Sekolah Tatap Muka, Layakkah Dibuka?

Selasa, 22 Desember 2020 - 06:05 WIB
loading...
Sekolah Tatap Muka, Layakkah Dibuka?
Siswa mengenakan masker saat mengikuti proses belajar di SMA 10 Negeri Makassar, Kamis (19/11/2020). FOTO/DOK.SINDOnews/MAMAN SUKIRMAN
A A A
JAKARTA - Nada sumbang pembelajaran tatap muka makin nyaring terdengar di berbagai daerah jelang dibuka awal Januari 2021 mendatang. Di tengah kasus Covid-19 yang tak terkendali dan berbagai keterbatasan di lapangan, pemerintah bersikukuh kebijakan ini harus tetap jalan.

Lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama, kebijakan sekolah tatap muka bisa dibuka dengan tak lagi berbasis warna zona yang menjadi indikasi angka sebaran virus korona. Izin dibuka tidaknya sekolah beralih menjadi kewenangan antara sekolah, komite sekolah dan pemerintah daerah. Komite sekolah juga perlu mempertimbangkan masukan dari para wali murid sebelum menjalankan sekolah tatap muka.

Namun tak hanya soal beragamnya izin tersebut yang membuat kebijakan ini tak mudah dijalankan. Sejumlah sarana, petugas, dan anggaran yang belum jelas membuat sekolah kian terkendala. Merujuk dari SKB 4 Menteri tersebut, tiap sekolah yang akan membuka tatap muka diwajibkan memiliki sarana sanitasi memadai. Untuk mengontrol ancaman virus, sekolah juga memiliki kemampuan penelusuran (tracing) terhadap siswa yang memiliki penyakit penyerta (komorbid), transportasi siswa hingga asal daerah siswa masuk zona aman atau tidak. ( )

Dari penelusuran KORAN SINDO di lapangan, sejumlah sekolah tidak yakin kebijakan ini akan bisa dilakukan secara komprehensif. Selain beragam syarat sekolah tatap muka yang dinilai berat, untuk mendisiplinkan anak-anak mematuhi protokol kesehatan Covid-19 juga tidak mudah. "Kalaupun nanti dilaksanakan, mungkin untuk sekolah yang kelas tinggi seperti 4 sampai 6," ujar Zubaedah, pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kota Tangerang Selatan.

Beberapa daerah juga memastikan akan menunda kebijakan ini seperti Jawa Tengah, Kota Depok, Kota Palembang, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Malang. Namun demikian beberapa daerah seperti Kota Surabaya, Kabupaten Karawang, dan Provinsi Riau tengah menyiapkan dengan mematangkan simulasi.

Soal belum siapnya sekolah ini juga diakui salah satu organisasi profesi pengajar, yakni Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Wakil Sekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung mengatakan pihaknya melihat sekolah-sekolah belum siap membuka pembelajaran tatap muka, baik dari protokol kesehatan (prokes) maupun infrastruktur. Bahkan yang terjadi, kini sekolah-sekolah malah meminta izin kepada orang tua lebih dahulu untuk pembelajaran tatap muka. Menurut pandangan Fahriza, seharusnya izin dari orang tua ini terakhir setelah mendapatkan izin dari pemda, dan kesiapan sekolah. "Kenyataan di lapangan, izin orang tua dulu diminta. Sementara sekolahnya, kita enggak tahu siap atau tidak. Kita enggak tahu apakah pemda akan memberikan izin atau enggak," ujarnya, Senin (21/12/2020). ( )

Fahriza menyatakan penyebaran virus Covid-19 yang belum terkendali dan orang yang terpapar makin banyak itu merupakan peringatan dalam upaya pembelajaran tatap muka. "Kami menyesalkan keputusannya ada pada pemda. Itu jadi persoalan," ucapnya.

Dengan fakta ini, pihaknya menilai rencana sekolah tatap muka seperti dipaksakan di tengah kebuntuan pemerintah pusat dan pemda untuk memperbaiki sekolah online. Ada indikasi pemda-pemda nanti berlomba membuka sekolah meskipun masih ada kasus Covid-19 di wilayahnya. "Kalau belajar dari pengalaman lalu, relaksasi di zona kuning dan hijau banyak yang melanggar ketentuan SKB (4 Menteri). (Pelanggaran) misalnya, tidak melakukan atau memenuhi semua persyaratan pada daftar periksa. Kalau diikuti paparan Kemendikbud saat SKB 4 Menteri yang ketiga, di zona merah ada yang buka," tuturnya.

Fahriza menyatakan sekolah online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih harus dilakukan di sekolah di wilayah dengan kasus Covid-19 tinggi. Konsekuensinya, pemerintah harus meningkatkan kualitas PJJ, di antaranya dengan mendorong interaksi antara guru dan siswa. Selama ini, dalam PJJ daring kadang-kadang tidak ada interaksi. Sekolah dan guru juga harus aktif berinteraksi dengan para orang tua. Pemerintah juga harus menerapkan betul kurikulum darurat.

Dorongan serupa juga disampaikan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI). Menurut Ketua FAGI Hermawan, pademi Covid-19 masih tinggi, sehingga bila sekolah tatap muka dipaksakan digelar, bisa terjadi penularan virus di antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan guru dengan guru. ( )

Berisiko Tinggi
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra juga menilai rencana sekolah tatap muka mulai Januari mendatang sangat berisiko lantaran masih terjadi kenaikan kasus secara signifikan. "Puncak kasus secara signifikan justru berpotensi terjadi di awal Januari. Jadi, kalau sekolah dibuka, tentu itu PR (pekerjaan rumah) besar dari segi kesehatan, manajemen lingkungan, dan paling penting segmen prioritas kan beda," tegas Hermawan.

Dilihat dari segi prioritas dan pemahaman, tingkat pendidikan perguruan tinggi dan SMA sangat berbeda dengan SMP dan SD. Jika terpaksa tetap harus dibuka, maka yang perlu dibuka yaitu tingkat menengah ke atas dan pendidikan tinggi. “Tetapi itu pun dengan lingkungan kesehatan yang diatur sedemikian rupa, mulai dari volume, rekayasa lingkungan seperti ventilasi udara, suhu, dan alur pembagian shift dan lainnya yang berkaitan dengan tenaga pendidikan. Semua harus diatur,” ujarnya.

Khusus siswa PAUD, SD hingga SMP, Hermawan menegaskan tidak boleh dibuka lantaran mereka belum memiliki otonomi iktikad dan perilaku. Menurutnya, tidak mungkin untuk diberlakukan mulai Januari.



Namun dalam pandangan Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, pemberlakuan kebijakan ini bergantung terhadap kondisi yang terjadi setiap hari. Bila laju penyebarannya masih tinggi, dia menganjurkan pemerintah agar meninjau kembali rencana pembelajaran tatap muka. "Kalau melihat kondisi day by day hari ini kemungkinan besar masih tinggi penyebarannya, pengawasannya susah, tentu kita harus evaluasi kembali," katanya.

Politikus Partai Demokrat itu menegaskan bahwa orang tua tetap menjadi pintu terakhir yang menjadi penentu terhadap keputusan pembelajaran tatap muka di sekolah. Karena itu, Komisi X berencana mengingatkan kembali Kemendikbud untuk mengevaluasi kembali kebijakan tersebut atau menunggu perkembangan selama satu bulan ke depan. "Jangan memaksakan sesuatu yang akan berdampak atau berisiko besar. Apalagi dampak vaksin juga kita belum tahu seperti apa. Evaluasi hasil vaksin pun juga belum tahu," ujarnya.

Namun, Dede menilai bisa saja ada pengecualian. Jika vaksin sudah berhasil menurunkan angka sekian persen dan antigen sudah bisa disebarkan, maka tidak ada salahnya untuk kembali membahas penerapan sekolah tatap muka.

Kendati banyak yang begitu khawatir atas sekolah tatap muka, pemerintah masih belum berencana merevisi kebijakan ini. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim sebelumnya mengatakan, pembukaan sekolah di semester genap tahun akademik 2020/2021 itu disepakati setelah pemerintah mengevaluasi kegiatan belajar mengajar selama beberapa bulan terakhir. "Daerah dan sekolah diharapkan dari sekarang, kalau siap untuk melakukan tatap muka harus meningkatkan kesiapannya," kata Nadiem.

Jika memutuskan akan tatap muka, maka harus mendapatkan izin dari tiga pihak, yakni pemerintah daerah, satuan pendidikan dan perwakilan orang tua yaitu komite sekolah. "Saya tekankan sekali lagi, pembelajaran sekolah tatap muka ini diperbolehkan. Bukan diwajibkan. Jadi keputusan itu ada di pemda, kepala sekolah, dan orang tua yaitu komite sekolah," tandasnya. (a hakim/fwbahtiar/faorick pakpahan/herno amir)
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1507 seconds (0.1#10.140)