Tekan Kasus TBC, Ini Sejumlah Langkah yang Dilakukan Bupati Garut
loading...
A
A
A
GARUT - Report WHO 2019, Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia. Bupati Kabupaten Garut, Jawa Barat, Rudy Gunawan menyatakan, Minggu (13/12/2020), pihaknya telah menyusun beberapa strategi untuk mengeliminasi TBC atau Tuberkolosis, terutama di kalangan masyarakat Garut.
Hal tersebut dilakukannya untuk mendukung program Pencanangan Gerakan Maju Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030, yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2020.
Salah satu strategi yang dilakukan adalah membangun rumah tak layak huni. Menurut Rudy, TBC menjadi salah satu penyakit yang menyangkut erat dengan kemiskinan dan masalah kurangnya akses layanan kesehatan. Salah satu faktor pemicunya adalah tempat tinggal yang tak layak huni.
"Di Garut itu, ada sekitar 70 ribu rumah tidak layak huni. Itu karena kemiskinan. Tentu masalah TBC ini, selain keturunan, juga akibat keadaan di rumah atau hidup di tempat yang tak layak. Kita sudah lakukan penelitian dan ternyata benar," ujarnya.
"Oleh sebab itu, selama lima tahun ini, kami sudah menbangun rumah tak layak huni lebih dari 27 ribu rumah di Garut, baik menggunakan dana APBD atau dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Kita minta ke PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) untuk masuk dalam program pembangunan rumah yang tak layak huni. Selain untuk mewujudkan kenyamanan, pembangunan rumah layak huni juga bertujuan untuk mengurangi penyakit, terutama TBC," ujarnya.
Selain itu, lanjut Rudy, pihaknya juga membuat kebijakan anggaran yang bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk memberikan perhatian dari sisi anggaran untuk menemukan, menjemput, dan mengobati para penderita TBC.
"Kami berencana memberikan rumah sakit rujukan paru, lalu kami juga bekerja sama dengan stakeholder lain, Yahintara, sebuah yayasan yang membantu kita memberikan rumah contoh yang layak huni. Yahintara melakukan rekonstruksi rumah layak seperti apa, lalu rumah singgah juga, lalu kalau ada masyarakat yang terkena TBC, apa yang kami lakukan dan sebagainya," ujarnya.
Langkah berikutnya adalah mengadakan kolaborasi dengan berbagai organisasi, salah satunya adalah Muhammadyah. "Mereka melakukan tracking, siapa saja yang terkena TBC, dan dilaporkan ke kami. Kami akan melakukan tindakan penyembuhan," kata Rudy.
Ia berharap, semua pihak bisa saling bekerja sama untuk mewujudkan eliminasi TBC 2030. "Semua ini tidak bisa jalan, kalau tidak ada kolaborasi, bukan hanya pemerintahan tapi juga masyarakat," katanya.
Merujuk pada Global Tuberculosis Report WHO 2019, Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan China. Pada 2018, diperkirakan ada 845.000 orang jatuh sakit dan 93.000 jiwa meninggal akibat TBC.
Hal tersebut dilakukannya untuk mendukung program Pencanangan Gerakan Maju Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030, yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2020.
Salah satu strategi yang dilakukan adalah membangun rumah tak layak huni. Menurut Rudy, TBC menjadi salah satu penyakit yang menyangkut erat dengan kemiskinan dan masalah kurangnya akses layanan kesehatan. Salah satu faktor pemicunya adalah tempat tinggal yang tak layak huni.
"Di Garut itu, ada sekitar 70 ribu rumah tidak layak huni. Itu karena kemiskinan. Tentu masalah TBC ini, selain keturunan, juga akibat keadaan di rumah atau hidup di tempat yang tak layak. Kita sudah lakukan penelitian dan ternyata benar," ujarnya.
"Oleh sebab itu, selama lima tahun ini, kami sudah menbangun rumah tak layak huni lebih dari 27 ribu rumah di Garut, baik menggunakan dana APBD atau dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Kita minta ke PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) untuk masuk dalam program pembangunan rumah yang tak layak huni. Selain untuk mewujudkan kenyamanan, pembangunan rumah layak huni juga bertujuan untuk mengurangi penyakit, terutama TBC," ujarnya.
Selain itu, lanjut Rudy, pihaknya juga membuat kebijakan anggaran yang bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk memberikan perhatian dari sisi anggaran untuk menemukan, menjemput, dan mengobati para penderita TBC.
"Kami berencana memberikan rumah sakit rujukan paru, lalu kami juga bekerja sama dengan stakeholder lain, Yahintara, sebuah yayasan yang membantu kita memberikan rumah contoh yang layak huni. Yahintara melakukan rekonstruksi rumah layak seperti apa, lalu rumah singgah juga, lalu kalau ada masyarakat yang terkena TBC, apa yang kami lakukan dan sebagainya," ujarnya.
Langkah berikutnya adalah mengadakan kolaborasi dengan berbagai organisasi, salah satunya adalah Muhammadyah. "Mereka melakukan tracking, siapa saja yang terkena TBC, dan dilaporkan ke kami. Kami akan melakukan tindakan penyembuhan," kata Rudy.
Ia berharap, semua pihak bisa saling bekerja sama untuk mewujudkan eliminasi TBC 2030. "Semua ini tidak bisa jalan, kalau tidak ada kolaborasi, bukan hanya pemerintahan tapi juga masyarakat," katanya.
Merujuk pada Global Tuberculosis Report WHO 2019, Indonesia merupakan negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan China. Pada 2018, diperkirakan ada 845.000 orang jatuh sakit dan 93.000 jiwa meninggal akibat TBC.
(ars)