Radikalisme dan Gerakan Moderasi Beragama
loading...
A
A
A
Mereka melakukan over simplikasi terhadap persoalan yang ada. Pilihan kepada sikap radikal demikian itu, sering mengalami ketegangan bahkan terkadang konflik dengan lingkungan mereka sendiri.
Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sering dipertanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam kehidupan yang multikultural dan multi etnik. Apalagi kalau cara-cara memperjuangkan tegaknya Islam dengan klaim jihad untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.
Menuju Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan strategis.
Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.
Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.
Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.
Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama, serta menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi kondusif dan maju.
Seharusnya membangun kerukunan lebih didasarkan pada kesadaran doktrinal dan kultural, yaitu selain karena doktrin setiap agama yang mengajarkan pada nilai-nilai toleransi, juga atas keinginan yang sama untuk hidup rukun dalam binkai perdamaian. Esensi ini yang diinginkan dalam moderasi beragama karena sesungguhnya beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia dan lebih cocok untuk kontur masyarakat kita yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.
Untuk itulah, di usia 75 tahun (3 Januari 2021) Kementrian Agama ini gerakan pengarusutamaan moderasi beragama ini mestinya tidak cukup bila hanya digaungkan dan berupa program saja, melainkan perlu didesakkan sebagai aksi dan gerakan bersama seluruh komponen bangsa baik pemerintah (Kementerian Agama) maupun kelompok-kelompok agama agar ekstremisme dan kekerasan atas dasar kebencian kepada agama dan suku yang berbeda bisa ditekan dan dihilangkan menuju beragama yang toleran, damai dan menghargai kemanusiaan semesta.
Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sering dipertanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam kehidupan yang multikultural dan multi etnik. Apalagi kalau cara-cara memperjuangkan tegaknya Islam dengan klaim jihad untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.
Menuju Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan strategis.
Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.
Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.
Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.
Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama, serta menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi kondusif dan maju.
Seharusnya membangun kerukunan lebih didasarkan pada kesadaran doktrinal dan kultural, yaitu selain karena doktrin setiap agama yang mengajarkan pada nilai-nilai toleransi, juga atas keinginan yang sama untuk hidup rukun dalam binkai perdamaian. Esensi ini yang diinginkan dalam moderasi beragama karena sesungguhnya beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia dan lebih cocok untuk kontur masyarakat kita yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.
Untuk itulah, di usia 75 tahun (3 Januari 2021) Kementrian Agama ini gerakan pengarusutamaan moderasi beragama ini mestinya tidak cukup bila hanya digaungkan dan berupa program saja, melainkan perlu didesakkan sebagai aksi dan gerakan bersama seluruh komponen bangsa baik pemerintah (Kementerian Agama) maupun kelompok-kelompok agama agar ekstremisme dan kekerasan atas dasar kebencian kepada agama dan suku yang berbeda bisa ditekan dan dihilangkan menuju beragama yang toleran, damai dan menghargai kemanusiaan semesta.