Iuran BPJS Kesehatan Naik, Pengamat: Sekarang Rakyat Lagi Susah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menganggap, sikap pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS di tengah situasi pandemi Covid-19 atau virus corona tentu membuat rakyat kecewa.
Menurut Karyono, keputusan ini pasti menuai banyak kritik karena dinilai telah mencederai rasa keadilan, terlebih dibuat dalam situasi sulit. Menurutnya, kebijakan yang tidak populis ini telah menambah daftar sejumlah langkah blunder para pembantu Presiden.
"Dampaknya, Presiden kena getahnya. Pamor Jokowi berpotensi menurun drastis di periode kedua pemerintahannya. Para pembantu Presiden perlu ditertibkan agar tidak menjadi beban Presiden terus menerus," tutur Karyono saat dihubungi SINDOnews, Kamis (14/5/2020).
(Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Sangat Memberatkan Rakyat yang Tengah Sekarat)
Dia menyatakan, masalah pandemi masih menumpuk, tapi pemerintah justru membuat kebijakan menaikkan iuran BPJS. Kenaikan iuran BPJS tersebut tercantum dalam Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Jokowi pada 5 Mei 2020.
Karyono menjelaskan, Perppres tersebut diterbitkan sebagai pelaksanaan Putusan MahkamahAgung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres 75 Tahun 2019, tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen dari iuran sebelumnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020 telah membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) BPJS Kesehatan," paparnya.
Menurutnya, meski ada perubahan jumlah angka kenaikan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dari yang tercantum dalam Perppres 75 Tahun 2019, tapi hal itu dirasakan masih memberatkan masyarakat. Terlebih saat ini masih dalam situasi krisis wabah Covid-19.
Karyono mengatakan, meskipun alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS demi keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan terjaminnya pelayanan kesehatan masyarakat, tetapi tetap saja akan mengusik perasaan banyak orang dan bertanya-tanya dalam hati, lho iki karepe piye pak Jokowi? (Lho ini maksudnya bagaimana Pak Jokowi?).
"Sekarang ini rakyat dalam keadaan susah karena dampak pandemi Covid-19, mengapa iuran BPJS malah naik? Kurang lebih begitulah perasaan banyak orang dalam menyikapi kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perppres 64/2020 tersebut," ucap dia.
Lebih lanjut Karyono mengungkapkan, substansi Putusan MA telah memerintahkan agar pihak pemerintah tidak membebani masyarakat (peserta BPJS) dengan menaikkan iuran di tengah lemahnya daya beli masyarakat akibat pelambatan perekonomian global, sementara di sisi lain pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik. Dua hal pokok itulah yang menjadi dasar pertimbangan putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS.
"Maka seharusnya, pemerintah melaksanakan Putusan MA dengan memperhatikan dua hal pokok yaitu memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat, terlebih di tengah pandemi dan harus memperbaiki sistem pelayanan serta manajemen BPJS sebelum membuat kebijakan tentang kenaikan iuran," pungkasnya.
Menurut Karyono, keputusan ini pasti menuai banyak kritik karena dinilai telah mencederai rasa keadilan, terlebih dibuat dalam situasi sulit. Menurutnya, kebijakan yang tidak populis ini telah menambah daftar sejumlah langkah blunder para pembantu Presiden.
"Dampaknya, Presiden kena getahnya. Pamor Jokowi berpotensi menurun drastis di periode kedua pemerintahannya. Para pembantu Presiden perlu ditertibkan agar tidak menjadi beban Presiden terus menerus," tutur Karyono saat dihubungi SINDOnews, Kamis (14/5/2020).
(Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Sangat Memberatkan Rakyat yang Tengah Sekarat)
Dia menyatakan, masalah pandemi masih menumpuk, tapi pemerintah justru membuat kebijakan menaikkan iuran BPJS. Kenaikan iuran BPJS tersebut tercantum dalam Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Jokowi pada 5 Mei 2020.
Karyono menjelaskan, Perppres tersebut diterbitkan sebagai pelaksanaan Putusan MahkamahAgung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres 75 Tahun 2019, tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen dari iuran sebelumnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020 telah membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) BPJS Kesehatan," paparnya.
Menurutnya, meski ada perubahan jumlah angka kenaikan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dari yang tercantum dalam Perppres 75 Tahun 2019, tapi hal itu dirasakan masih memberatkan masyarakat. Terlebih saat ini masih dalam situasi krisis wabah Covid-19.
Karyono mengatakan, meskipun alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS demi keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan terjaminnya pelayanan kesehatan masyarakat, tetapi tetap saja akan mengusik perasaan banyak orang dan bertanya-tanya dalam hati, lho iki karepe piye pak Jokowi? (Lho ini maksudnya bagaimana Pak Jokowi?).
"Sekarang ini rakyat dalam keadaan susah karena dampak pandemi Covid-19, mengapa iuran BPJS malah naik? Kurang lebih begitulah perasaan banyak orang dalam menyikapi kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perppres 64/2020 tersebut," ucap dia.
Lebih lanjut Karyono mengungkapkan, substansi Putusan MA telah memerintahkan agar pihak pemerintah tidak membebani masyarakat (peserta BPJS) dengan menaikkan iuran di tengah lemahnya daya beli masyarakat akibat pelambatan perekonomian global, sementara di sisi lain pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik. Dua hal pokok itulah yang menjadi dasar pertimbangan putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS.
"Maka seharusnya, pemerintah melaksanakan Putusan MA dengan memperhatikan dua hal pokok yaitu memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat, terlebih di tengah pandemi dan harus memperbaiki sistem pelayanan serta manajemen BPJS sebelum membuat kebijakan tentang kenaikan iuran," pungkasnya.
(maf)