Jadilah Pemilih Rasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah wabah Covid-19 yang berkepanjangan, masyarakat didorong mengutamakan aspek rasionalitas dan hati nurani saat coblosan pilkada serentak besok. Cara ini diharapkan akan melahirkan kepala daerah yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat.
Penekanan rasionalitas ini penting sebab saat ini banyak masyarakat tak lagi memberikan perhatian pada agenda pemilihan kepala daerah (pilkada). Situasi ini wajar terjadi karena di tengan pandemi pikiran masyarakat lebih banyak difokuskan pada pengelolaan kesehatan diri serta pemenuhan kebutuhan ekonomi. (Baca: 5 Doa Ketika Mengalami Kesulitan)
Celah inilah yang sangat memungkinkan masyarakat menggunakan haknya pilihnya dengan sekadarnya. Mereka sangat mungkin mecoblos kandidat hanya berbasis informasi yang minim. Bahkan tak sedikit warga yang menjatuhkan pilihannya karena berbasis penampilan bukan visi dan misinya.
Direktur Eksekutif Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai tahapan penyelenggaraan Pilkada tahun ini memang sangat berbeda ketimbang gelaran sebelumnya. Terlebih lagi, pembatasan kerumunan hingga kampanye tatap muka yang dibatasi berpotensi membuat masyarakat belum memahami sepenuhnya profil dan rekam jejak para calon.
“Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat masih ada yang memilih bukan karena visi, misi, dan program yang diajukan oleh pasangan calon. Apalagi dalam situasi pandemi ini, pilkada bukan menjadi prioritas masyarakat sehingga tidak mencari tahu siapa yang menjadi calon di daerah tersebut,” ujar Nisa.
Dengan fakta ini, sudah seharusnya pemilih harus didorong menjadi kritis. Mereka harus mengenal siapa yang menjadi pasangan calon, apa visi-misi dan program yang diajukan oleh paslon tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mengenali apa yang menjadi kebutuhan dari calon kepala daerah. (Baca juga: 14 SMP Gelar Simulasi Sekolah Tatap Muka Bersama Siswa)
“Apakah kebutuhan kita itu ada yang diakomodir oleh pasangan calon. Dengan begitu, pemilih akan mengenali siapa calonnya. Di sisi lain, itu ada peran dari penyelenggara pemilu untuk memastikan informasi mengenai calon tersampaikan secara utuh kepada pemilih,” jelasnya.
Bayang kekhawatiran lainnya yaitu persoalan politik transaksional. Ada potensi serangan fajar berupa pemberian uang atau barang demi meraup suara konstituen. Nisa menilai, dalam situasi pandemi saat ini, memang ada fenomena pemilih menjadi lebih permisif dengan politik uang.
Sebetulnya dari sisi regulasi ada sanksi pidana bagi pemberi dan penerima kasus politik uang. Bahkan bisa sampai pada diskualifikasi paslon. “Namun selama ini, dalam kasus politik uang masih sulit menjerat pelaku intelektual,” terangnya.
Saat ini masih ada waktu bagi pemilih untuk mencari tahu tentang sepak terjang calon yang akan dipilihnya. Termasuk kemampuan dalam mengatasi isu atau persoalan di daerah yang belum tertangani dengan baik. Nisa meyakini pilkada serentak tahun ini yang merupakan terbanyak dalam sejarah masih menarik minat masyarakat. Namun harus ada jaminan kesehatan bahwa ketika datang ke TPS tidak akan terinfeksi Covid-19. (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus besar)
Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid Indonesia) Dahliah Umar meyakini pilkada kali ini akan tetap diminati masyarakat. Menurutnya, ada beberapa alasan warga tetap menggunakan hak pilihnya. Pertama, untuk menilai kinerja pemerintah dalam menghadapi krisis pandemi. Kedua, mencari kandidat yang sangat bagus dan mampu menjawab harapan serta isu-isu daerah yang dihadapi masyarakat. Ketiga, ada jaminan KPU terkait aspek tata cara memilih di TPS dengan protokol kesehatan.
Dia mengakui ada potensi masyarakat yang tidak tahu sepak terjang para kandidat. Hal itu berpeluang masyarakat akhirnya hanya memilih tokoh yang populer, seperti keterkenalan nama, tertarik pada gambar, dan lainnya.
Mantan ketua KPU DKI Jakarta itu menilai situasi tersebut terjadi karena kampanye calon kepala daerah yang minim lantaran adanya pembatasan pertemuan fisik (physical distancing). Masyarakat menjadi tidak terlalu kenal calon, kecuali mereka yang memiliki akses internet dan bisa mengakses kegiatan-kegiatan debat.
“Pada akhirnya, kuncinya adalah pembandingan antara petahana dengan penantang. Kalau petahana cukup baik mengatasi krisis Covid-19 dan mendistribusikan bansos, masyarakat akan cenderung memilihnya,” ujarnya. (Baca juga: Peneliti Korea Buat Biodiesel dari Kardus Bekas)
Kampanye yang sangat minim juga membuat masyarakat tidak sepenuhnya paham akan semua calon dan rekam jejak kinerjanya. Dalam prediksi Dahliah, kondisi itu disinyalir juga berpeluang terjadinya serangan fajar atau politik bagi uang sebelum pemungutan suara terjadi. Bentuknya pun bisa beraneka ragam.
“Politik uang juga sangat efektif karena calon sangat sedikit kesempatan bertemu pemilih. Jadi, (calon) menempuh jalur singkat dengan membagi-bagi uang,” jelas dia.
Karena itu, dia mengingatkan masyarakat agar menggunakan hak suaranya dengan memilih calon yang tepat. Catanya bisa melalui rekam jejak dan program kerja yang akan dilakukan bila terpilih sebagai kepala daerah.
Tak Perlu Khawatir
Pemerintah berharap kekhawatiran tentang minimnya pemahaman publik terhadap profil calon dan penerapan protokol kesehatan tidak perlu berlebihan. Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik mengatakan, pilkada telah direncanakan dengan baik di masa pandemi saat ini. (Baca juga: Waspada Hoaks Jelang Pelaksanaan Pilkada 2020)
Menurutnya tidak hanya pemerintah ataupun penyelenggara, Satgas Covid-19 juga sudah berkoordinasi untuk menyiapkan seluruh tahapan pilkada dengan baik. “Artinya, masyarakat tidak perlu khawatir lantaran pilkada sudah dipersiapkan dengan matang dengan berbagai upaya agar masyarakat terhindar dari paparan covid-19. Tugas masyarakat hanya patuhi protokol kesehatan, datang ke lokasi pada jadwal yang sudah ditentukan oleh KPU," katanya.
Dia juga menyampaikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pilkada sangatlah penting. Pasalnya pilkada merupakan momentum untuk memperoleh pemimpin daerah dengan legitimasi yang kuat. "Kita kan semua sepakat untuk menangani Covid-19 ini secara bersama-sama, saling bersinergi. Sinergi bersama-sama itu membutuhkan partisipasi," ujarnya.
Akmal juga mengapresiasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang sudah mempersiapkan Satgas khusus di masing-masing daerah untuk membantu kelancaran pilkada . "Tadi pagi pun sudah mempunyai sebuah Satgas tersendiri yang siap untuk men-supply ketika ada kekurangan-kekurangan kebutuhan alat-alat pelindung diri bagi penyelenggara di masing-masing daerah," katanya. (Baca juga: Kabar Baik! Harga Rokok Kretek Tidak Naik, Pekerja Selamat)
Sementara Komisi II DPR mengingatkan soal maraknya hoaks yang disebarkan jelang hari H pemungutan suara. Bukan hanya hoaks yang sifatnya serangan antarpersonal pasangan calon (paslon), tapi hoaks yang menyebar ketakutan bagi masyarakat pemilih untuk datang ke TPS juga berpotensi muncul.
Kekhawatiran ini disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa dalam diskusi 4 Pilar yang bertajuk “Waspada Hoaks Jelang Pilkada 9 Desember” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. Menurut dia, peran media sosial sangat penting dalam pilkada di tengah pandemi, sehingga potensi hoaks dan fitnah sangat besar.
“Ruang untuk menjatuhkan pasangan lain di tengah pandemi sangat terbuka karena dengan mudah masyarakat bisa mengakses bukan hanya terkait berita, tapi yang sangat berbahaya itu ada platform yang didesain sedemikian rupa, akun anonim yang didesain sedemikian rupa. Dan ini sudah lewat,” kata Saan dalam diskusi. (Baca juga: Turki Tegaskan Tidak Akan tunduk Pada Ancaman UE)
Saan memprediksi, hari ini kira-kira potensi hoaks apa yang paling mungkin dilakukan selain antar paslon saling menjatuhkan. Kemudian, menyebarkan kekhawatiran, ketakutan luar baisa, informasi pandemi Covid-19 yang trennya naik tajam, suara-suara terkait dengan permintaan pilkada ditunda yang rasional hingga permintaan penundaan untuk kepentingan tertentu. “Potensi yang bisa dipetakan Kominfo adalah menakut-nakuti orang datang ke TPS, sehingga partisipasi pemilih di pilkada rendah,” ujarnya.
Partisipasi rendah ini patut diwaspadai. Sebab saat ini sudah ditargetkan partisipasi pemilih bisa mencapai 77% karena terkait legitimasi pilkada. “Ini yang perlu diantisipasi, dipetakan dan bagaimana mencegahnya,” tegas Saan.
Sementara, Saan mengungkap, literasi masyarakat lemah, bukan hanya di tingkat bawah tapi di tingkat menengah. Tetapi di pilkada ini isunya tidak terlalu besar, karena pilkada tersebar di 270 daerah jadi sulit untuk melakukan ini. Tapi, penyebar hoaks ini berkepentingan di tingkat partisipasi pilkada, membuat pemilih malas datang ke TPS dengan alasan Covid. (Lihat videonya: Petugas Razia Protokol Kesehatan di Jakarta)
Saan mengingatkan, semua punya tanggung jawab yang sama tentang bagaimana protokol kesehatan (prokes) Covid-19 bisa berjalan dengan baik di Pilkada dan Pilkada 2020 bisa sukses, kekhawatiran banyak orang terkait klaster baru pilkada tidak terjadi, lahir pemimpin baik dan berkualitas dan pilkada berjalan dengan tingkat partisipasi yang memadai. (Kiswondari/Dita Angga/Faorick Pakpahan)
Penekanan rasionalitas ini penting sebab saat ini banyak masyarakat tak lagi memberikan perhatian pada agenda pemilihan kepala daerah (pilkada). Situasi ini wajar terjadi karena di tengan pandemi pikiran masyarakat lebih banyak difokuskan pada pengelolaan kesehatan diri serta pemenuhan kebutuhan ekonomi. (Baca: 5 Doa Ketika Mengalami Kesulitan)
Celah inilah yang sangat memungkinkan masyarakat menggunakan haknya pilihnya dengan sekadarnya. Mereka sangat mungkin mecoblos kandidat hanya berbasis informasi yang minim. Bahkan tak sedikit warga yang menjatuhkan pilihannya karena berbasis penampilan bukan visi dan misinya.
Direktur Eksekutif Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai tahapan penyelenggaraan Pilkada tahun ini memang sangat berbeda ketimbang gelaran sebelumnya. Terlebih lagi, pembatasan kerumunan hingga kampanye tatap muka yang dibatasi berpotensi membuat masyarakat belum memahami sepenuhnya profil dan rekam jejak para calon.
“Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat masih ada yang memilih bukan karena visi, misi, dan program yang diajukan oleh pasangan calon. Apalagi dalam situasi pandemi ini, pilkada bukan menjadi prioritas masyarakat sehingga tidak mencari tahu siapa yang menjadi calon di daerah tersebut,” ujar Nisa.
Dengan fakta ini, sudah seharusnya pemilih harus didorong menjadi kritis. Mereka harus mengenal siapa yang menjadi pasangan calon, apa visi-misi dan program yang diajukan oleh paslon tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mengenali apa yang menjadi kebutuhan dari calon kepala daerah. (Baca juga: 14 SMP Gelar Simulasi Sekolah Tatap Muka Bersama Siswa)
“Apakah kebutuhan kita itu ada yang diakomodir oleh pasangan calon. Dengan begitu, pemilih akan mengenali siapa calonnya. Di sisi lain, itu ada peran dari penyelenggara pemilu untuk memastikan informasi mengenai calon tersampaikan secara utuh kepada pemilih,” jelasnya.
Bayang kekhawatiran lainnya yaitu persoalan politik transaksional. Ada potensi serangan fajar berupa pemberian uang atau barang demi meraup suara konstituen. Nisa menilai, dalam situasi pandemi saat ini, memang ada fenomena pemilih menjadi lebih permisif dengan politik uang.
Sebetulnya dari sisi regulasi ada sanksi pidana bagi pemberi dan penerima kasus politik uang. Bahkan bisa sampai pada diskualifikasi paslon. “Namun selama ini, dalam kasus politik uang masih sulit menjerat pelaku intelektual,” terangnya.
Saat ini masih ada waktu bagi pemilih untuk mencari tahu tentang sepak terjang calon yang akan dipilihnya. Termasuk kemampuan dalam mengatasi isu atau persoalan di daerah yang belum tertangani dengan baik. Nisa meyakini pilkada serentak tahun ini yang merupakan terbanyak dalam sejarah masih menarik minat masyarakat. Namun harus ada jaminan kesehatan bahwa ketika datang ke TPS tidak akan terinfeksi Covid-19. (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus besar)
Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid Indonesia) Dahliah Umar meyakini pilkada kali ini akan tetap diminati masyarakat. Menurutnya, ada beberapa alasan warga tetap menggunakan hak pilihnya. Pertama, untuk menilai kinerja pemerintah dalam menghadapi krisis pandemi. Kedua, mencari kandidat yang sangat bagus dan mampu menjawab harapan serta isu-isu daerah yang dihadapi masyarakat. Ketiga, ada jaminan KPU terkait aspek tata cara memilih di TPS dengan protokol kesehatan.
Dia mengakui ada potensi masyarakat yang tidak tahu sepak terjang para kandidat. Hal itu berpeluang masyarakat akhirnya hanya memilih tokoh yang populer, seperti keterkenalan nama, tertarik pada gambar, dan lainnya.
Mantan ketua KPU DKI Jakarta itu menilai situasi tersebut terjadi karena kampanye calon kepala daerah yang minim lantaran adanya pembatasan pertemuan fisik (physical distancing). Masyarakat menjadi tidak terlalu kenal calon, kecuali mereka yang memiliki akses internet dan bisa mengakses kegiatan-kegiatan debat.
“Pada akhirnya, kuncinya adalah pembandingan antara petahana dengan penantang. Kalau petahana cukup baik mengatasi krisis Covid-19 dan mendistribusikan bansos, masyarakat akan cenderung memilihnya,” ujarnya. (Baca juga: Peneliti Korea Buat Biodiesel dari Kardus Bekas)
Kampanye yang sangat minim juga membuat masyarakat tidak sepenuhnya paham akan semua calon dan rekam jejak kinerjanya. Dalam prediksi Dahliah, kondisi itu disinyalir juga berpeluang terjadinya serangan fajar atau politik bagi uang sebelum pemungutan suara terjadi. Bentuknya pun bisa beraneka ragam.
“Politik uang juga sangat efektif karena calon sangat sedikit kesempatan bertemu pemilih. Jadi, (calon) menempuh jalur singkat dengan membagi-bagi uang,” jelas dia.
Karena itu, dia mengingatkan masyarakat agar menggunakan hak suaranya dengan memilih calon yang tepat. Catanya bisa melalui rekam jejak dan program kerja yang akan dilakukan bila terpilih sebagai kepala daerah.
Tak Perlu Khawatir
Pemerintah berharap kekhawatiran tentang minimnya pemahaman publik terhadap profil calon dan penerapan protokol kesehatan tidak perlu berlebihan. Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik mengatakan, pilkada telah direncanakan dengan baik di masa pandemi saat ini. (Baca juga: Waspada Hoaks Jelang Pelaksanaan Pilkada 2020)
Menurutnya tidak hanya pemerintah ataupun penyelenggara, Satgas Covid-19 juga sudah berkoordinasi untuk menyiapkan seluruh tahapan pilkada dengan baik. “Artinya, masyarakat tidak perlu khawatir lantaran pilkada sudah dipersiapkan dengan matang dengan berbagai upaya agar masyarakat terhindar dari paparan covid-19. Tugas masyarakat hanya patuhi protokol kesehatan, datang ke lokasi pada jadwal yang sudah ditentukan oleh KPU," katanya.
Dia juga menyampaikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pilkada sangatlah penting. Pasalnya pilkada merupakan momentum untuk memperoleh pemimpin daerah dengan legitimasi yang kuat. "Kita kan semua sepakat untuk menangani Covid-19 ini secara bersama-sama, saling bersinergi. Sinergi bersama-sama itu membutuhkan partisipasi," ujarnya.
Akmal juga mengapresiasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang sudah mempersiapkan Satgas khusus di masing-masing daerah untuk membantu kelancaran pilkada . "Tadi pagi pun sudah mempunyai sebuah Satgas tersendiri yang siap untuk men-supply ketika ada kekurangan-kekurangan kebutuhan alat-alat pelindung diri bagi penyelenggara di masing-masing daerah," katanya. (Baca juga: Kabar Baik! Harga Rokok Kretek Tidak Naik, Pekerja Selamat)
Sementara Komisi II DPR mengingatkan soal maraknya hoaks yang disebarkan jelang hari H pemungutan suara. Bukan hanya hoaks yang sifatnya serangan antarpersonal pasangan calon (paslon), tapi hoaks yang menyebar ketakutan bagi masyarakat pemilih untuk datang ke TPS juga berpotensi muncul.
Kekhawatiran ini disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa dalam diskusi 4 Pilar yang bertajuk “Waspada Hoaks Jelang Pilkada 9 Desember” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. Menurut dia, peran media sosial sangat penting dalam pilkada di tengah pandemi, sehingga potensi hoaks dan fitnah sangat besar.
“Ruang untuk menjatuhkan pasangan lain di tengah pandemi sangat terbuka karena dengan mudah masyarakat bisa mengakses bukan hanya terkait berita, tapi yang sangat berbahaya itu ada platform yang didesain sedemikian rupa, akun anonim yang didesain sedemikian rupa. Dan ini sudah lewat,” kata Saan dalam diskusi. (Baca juga: Turki Tegaskan Tidak Akan tunduk Pada Ancaman UE)
Saan memprediksi, hari ini kira-kira potensi hoaks apa yang paling mungkin dilakukan selain antar paslon saling menjatuhkan. Kemudian, menyebarkan kekhawatiran, ketakutan luar baisa, informasi pandemi Covid-19 yang trennya naik tajam, suara-suara terkait dengan permintaan pilkada ditunda yang rasional hingga permintaan penundaan untuk kepentingan tertentu. “Potensi yang bisa dipetakan Kominfo adalah menakut-nakuti orang datang ke TPS, sehingga partisipasi pemilih di pilkada rendah,” ujarnya.
Partisipasi rendah ini patut diwaspadai. Sebab saat ini sudah ditargetkan partisipasi pemilih bisa mencapai 77% karena terkait legitimasi pilkada. “Ini yang perlu diantisipasi, dipetakan dan bagaimana mencegahnya,” tegas Saan.
Sementara, Saan mengungkap, literasi masyarakat lemah, bukan hanya di tingkat bawah tapi di tingkat menengah. Tetapi di pilkada ini isunya tidak terlalu besar, karena pilkada tersebar di 270 daerah jadi sulit untuk melakukan ini. Tapi, penyebar hoaks ini berkepentingan di tingkat partisipasi pilkada, membuat pemilih malas datang ke TPS dengan alasan Covid. (Lihat videonya: Petugas Razia Protokol Kesehatan di Jakarta)
Saan mengingatkan, semua punya tanggung jawab yang sama tentang bagaimana protokol kesehatan (prokes) Covid-19 bisa berjalan dengan baik di Pilkada dan Pilkada 2020 bisa sukses, kekhawatiran banyak orang terkait klaster baru pilkada tidak terjadi, lahir pemimpin baik dan berkualitas dan pilkada berjalan dengan tingkat partisipasi yang memadai. (Kiswondari/Dita Angga/Faorick Pakpahan)
(ysw)