Budaya Hukum: Perilaku dan Keteladanan

Selasa, 29 Desember 2020 - 05:36 WIB
loading...
Budaya Hukum: Perilaku dan Keteladanan
Sudjito Atmoredjo (Foto: Istimewa)
A A A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM

PADA akhir 2020 ini, saya temukan beberapa kejadian unik dan langka. Beberapa kejadian terurai di bawah ini, patut disebut sebagai budaya hukum yang mengejawantah dalam bentuk perilaku dan keteladanan.

Pertama, viral di berbagai media (Kamis, 24/12) perihal permintaan maaf mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terkait pembelanjaan uang negara secara ilegal, ketika pesta makan malam diselenggarakan kantornya, untuk para pendukungnya, menjelang pesta tahunan menonton bunga sakura.

"Saya menyampaikan permohonan maaf sedalam-dalamnya kepada rakyat dan semua anggota partai yang berkuasa dan oposisi. Meskipun akuntansi dilakukan tanpa sepengetahuan saya, saya sangat menyadari kewajiban moral saya. Saya merenungkan hal ini secara mendalam dan meminta maaf dari hati saya kepada warga dan semua anggota parlemen," kata Abe sambil menundukkan kepala.

Skandal melibatkan pesta makan malam tahunan pada 2018 di mana para tamu Abe masing-masing membayar biaya sebesar 5.000 yen atau sekitar Rp682.000,00. Anggota parlemen oposisi mengatakan, pembayaran itu terlalu rendah untuk pesta di hotel kelas atas Tokyo. Kantor Abe diduga menutupi kekurangan tersebut tanpa melaporkannya dengan benar.

Kedua, pada hari yang sama (Kamis, 24/12) seorang tokoh Muhammadiyah, menolak tawaran untuk mengisi posisi wakil menteri pendidikan dan kebudayaan (wamendikbud). Padahal sebelumnya, ada niatan untuk menerima tawaran itu. Namun pikiran berubah. Diputuskanlah untuk tidak bergabung di kabinet. Alasannya, karena amanah tersebut sangat berat. Dirinya merasa tidak akan mampu mengembannya. Dirinya bukan sosok yang tepat mengisi jabatan wamendikbud.

Ketiga, termuat dalam rubrik “Sungguh-sungguh Terjadi”, sebuah koran terbitan Yogyakarta (Sabtu, 26/12). Diwartakan peristiwa kecil: “Minggu sore, saya ke rumah simbah di Pakem Sleman. Membawa bakmi goreng dan balungan. Simbah bertanya harga bakmi tersebut, dan saya menjawab: ”Bakmi Rp15.000, balungan Rp10.000. Simbah menyahut sambil menyerahkan uang Rp100.000: “Iki dinggo ngijoli tuku bakmi, balungane dinggo kucingku (Ini untuk ganti beli bakmi, balungannya untuk kucingku).

Keempat, beberapa waktu yang lalu, Simbok (sebutan untuk almarhumah ibuku) selalu menolak ketika diberi uang oleh anak-anaknya. Cara penolakannya sangat halus. Dengan bersegera meroboh uang di stagennya, seraya berkata: “Tolong, aku titip iki wenehno putuku (Tolong, saya titip, ini berikan cucuku)”. Di kesempatan lain terungkap, Simbok ingin memberikan keteladanan bahwa dirinya walaupun sudah tua renta, tidak mau menjadi beban orang lain. Tetap ingin mandiri. Dalam batas-batas kemampuannya, terus berusaha menjadi dermawan.

Hemat saya, beberapa kejadian tersebut merupakan potret perihal masih adanya mutiara-mutiara budaya hukum, baik berskala internasional, nasional, maupun lokal. Bila digali lebih dalam lagi, diyakini mutiara-mutiara lainnya masih banyak. Di dalamnya terkandung potensi, energi, nutrisi, untuk terwujudnya perubahan ke arah perbaikan peradaban dunia.

Untuk dipahami bahwa budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam mempraktikkan hukumnya (Rahardjo, 2010: 212). Problema yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di luar Eropa (termasuk Indonesia) adalah bahwa nilai-nilai yang ada dalam hukum yang dipraktikkan -- yaitu hukum modern (hukum positif, hukum sebagai produk politik) --tidak persis sama dengan nilai-nilai luhur sebagai way of life. Dijumpai kesenjangan (gap) antara perilaku substantif yang aktual dengan sistem nilai (nilai-nilai Pancasila) yang mestinya dijadikan tuntunan, pedoman, atau sumber hukum.

Bangsa Indonesia, termasuk bangsa yang tertimpa legal culture gap tersebut. Penegasan identitas sebagai negara hukum, ternyata masih sebatas formalitas (formele rechtstaat). Dimensi bentuk, lebih diutamakan daripada isi. Kandungan akhlak (moralitas) ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial, kurang dipedulikan. Negara hukum, dominan mewujud sebagai bangunan perundang-undangan (sebagai produk politik). Penguasa (politisi, pebisnis, oligarki) seolah bebas dan sah menentukan determinasi kepentingannya, tanpa peduli pada jati diri dan aspirasi bangsa yang berkebudayaan komunalistik-religius.

Di Jepang, jauh sebelum permintaan maaf Abe, telah banyak catatan yang menggambarkan konsistensi bangsa Jepang dalam memosisikan nilai-nilai kolektif dan komunal sebagai sumber hukum. Dijelaskan oleh Fletcher (1966) bahwa kata asli untuk hukum adalah ho, artinya tapak (path) atau jalan (way). Ho juga selalu berhubungan dengan air. Maknanya, hukum Jepang senantiasa identik dengan arus air mengalir, suatu arus kebersamaan kehidupan dalam suasana harmoni, sehat, dinamis.

Hebatnya, betapa pun Jepang telah membuka diri masuknya budaya Barat pada 1853, bahkan runtuh 1945, ketika takluk pada Sekutu karena kalah pada Perang Dunia II, Jepang masih mampu bertahan pada budaya hukum aslinya. Pada keasliannya itu, negara merupakan institut yang bermurah hati (benevolent) terhadap rakyat. Negara adalah Big Brother. Senantiasa berbuat untuk kesejahteraan adik-adiknya (rakyat).

Ambil contoh, Kawaji Toshiyoshi, kepala polisi metropolitan Tokyo yang pertama dan arsitek kepolisian modern, merumuskan: “That the government should be seen as the parent, the people as the children, and the policemen as the nurses of the children” (Van Wolferen, 1989). Dalam kesehariannya, interaksi kekeluargaan bangsa Jepang (polisi khususnya) dengan rakyat, terasa hangat dan kental.

Bila direnung mendalam, apa yang diperbuat oleh Abe di atas, pastilah ada benang merah dan ketersambungan antara sikap etis tokoh bangsa dengan kultur aslinya. Demi martabat bangsa, keharmonisan kehidupan bernegara, maka Abe mengakui kekhilafannya dan minta maaf.

Sikap dan perilaku tokoh Muhammadiyah ataupun nenek-nenek di Indonesia, ketika berhadapan dengan nasib bangsa ataupun anak-cucunya, terbukti tak kalah elegan dibanding sikap etis Abe. Orang-orang langka dan mulia itu berkeinginan agar masa depan bangsa, generasi penerus, senantiasa mengedepankan akhlak dalam pengelolaan kehidupannya. Keteladanan dicontohkan secara nyata. Alangkah hebatnya Indonesia ke depan, bila negara hukum Indonesia dikelola berdasarkan akhlak, berisi perilaku dan keteladanan, sebagai wujud budaya hukum nasional ataupun lokal. Wallahu’alam.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1175 seconds (0.1#10.140)