Kelola Anggaran Besar, UU Pengendalian Covid-19 Butuh Pengawasan Ketat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 terkait Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 akhirnya disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR kemarin. Kendati demikian, banyak kalangan menilai pelaksanaan undang-undang ini perlu diawasi bersama sehingga tidak membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
UU tentang Perppu Corona ini memang sempat menuai kontroversi. Beberapa pasal dalam undang-undang ini dinilai bermasalah di antaranya Pasal 27 yang memberikan “imunitas” bagi pejabat pengambil kebijakan pengendalian dampak corona, asalkan mempunyai iktikad baik.
Selain itu, undang-undang ini juga dinilai memberikan kewenangan besar bagi pemerintah dalam melakukan realokasi anggaran tanpa melalui pertimbangan DPR. Akibatnya perppu ini sempat digugat oleh tiga kelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai mengandung muatan yang bertentangan dengan UUD 1945. “Implementasi dari UU tentang Perppu Corona ini harus diawasi secara ketat karena ada kewenangan begitu besar dalam pengelolaan anggaran negara,” ujar Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Jakarta kemarin.
UU tentang Perppu Corona menjadi payung hukum terhadap penggunaan anggaran Rp405,1 triliun yang dialokasikan untuk pengendalian dampak Covid-19. Kewenangan anggaran yang begitu besar ini harus diawasi dengan ketat sehingga tidak menimbulkan skandal korupsi baru. Muhaimin mengaku telah menyampaikan kepada Presiden Jokowi untuk mengambil alih langsung tanggung jawab pengawasan.
“Dan Presiden menyatakan komitmen untuk mengawasi secara langsung sehingga tidak terjadi peristiwa 99, BLBI, peristiwa pelarian penanganan keuangan nasional yang berakibat terjadinya kelakuan jahat yang dilakukan oleh para pengusaha yang mendapatkan fasilitas dalam keuangan atau penanganan krisis ekonomi makro ini," ujarnya. (Baca: Menkumham Tegaskan Tidak Ada Kebal Hukum Bagi Pelaksana Perppu Corona)
Cak Imin—panggilan akrab Muhaimin Iskandar—mengatakan bahwa dalam perppu ini ada kewenangan yang begitu luas oleh eksekutif. Diakui Ketua Umum DPP PKB ini bahwa dalam tahapan perencanaan DPR tidak bisa melakukan pengawasan karena pandemi Covid-19 yang terjadi di luar dugaan sehingga semua menjadi spontan.
"Meski demikian, setelah melihat proses dua bulan ini, kita patut memberikan kontrol terhadap perencanaan yang tepat sehingga tidak lagi salah sasaran. Tidak lagi spontanitas itu lantas membolehkan mengambil langkah-langkah yang tidak efisien, tidak tepat sasaran, bahkan semaunya," tuturnya.
Dalam konteks ini, menurut Cak Imin, ada tiga level pengawasan. Pertama, pengawasan di DPR agar bagaimana anggaran Covid-19 yang mencapai total Rp405,1 triliun ini, baik yang digunakan langsung oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 maupun keterlibatan semua kementerian dalam realokasi anggaran dalam penanganan Covid-19 atau dampak-dampaknya.
"Kita butuh masukan, dorongan, dan pengawasan publik, termasuk pengawasan khususnya komisi-komisi di DPR agar semua anggaran itu digunakan sesuai kebutuhan dan tidak terjadi penyelewengan," katanya.
Kedua, pengawasan dalam hal sasaran atau implementasi capaian dari target. Dia mencontohkan agar pemerintah memperbanyak laboratorium dan mempercepat laporan hasilnya. Selain itu, diperlukan untuk memperbanyak tenaga medis yang bisa mendukung langsung pasien.
"Jangan seperti awal peristiwa ini dulu, satu orang bikin bilik desinfektan, semua bikin bilik penyemprotan tanpa melihat efektivitasnya dan hal ini ternyata tak efektif," urainya.
Ketiga, selain implementasi penggunaan anggaran, dalam pengawasan yang dilakukan DPR juga perlu masuk ke wilayah-wilayah distribusi agar tepat sasaran, misalnya kepada para korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Cak Imin menjelaskan, pada tiga level pengawasan ini DPR perlu memperhatikan masalah-masalah yang muncul di masyarakat agar dapat segera ditindaklanjuti.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menepis sangkaan bila Pasal 27 dari Perppu Nomor 1/2020 dianggap dapat menghilangkan delik korupsi atas pejabat pemerintah pelaksana perppu. Perppu tersebut mengatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi virus corona (Covid-19). Yasonna mengatakan, tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan perppu ini tetap akan ditindak sesuai aturan yang berlaku.
"Tidak ada istilah kebal hukum bagi pihak-pihak yang menjadi pelaksana perppu ini. Pasal 27 pada perppu tersebut tidak berarti menghapus delik korupsi. Pasal 27 hanya memberi jaminan agar pelaksana perppu tidak khawatir dalam mengambil keputusan karena kondisi saat ini memerlukan keputusan cepat," kilahnya kemarin.
Yasonna pun mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo telah menetapkan penyebaran virus corona sebagai bencana nasional. Karena itu, siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi akan dihukum mati. “Jangan lupa bahwa Presiden telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Karena itu, korupsi terhadap dana anggaran Covid-19 dapat ditindak sesuai Pasal 2 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor yang menetapkan bahwa korupsi di kala bencana bisa dijatuhi hukuman mati,” ancamnya.
Sementara itu, proses pengesahan RUU Perppu Covid-19 menjadi undang-undang relatif berjalan mulus. Dari Sembilan fraksi, hanya Fraksi PKS yang menyatakan catatan atas pengesahan undang-undang ini. Sebelum disetujui, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah membacakan pandangan-pandangan mini fraksi di Banggar. (Baca juga: Ada Bau Amis di Balik Rencana Perppu No 1 Tahun 2020 Bakal Jadi UU)
Terdapat sejumlah catatan yang diberikan oleh fraksi-fraksi, misalnya terkait kekebalan hukum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan ketiadaan fungsi anggaran DPR dalam perppu itu. Meski demikian, pada akhirnya delapan fraksi menyetujui perppu itu untuk menjadi undang-undang. Hanya Fraksi PKS yang menolak.
Pimpinan sidang yang juga Ketua DPR, Puan Maharani, lalu menyerahkan kepada peserta sidang soal pengambilan keputusan atau pembicaraan tingkat dua perppu tersebut. “Selanjutnya kami akan menanyakan kepada tiap fraksi apakah Rancangan Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan dapat disetujui menjadi Undang-Undang?,” tanya Puan.
"Apakah perlu saya ulang atau pandangan mini fraksi menjadi suatu keputusan semua fraksi? Setuju?" lanjut Puan, bertanya kepada segenap wakil rakyat yang hadir. "Setuju," jawab para anggota dewan. "Setuju menjadi undang-undang," ucap Puan serata mengetok palu tanda pengesahan kesepakatan itu. (Abdul Rochim)
UU tentang Perppu Corona ini memang sempat menuai kontroversi. Beberapa pasal dalam undang-undang ini dinilai bermasalah di antaranya Pasal 27 yang memberikan “imunitas” bagi pejabat pengambil kebijakan pengendalian dampak corona, asalkan mempunyai iktikad baik.
Selain itu, undang-undang ini juga dinilai memberikan kewenangan besar bagi pemerintah dalam melakukan realokasi anggaran tanpa melalui pertimbangan DPR. Akibatnya perppu ini sempat digugat oleh tiga kelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai mengandung muatan yang bertentangan dengan UUD 1945. “Implementasi dari UU tentang Perppu Corona ini harus diawasi secara ketat karena ada kewenangan begitu besar dalam pengelolaan anggaran negara,” ujar Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Jakarta kemarin.
UU tentang Perppu Corona menjadi payung hukum terhadap penggunaan anggaran Rp405,1 triliun yang dialokasikan untuk pengendalian dampak Covid-19. Kewenangan anggaran yang begitu besar ini harus diawasi dengan ketat sehingga tidak menimbulkan skandal korupsi baru. Muhaimin mengaku telah menyampaikan kepada Presiden Jokowi untuk mengambil alih langsung tanggung jawab pengawasan.
“Dan Presiden menyatakan komitmen untuk mengawasi secara langsung sehingga tidak terjadi peristiwa 99, BLBI, peristiwa pelarian penanganan keuangan nasional yang berakibat terjadinya kelakuan jahat yang dilakukan oleh para pengusaha yang mendapatkan fasilitas dalam keuangan atau penanganan krisis ekonomi makro ini," ujarnya. (Baca: Menkumham Tegaskan Tidak Ada Kebal Hukum Bagi Pelaksana Perppu Corona)
Cak Imin—panggilan akrab Muhaimin Iskandar—mengatakan bahwa dalam perppu ini ada kewenangan yang begitu luas oleh eksekutif. Diakui Ketua Umum DPP PKB ini bahwa dalam tahapan perencanaan DPR tidak bisa melakukan pengawasan karena pandemi Covid-19 yang terjadi di luar dugaan sehingga semua menjadi spontan.
"Meski demikian, setelah melihat proses dua bulan ini, kita patut memberikan kontrol terhadap perencanaan yang tepat sehingga tidak lagi salah sasaran. Tidak lagi spontanitas itu lantas membolehkan mengambil langkah-langkah yang tidak efisien, tidak tepat sasaran, bahkan semaunya," tuturnya.
Dalam konteks ini, menurut Cak Imin, ada tiga level pengawasan. Pertama, pengawasan di DPR agar bagaimana anggaran Covid-19 yang mencapai total Rp405,1 triliun ini, baik yang digunakan langsung oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 maupun keterlibatan semua kementerian dalam realokasi anggaran dalam penanganan Covid-19 atau dampak-dampaknya.
"Kita butuh masukan, dorongan, dan pengawasan publik, termasuk pengawasan khususnya komisi-komisi di DPR agar semua anggaran itu digunakan sesuai kebutuhan dan tidak terjadi penyelewengan," katanya.
Kedua, pengawasan dalam hal sasaran atau implementasi capaian dari target. Dia mencontohkan agar pemerintah memperbanyak laboratorium dan mempercepat laporan hasilnya. Selain itu, diperlukan untuk memperbanyak tenaga medis yang bisa mendukung langsung pasien.
"Jangan seperti awal peristiwa ini dulu, satu orang bikin bilik desinfektan, semua bikin bilik penyemprotan tanpa melihat efektivitasnya dan hal ini ternyata tak efektif," urainya.
Ketiga, selain implementasi penggunaan anggaran, dalam pengawasan yang dilakukan DPR juga perlu masuk ke wilayah-wilayah distribusi agar tepat sasaran, misalnya kepada para korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Cak Imin menjelaskan, pada tiga level pengawasan ini DPR perlu memperhatikan masalah-masalah yang muncul di masyarakat agar dapat segera ditindaklanjuti.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menepis sangkaan bila Pasal 27 dari Perppu Nomor 1/2020 dianggap dapat menghilangkan delik korupsi atas pejabat pemerintah pelaksana perppu. Perppu tersebut mengatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi virus corona (Covid-19). Yasonna mengatakan, tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan perppu ini tetap akan ditindak sesuai aturan yang berlaku.
"Tidak ada istilah kebal hukum bagi pihak-pihak yang menjadi pelaksana perppu ini. Pasal 27 pada perppu tersebut tidak berarti menghapus delik korupsi. Pasal 27 hanya memberi jaminan agar pelaksana perppu tidak khawatir dalam mengambil keputusan karena kondisi saat ini memerlukan keputusan cepat," kilahnya kemarin.
Yasonna pun mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo telah menetapkan penyebaran virus corona sebagai bencana nasional. Karena itu, siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi akan dihukum mati. “Jangan lupa bahwa Presiden telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Karena itu, korupsi terhadap dana anggaran Covid-19 dapat ditindak sesuai Pasal 2 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor yang menetapkan bahwa korupsi di kala bencana bisa dijatuhi hukuman mati,” ancamnya.
Sementara itu, proses pengesahan RUU Perppu Covid-19 menjadi undang-undang relatif berjalan mulus. Dari Sembilan fraksi, hanya Fraksi PKS yang menyatakan catatan atas pengesahan undang-undang ini. Sebelum disetujui, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah membacakan pandangan-pandangan mini fraksi di Banggar. (Baca juga: Ada Bau Amis di Balik Rencana Perppu No 1 Tahun 2020 Bakal Jadi UU)
Terdapat sejumlah catatan yang diberikan oleh fraksi-fraksi, misalnya terkait kekebalan hukum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan ketiadaan fungsi anggaran DPR dalam perppu itu. Meski demikian, pada akhirnya delapan fraksi menyetujui perppu itu untuk menjadi undang-undang. Hanya Fraksi PKS yang menolak.
Pimpinan sidang yang juga Ketua DPR, Puan Maharani, lalu menyerahkan kepada peserta sidang soal pengambilan keputusan atau pembicaraan tingkat dua perppu tersebut. “Selanjutnya kami akan menanyakan kepada tiap fraksi apakah Rancangan Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan dapat disetujui menjadi Undang-Undang?,” tanya Puan.
"Apakah perlu saya ulang atau pandangan mini fraksi menjadi suatu keputusan semua fraksi? Setuju?" lanjut Puan, bertanya kepada segenap wakil rakyat yang hadir. "Setuju," jawab para anggota dewan. "Setuju menjadi undang-undang," ucap Puan serata mengetok palu tanda pengesahan kesepakatan itu. (Abdul Rochim)
(ysw)