Aktivis 98 Desak Pemerintah Bentuk TPF Independen Kematian 6 Anggota FPI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah Aktivis 98 mendesak pemerintah segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) untuk mengungkapkan kematian 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek Kilometer (KM) 50.
Salah satu perwakilan Aktivis 98 Ubedilah Badrun menjabarkan beberapa alasan kasus ini harus diusut oleh TPFI. Pertama, kematian 6 orang warga tersebut dalam satu waktu dan menimbulkan pertanyaan publik. Kedua, diduga peristiwa tersebut disebabkan adanya tembakan aparat keamanan. Ketiga, aparat dimaksud disebut-sebut di bawah perintah tugas yang diembannya.
"Tindakan aparat keamanan tersebut bukanlah kategori peristiwa hukum biasa. Akan tetapi, masuk kategori hukum berat karena berkaitan dengan perlindungan terhadap hak hidup warga negara," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (18/12/2020).
Aktivis 98 yang mendesak pembentukan TPFI antara lain, Ray Rangkuti, A. Wakil Kamal, Asep Supri, Andrianto, Teuku Syahrul Ansori, Erfi Firmansyah, Fuad Adnan, Aria Ator, M Jusril, dan Fahrus Zaman Fadhly.
Mereka meminta seluruh komponen bangsa untuk bersabar. Pembentukan TPFI, menurut Ubedilah, merupakan jalan yang dijamin oleh Universal Declaration of Human Right, Convention Against Torture Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984), dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Mereka menilai TPFI merupakan cara yang tepat, elegan, profesional, dan terpercaya untuk mengungkap kasus ini. Kemudian, Ubedilah menyatakan pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan dan melanjutkan proses reformasi di Polri. Tujuannya, Polri menjadi mandiri, profesional, dan humanis. "Sebab, ada semacam tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Polri semakin kehilangan independensi, profesionalitas, dan rasa humanisnya," ucapnya.
( ).
Selain itu, para Aktivis 98 itu mengingatkan pemerintah agar lebih profesional dan sesuai dengan bingkai demokrasi dalam menghadapi para pengkritiknya. Pemerintah sebaiknya membuka ruang dialog, musyawarah, dan menghormati pandangan yang berbeda.
"Bukankah Presiden adalah hasil pemilu yang dipilih rakyat. Kemudian, membangun koalisi secara mayoritas dan memiliki pengikut yang cukup peduli pada pemerintahannya," tutur Ubedilah.
( ).
Dengan kekuatan politik sebesar itu, semestinya presiden bisa tampil lebih percaya diri untuk menghadapi para pengkritiknya. Jika cara presiden justru sangat represif terhadap pengkritiknya, memunculkan dugaan kuat adanya persoalan besar dalam pemerintahan saat ini.
"Dalam konteks menjamin kebebasan bersuara dan kepentingan kualitas demokrasi Indonesia, kami mendesak kepada Presiden untuk membebaskan seluruh tahanan politik yang dipenjara atau sedang diproses hukum karena sikap dan pandangan kritis mereka," pungkasnya.
Salah satu perwakilan Aktivis 98 Ubedilah Badrun menjabarkan beberapa alasan kasus ini harus diusut oleh TPFI. Pertama, kematian 6 orang warga tersebut dalam satu waktu dan menimbulkan pertanyaan publik. Kedua, diduga peristiwa tersebut disebabkan adanya tembakan aparat keamanan. Ketiga, aparat dimaksud disebut-sebut di bawah perintah tugas yang diembannya.
"Tindakan aparat keamanan tersebut bukanlah kategori peristiwa hukum biasa. Akan tetapi, masuk kategori hukum berat karena berkaitan dengan perlindungan terhadap hak hidup warga negara," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (18/12/2020).
Aktivis 98 yang mendesak pembentukan TPFI antara lain, Ray Rangkuti, A. Wakil Kamal, Asep Supri, Andrianto, Teuku Syahrul Ansori, Erfi Firmansyah, Fuad Adnan, Aria Ator, M Jusril, dan Fahrus Zaman Fadhly.
Mereka meminta seluruh komponen bangsa untuk bersabar. Pembentukan TPFI, menurut Ubedilah, merupakan jalan yang dijamin oleh Universal Declaration of Human Right, Convention Against Torture Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984), dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Mereka menilai TPFI merupakan cara yang tepat, elegan, profesional, dan terpercaya untuk mengungkap kasus ini. Kemudian, Ubedilah menyatakan pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan dan melanjutkan proses reformasi di Polri. Tujuannya, Polri menjadi mandiri, profesional, dan humanis. "Sebab, ada semacam tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Polri semakin kehilangan independensi, profesionalitas, dan rasa humanisnya," ucapnya.
( ).
Selain itu, para Aktivis 98 itu mengingatkan pemerintah agar lebih profesional dan sesuai dengan bingkai demokrasi dalam menghadapi para pengkritiknya. Pemerintah sebaiknya membuka ruang dialog, musyawarah, dan menghormati pandangan yang berbeda.
"Bukankah Presiden adalah hasil pemilu yang dipilih rakyat. Kemudian, membangun koalisi secara mayoritas dan memiliki pengikut yang cukup peduli pada pemerintahannya," tutur Ubedilah.
( ).
Dengan kekuatan politik sebesar itu, semestinya presiden bisa tampil lebih percaya diri untuk menghadapi para pengkritiknya. Jika cara presiden justru sangat represif terhadap pengkritiknya, memunculkan dugaan kuat adanya persoalan besar dalam pemerintahan saat ini.
"Dalam konteks menjamin kebebasan bersuara dan kepentingan kualitas demokrasi Indonesia, kami mendesak kepada Presiden untuk membebaskan seluruh tahanan politik yang dipenjara atau sedang diproses hukum karena sikap dan pandangan kritis mereka," pungkasnya.
(zik)