinangki, Djoko Tjandra, dan Rahmat sempat bertemu di kantor Djoko Tjandra yang berada di The Exchange 106 Kuala Lumpur Malaysia. Dalam pertemuan tersebut, Pinangkilah yang mengusulkan terkait rencana pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung). Pengurusan fatwa MA lewat Kejagung itu dianggap mujarab agar Djoko Tjandra bisa terbebas dari perkaranya.
Djoko Tjandra sepakat dengan usulan Pinangki terkait rencana fatwa dari MA melalui Kejagung dengan argumen bahwa putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 atas kasus cessie Bank Bali yang menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun kepada Joko Soegiarto Tjandra tidak bisa dieksekusi sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan hak untuk mengajukan PK hanya terpidana atau keluarganya.
Akan tetapi, karena terdakwa Djoko Tjandra mengetahui status Pinangki sebagai jaksa, maka ia tidak mau melakukan transaksi secara langsung. Selanjutnya, Pinangki menyanggupi akan menghadirkan pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya untuk bertransaksi dengan Djoko Tjandra dalam pengurusan Fatwa ke MA.