Tiga Hal yang Bakal Mengubah Pola Pemberantasan Korupsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penangkapan dua menteri kabinet pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan korupsi belum surut. Malah, Edhy Prabowo (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan) dan Juliari Batubara (mantan Menteri Sosial) kini jadi simbol bandelnya para elite. Tak peduli situasi pandemi, yang penting masih bisa korupsi.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Damayanti Putri mengatakan ada tiga game changer dalam pemberantasan korupsi di Indonesia kedepannya, yakni pandemi Covid-19, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah.
(Baca: Korupsi Benih Bawang, KPK Koordinasi Penanganan Perkara di NTT)
Pada 31 Maret 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tentang Penanganan Covid-19. Salah satu yang menuai kritik adalah pasal 27 ayat 3. Pasal itu berbunyi: segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.
Pada pasal I, seluruh biaya dan kebijakan dalam rangka pemulihan ekonomi tidak bisa dianggap kerugian negara. Maka, perppu yang belakangan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 dianggap memberikan kekebalan hukum.
Memang pada pasal 2 disebut semua keputusan dan kebijakan itu harus berdasarkan niat baik. Gita menyatakan bukan hal mudah menilai suatu tindakan itu telah didasari niat baik.
“Implementasi UU ini berisiko tinggi. Bisa terjebak dalam tindak pidana korupsi. Potensi korupsi itu perlu kita kawal (awasi),” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Korupsi di Institusi Publik serta Peran Badan Antikorupsi, Senin (14/12/2020).
(Baca: Anggota DPD Kritisi Proses Hukum Mahasiswa Pedemo UU Cipta Kerja)
Lalu, UU Ciptaker membutuhkan sekitar 465 peraturan pelaksana. Saat ini pemerintah tengah merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. “Bagaimana pengawasan perizinan yang diatur dalam PP,” ucapnya.
Perizinan akan ditarik ke pusat. Penerbitan izin merupakan salah satu titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah. Dengan ini, diduga pola korupsi akan berubah.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Terakhir terkait pilkada, berdasarkan data KPK tahun 2015, biaya untuk mengikuti pilkada setingkat bupati dan walikota membutuhkan dana Rp20-30 miliar. Gita mengungkapkan angka meningkat tajam untuk pertarungan pemilihan gubernur, yakni Rp100 miliar.
Sementara rata-rata Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) calon kepala daerah rata-rata Rp18 miliar. Muncul pertanyaan, sisa dana untuk mengikuti pilkada dapat dari mana. “Salah satu temuan studi KPK, para penyandang dana paslon kemudian berbisnis dan mengikuti program tender di pemerintahan kedepannya,” pungkasnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Gita Damayanti Putri mengatakan ada tiga game changer dalam pemberantasan korupsi di Indonesia kedepannya, yakni pandemi Covid-19, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah.
(Baca: Korupsi Benih Bawang, KPK Koordinasi Penanganan Perkara di NTT)
Pada 31 Maret 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tentang Penanganan Covid-19. Salah satu yang menuai kritik adalah pasal 27 ayat 3. Pasal itu berbunyi: segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.
Pada pasal I, seluruh biaya dan kebijakan dalam rangka pemulihan ekonomi tidak bisa dianggap kerugian negara. Maka, perppu yang belakangan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 dianggap memberikan kekebalan hukum.
Memang pada pasal 2 disebut semua keputusan dan kebijakan itu harus berdasarkan niat baik. Gita menyatakan bukan hal mudah menilai suatu tindakan itu telah didasari niat baik.
“Implementasi UU ini berisiko tinggi. Bisa terjebak dalam tindak pidana korupsi. Potensi korupsi itu perlu kita kawal (awasi),” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Korupsi di Institusi Publik serta Peran Badan Antikorupsi, Senin (14/12/2020).
(Baca: Anggota DPD Kritisi Proses Hukum Mahasiswa Pedemo UU Cipta Kerja)
Lalu, UU Ciptaker membutuhkan sekitar 465 peraturan pelaksana. Saat ini pemerintah tengah merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. “Bagaimana pengawasan perizinan yang diatur dalam PP,” ucapnya.
Perizinan akan ditarik ke pusat. Penerbitan izin merupakan salah satu titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah. Dengan ini, diduga pola korupsi akan berubah.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Terakhir terkait pilkada, berdasarkan data KPK tahun 2015, biaya untuk mengikuti pilkada setingkat bupati dan walikota membutuhkan dana Rp20-30 miliar. Gita mengungkapkan angka meningkat tajam untuk pertarungan pemilihan gubernur, yakni Rp100 miliar.
Sementara rata-rata Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) calon kepala daerah rata-rata Rp18 miliar. Muncul pertanyaan, sisa dana untuk mengikuti pilkada dapat dari mana. “Salah satu temuan studi KPK, para penyandang dana paslon kemudian berbisnis dan mengikuti program tender di pemerintahan kedepannya,” pungkasnya.
(muh)