Potensi Radikalisme Turun, Literasi Digital Belum Mampu Jadi Daya Tangkal
loading...
A
A
A
Indeks kebinekaan pada perempuan mencapai 82,5%, pada kalangan urban mencapai 82.6%, pada gen Z mencapai 82,2%, pada milenial mencapai 82,5%, pada mereka yang aktif mencari konten keagamaan mencapai 82.5% dan pada mereka yang menyebar konten keagamaan mencapai 81,8%.
Selain itu, literasi digital dinilai belum mampu menjadi daya tangkal efektif. Literasi digital (yang diukur dari perilaku AISAS) belum mampu menjadi daya tangkal yang efektif. Hal ini ditunjukkan dari nilai korelasi antara kedua variabel yang tidak signifikan (r=0.004).
Perilaku AISAS juga belum mampu mendorong peningkatan tingkat kebhinnekaan. Nilai korelasi antara antara kedua variabel tidak signifikan (r=0.074).
Tidak bermaknanya perilaku AISAS dalam menjadi daya tangkal efektif dalam mereduksi radikalisme disebabkan karena proporsi netizen yang berperilaku AISAS masih rendah (5,8%). Netizen rentan terhadap paparan radikalisme Mayoritas responden mengakses internet (75,5%).
Mayoritas gen Z mengakses internet (93%), demikian juga Milenial (85%), sedangkan gen X yang mengakses internet jumlahnya mencapai 54%. Netizen (mereka yang mengakses internet) mayoritas pernah menerima konten keagamaan (83%), mencari konten keagamaan (77%) dan menyebar konten keagamaan (52%). Mayoritas netizen sudah pada kategori medium user (aktif akses internet perhari 1-3 jam) dan heavy user (aktif akses internet). Mereka yang masuk kategori medium user persentasenya mencapai 34.6%, dan mereka yang masuk kategori heavy user mencapai 27.1%.
“Kita perlu terus memberikan nasehat kepada anak-anak muda dan kemudian mengawasi. Bagaimana kita memberikan pendidikan yang baik kepada generasi muda khusunya agar cerdas menggunakan dunia maya. Karena tanpa literasi dan edukasi, mereka akan menjadi seperti masuk hutan belantara yang tidak tahu arahnya kemana. Mereka harus diarahkan agar generasi muda jangan sampai hobi mengkonsumsi informasi terkait radikalisme,” papar Boy Rafli.
Selain itu, konten-konten tentang kebhinnekaan, nasionalisme, dan moderasi beragama harus diperkuat. Pasalnya, kelompok jaringan teror banyak menggunakan simbol agama, seolah-olah mereka berjuang atas nama agama. Generasi muda harus terus dicerdaskan dengan melibatkan tokoh-tokoh untuk memberikan wawasan keagamaan yang baik terutama dalam moderasi beragama.
“Jangan sampai mereka menjadi kelompok eksklusif yang ternyata berbeda dengan konstitusi negara, beda dengan ideologi kita Pancasila, berbeda dengan pemahaman Binneka tunggal ika,” tuturnya.
Peneliti dari Alvara Strategi Indonesia, Lilik Purwadi menjelaskan, metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara tatap muka kepada 13.700 responden di 32 provinsi, dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Kriteria responden berusia di atas 14 tahun hingga 55 tahun. Komposisi sampel sesuai demografi dan geografi penduduk Indonesia.
Selain itu, literasi digital dinilai belum mampu menjadi daya tangkal efektif. Literasi digital (yang diukur dari perilaku AISAS) belum mampu menjadi daya tangkal yang efektif. Hal ini ditunjukkan dari nilai korelasi antara kedua variabel yang tidak signifikan (r=0.004).
Perilaku AISAS juga belum mampu mendorong peningkatan tingkat kebhinnekaan. Nilai korelasi antara antara kedua variabel tidak signifikan (r=0.074).
Tidak bermaknanya perilaku AISAS dalam menjadi daya tangkal efektif dalam mereduksi radikalisme disebabkan karena proporsi netizen yang berperilaku AISAS masih rendah (5,8%). Netizen rentan terhadap paparan radikalisme Mayoritas responden mengakses internet (75,5%).
Mayoritas gen Z mengakses internet (93%), demikian juga Milenial (85%), sedangkan gen X yang mengakses internet jumlahnya mencapai 54%. Netizen (mereka yang mengakses internet) mayoritas pernah menerima konten keagamaan (83%), mencari konten keagamaan (77%) dan menyebar konten keagamaan (52%). Mayoritas netizen sudah pada kategori medium user (aktif akses internet perhari 1-3 jam) dan heavy user (aktif akses internet). Mereka yang masuk kategori medium user persentasenya mencapai 34.6%, dan mereka yang masuk kategori heavy user mencapai 27.1%.
“Kita perlu terus memberikan nasehat kepada anak-anak muda dan kemudian mengawasi. Bagaimana kita memberikan pendidikan yang baik kepada generasi muda khusunya agar cerdas menggunakan dunia maya. Karena tanpa literasi dan edukasi, mereka akan menjadi seperti masuk hutan belantara yang tidak tahu arahnya kemana. Mereka harus diarahkan agar generasi muda jangan sampai hobi mengkonsumsi informasi terkait radikalisme,” papar Boy Rafli.
Selain itu, konten-konten tentang kebhinnekaan, nasionalisme, dan moderasi beragama harus diperkuat. Pasalnya, kelompok jaringan teror banyak menggunakan simbol agama, seolah-olah mereka berjuang atas nama agama. Generasi muda harus terus dicerdaskan dengan melibatkan tokoh-tokoh untuk memberikan wawasan keagamaan yang baik terutama dalam moderasi beragama.
“Jangan sampai mereka menjadi kelompok eksklusif yang ternyata berbeda dengan konstitusi negara, beda dengan ideologi kita Pancasila, berbeda dengan pemahaman Binneka tunggal ika,” tuturnya.
Peneliti dari Alvara Strategi Indonesia, Lilik Purwadi menjelaskan, metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara tatap muka kepada 13.700 responden di 32 provinsi, dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Kriteria responden berusia di atas 14 tahun hingga 55 tahun. Komposisi sampel sesuai demografi dan geografi penduduk Indonesia.