Krisis Pandemi, Pengembangan Big Data Kesehatan Dinilai Penting
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jelang akhir tahun, Indonesia masih berjibaku menangani pandemi virus Corona (Covid-19) yang belum menunjukkan titik puncak kasus.
(Baca juga: Ini yang Perlu Diketahui Saat Vaksin Datang)
Bahkan, berdasarkan data terakhir Satgas Penanganan Covid-19, kasus positif terus naik secara signifikan dan telah mencapai lebih dari 557 ribu kasus.
(Baca juga: Perpres Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme Dinilai Harus Segera Disahkan)
Sementara, sejumlah negara telah berhasil mengakhiri gelombang pertama. Salah satunya adalah Korea Selatan yang dinilai mampu membangun dan praktik pemanfaatan big data dalam mencegah dan menangani pandemi.
Big data di Korea Selatan dilakukan dengan melacak pasien positif melalui Global Positioning System (GPS) telepon dan mobil, transaksi kartu kredit, riwayat perjalanan, rekaman Closed-Circuit Television (CCTV), dan memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) untuk mengidentifikasi kasus prioritas tinggi.
Selain itu, aplikasi smartphone juga dimanfaatkan agar memudahkan pemantauan mandiri selama 14 hari, termasuk bagi para pelancong internasional yang masuk ke negara tersebut.
Rumah sakit juga memperkenalkan diagnosis jarak jauh untuk pasien dengan gejala ringan untuk membantu membebaskan profesional medis agar fokus pada gejala yang lebih serius.
Di Indonesia sendiri, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian BUMN juga menciptakan aplikasi PeduliLindungi untuk membantu menekan penularan Covid-19.
Lewat layanan digital tersebut, masyarakat bisa berpartisipasi saling membagikan data atau lokasi saat bepergian. Sebaran penyakit hingga ke level kelurahan pun dapat diketahui melalui aplikasi tersebut.
Peneliti bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Vunny Wijaya menilai, upaya tersebut sebagai bagian dari pemanfaatan big data di sektor kesehatan.
Namun, mengingat belum semua wilayah Indonesia teraliri internet, masih banyak masyarakat belum dapat memanfaatkan aplikasi ini atau aplikasi sejenis lainnya.
"Pengembangan dan pemanfaatan big data perlu ditunjang sejumlah strategi. Hal ini agar inovasi yang dihasilkan pun dapat dirasakan masyarakat di daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal)," kata Vunny dalam penjelasan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (4/12/2020).
Ia melanjutkan, ada dua prioritas yang perlu diperhatikan pemerintah sebagai yang paling berwenang dalam melakukan perluasan praktik big data. Pertama, soal ketersediaan teknologi, khususnya pemerataan akses internet di Indonesia.
"Sejumlah upaya pemerataan sedang dilakukan Kominfo, Namun, lokasi yang perlu diprioritaskan dan memerlukan percepatan akses internet adalah fasilitas kesehatan yang ada di seluruh Indonesia," ujar dia.
Data Kemenkes hingga 31 Desember 2019 menunjukkan terdapat 2.877 RS dan 10.134 Puskesmas di Indonesia. Dari jumlah tersebut, Badan Layanan Umum Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BLU BAKTI) Kementerian Kominfo mengidentifikasi 3.126 fasilitas pelayanan kesehatan RS dan puskesmas masih membutuhkan optimalisasi layanan internet.
Dari 3.126 titik tersebut, tahun lalu BLU BAKTI telah menyediakan akses internet di 226 titik fasilitas pelayanan kesehatan.
"Upaya ini harus terus dikejar. Kolaborasi dengan berbagai aktor termasuk operator seluler juga harus diperluas. Apalagi biaya pengembangan infrastruktur juga sangat besar," jelasnya.
Kedua lanjut Vunny, soal upaya menjamin keamanan data pengguna sistem big data. Pada dasarnya, perlindungan data pasien telah dijamin dalam sejumlah peraturan seperti UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit hingga UU No.19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Namun, di tengah situasi pandemi, keamanan data diri pasien Covid-19 sangat dipertaruhkan. Karena itu, perlu payung hukum yang lebih kuat untuk menjadi landasan dalam mencegah dan menindak jika terjadi pencurian data.
"Salah satunya adalah dengan pengesahaan RUU Perlindungan Data Pribadi yang tengah dibahas oleh DPR. Apalagi beberapa waktu lalu kebocoran data pasien Covid-19 diduga telah diperjualbelikan oleh peretas atau hacker di situs dark web," terang dia.
Dengan kata lain, sambung Vunny, melalui praktik big data di tengah pandemi, upaya negara membuka data publik seperti usia, jenis kelamin, dan kewarganegaraan perlu didukung landasan hukum yang lebih tegas untuk melindungi data-data yang telah terkumpul tersebut.
"RUU ini pun selayaknya menjamin penegakan hukum yang tegas dalam upaya mencegah dan menangani adanya kasus terkait perlindungan data pasien. Dengan begitu, bila terjadi pencurian atau pelanggaran, pelaku dapat ditindak tegas," pungkasnya.
(Baca juga: Ini yang Perlu Diketahui Saat Vaksin Datang)
Bahkan, berdasarkan data terakhir Satgas Penanganan Covid-19, kasus positif terus naik secara signifikan dan telah mencapai lebih dari 557 ribu kasus.
(Baca juga: Perpres Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme Dinilai Harus Segera Disahkan)
Sementara, sejumlah negara telah berhasil mengakhiri gelombang pertama. Salah satunya adalah Korea Selatan yang dinilai mampu membangun dan praktik pemanfaatan big data dalam mencegah dan menangani pandemi.
Big data di Korea Selatan dilakukan dengan melacak pasien positif melalui Global Positioning System (GPS) telepon dan mobil, transaksi kartu kredit, riwayat perjalanan, rekaman Closed-Circuit Television (CCTV), dan memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) untuk mengidentifikasi kasus prioritas tinggi.
Selain itu, aplikasi smartphone juga dimanfaatkan agar memudahkan pemantauan mandiri selama 14 hari, termasuk bagi para pelancong internasional yang masuk ke negara tersebut.
Rumah sakit juga memperkenalkan diagnosis jarak jauh untuk pasien dengan gejala ringan untuk membantu membebaskan profesional medis agar fokus pada gejala yang lebih serius.
Di Indonesia sendiri, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian BUMN juga menciptakan aplikasi PeduliLindungi untuk membantu menekan penularan Covid-19.
Lewat layanan digital tersebut, masyarakat bisa berpartisipasi saling membagikan data atau lokasi saat bepergian. Sebaran penyakit hingga ke level kelurahan pun dapat diketahui melalui aplikasi tersebut.
Peneliti bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Vunny Wijaya menilai, upaya tersebut sebagai bagian dari pemanfaatan big data di sektor kesehatan.
Namun, mengingat belum semua wilayah Indonesia teraliri internet, masih banyak masyarakat belum dapat memanfaatkan aplikasi ini atau aplikasi sejenis lainnya.
"Pengembangan dan pemanfaatan big data perlu ditunjang sejumlah strategi. Hal ini agar inovasi yang dihasilkan pun dapat dirasakan masyarakat di daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal)," kata Vunny dalam penjelasan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (4/12/2020).
Ia melanjutkan, ada dua prioritas yang perlu diperhatikan pemerintah sebagai yang paling berwenang dalam melakukan perluasan praktik big data. Pertama, soal ketersediaan teknologi, khususnya pemerataan akses internet di Indonesia.
"Sejumlah upaya pemerataan sedang dilakukan Kominfo, Namun, lokasi yang perlu diprioritaskan dan memerlukan percepatan akses internet adalah fasilitas kesehatan yang ada di seluruh Indonesia," ujar dia.
Data Kemenkes hingga 31 Desember 2019 menunjukkan terdapat 2.877 RS dan 10.134 Puskesmas di Indonesia. Dari jumlah tersebut, Badan Layanan Umum Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BLU BAKTI) Kementerian Kominfo mengidentifikasi 3.126 fasilitas pelayanan kesehatan RS dan puskesmas masih membutuhkan optimalisasi layanan internet.
Dari 3.126 titik tersebut, tahun lalu BLU BAKTI telah menyediakan akses internet di 226 titik fasilitas pelayanan kesehatan.
"Upaya ini harus terus dikejar. Kolaborasi dengan berbagai aktor termasuk operator seluler juga harus diperluas. Apalagi biaya pengembangan infrastruktur juga sangat besar," jelasnya.
Kedua lanjut Vunny, soal upaya menjamin keamanan data pengguna sistem big data. Pada dasarnya, perlindungan data pasien telah dijamin dalam sejumlah peraturan seperti UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit hingga UU No.19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Namun, di tengah situasi pandemi, keamanan data diri pasien Covid-19 sangat dipertaruhkan. Karena itu, perlu payung hukum yang lebih kuat untuk menjadi landasan dalam mencegah dan menindak jika terjadi pencurian data.
"Salah satunya adalah dengan pengesahaan RUU Perlindungan Data Pribadi yang tengah dibahas oleh DPR. Apalagi beberapa waktu lalu kebocoran data pasien Covid-19 diduga telah diperjualbelikan oleh peretas atau hacker di situs dark web," terang dia.
Dengan kata lain, sambung Vunny, melalui praktik big data di tengah pandemi, upaya negara membuka data publik seperti usia, jenis kelamin, dan kewarganegaraan perlu didukung landasan hukum yang lebih tegas untuk melindungi data-data yang telah terkumpul tersebut.
"RUU ini pun selayaknya menjamin penegakan hukum yang tegas dalam upaya mencegah dan menangani adanya kasus terkait perlindungan data pasien. Dengan begitu, bila terjadi pencurian atau pelanggaran, pelaku dapat ditindak tegas," pungkasnya.
(maf)