Ini Sebabnya Praktik Politik Uang Tak Ditangani Sampai Tuntas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perjalanan tahapan Pilkada 2020 telah di ambang fase yang paling menentukan yaitu, masa tenang dan pemungutan suara. Di masa tenang sebelum pemungutan suara pilkada serentak pada 9 Desember 2020, ada potensi besar maraknya politik uang .
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan langkah pertama menjelang pemungutan adalah membersihkan alat peraga kampanye yang terpasang di tempat-tempat umum.
Kemudian, penyelenggara memastikan logistik terdistribusi tepat waktu. Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan APD 72 persen Komisi Pemilihan Umum Daerah belum menyalurkan APD.
“APD ini bukan hanya pelengkap, tetapi harus ada di TPS. Orang mau datang ke TPS karena ada jaminan kesehatan dan keselamatan. Kalau itu enggak ada, nanti orang bertanya-tanya datang ke TPS itu aman atau enggak,” ujar saat dihubungi SINDOnews, Kamis (3/12/2020).
(Baca: Lusa Masa Tenang Pilkada 2020, Catat Sejumlah Potensi Pelanggaran Ini)
Ninis, sapaan akrabnya, mewanti-wanti mengenai “serangan fajar” yang bisa terjadi masa tenang hingga waktu pemungutan suara. Salah satu lembaga survei nasional, Indikator Politik, menyatakan masyarakat cukup permisif terhadap politik uang.
Godaan itu diprediksi akan sulit ditolak karena kondisi ekonomi mereka sedang tidak baik. Dia meminta Bawaslu dan aparat keamanan untuk mengawasi titik rawan pelanggaran-pelanggaran pilkada.
Bahkan, politik uang sudah masuk kategori pidana. “Jangan sampai malah itu makin masif. Ketika semua fokus di protokol kesehatan, yang lain malah tidak terawasi secara efektif,” ucap Ninis.
Politik uang ini sudah lama terjadi, tetapi sulit diendus. Ninis menerangkan ada banyak faktor yang membuat politik uang tetap ada.
(Baca: Perludem Kritisi Penggunaan Sirekap di Pilkada Serentak 2020)
Pertama, regulasinya menyatakan pemberi dan penerima bisa dipidana. Masyarakat menjadi takut untuk melaporkan. Kedua, waktu pelaporan dibatasi hanya tiga hari sejak kejadian.
“Orang-orang kan tidak tahu, mungkin baru melaporkan seminggu kemudian. Ketika melaporkan sudah kadaluarsa. Banyak lubang-lubang untuk menjerat. Kalau sampai ketahuan aktor intelektualnya bisa didiskualifikasi. Namun, proses di Gakkumdu itu panjang dan ada batas waktu. Itu sulit membuat tuntas,” paparnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Terkait kemungkinan keramaian di TPS, Ninis menyatakan tentu harus ada pembatasan. Namun, harus tetap transparan.
“Pembatasan ini bukan kita tidak boleh lihat sama sekali. Dengan memanfaatkan, media-media yang ada jadi terbuka. Lalu, disebarkan dengan medsos sehingga masyarakat bisa mengontrol,” pungkasnya.
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan langkah pertama menjelang pemungutan adalah membersihkan alat peraga kampanye yang terpasang di tempat-tempat umum.
Kemudian, penyelenggara memastikan logistik terdistribusi tepat waktu. Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan APD 72 persen Komisi Pemilihan Umum Daerah belum menyalurkan APD.
“APD ini bukan hanya pelengkap, tetapi harus ada di TPS. Orang mau datang ke TPS karena ada jaminan kesehatan dan keselamatan. Kalau itu enggak ada, nanti orang bertanya-tanya datang ke TPS itu aman atau enggak,” ujar saat dihubungi SINDOnews, Kamis (3/12/2020).
(Baca: Lusa Masa Tenang Pilkada 2020, Catat Sejumlah Potensi Pelanggaran Ini)
Ninis, sapaan akrabnya, mewanti-wanti mengenai “serangan fajar” yang bisa terjadi masa tenang hingga waktu pemungutan suara. Salah satu lembaga survei nasional, Indikator Politik, menyatakan masyarakat cukup permisif terhadap politik uang.
Godaan itu diprediksi akan sulit ditolak karena kondisi ekonomi mereka sedang tidak baik. Dia meminta Bawaslu dan aparat keamanan untuk mengawasi titik rawan pelanggaran-pelanggaran pilkada.
Bahkan, politik uang sudah masuk kategori pidana. “Jangan sampai malah itu makin masif. Ketika semua fokus di protokol kesehatan, yang lain malah tidak terawasi secara efektif,” ucap Ninis.
Politik uang ini sudah lama terjadi, tetapi sulit diendus. Ninis menerangkan ada banyak faktor yang membuat politik uang tetap ada.
(Baca: Perludem Kritisi Penggunaan Sirekap di Pilkada Serentak 2020)
Pertama, regulasinya menyatakan pemberi dan penerima bisa dipidana. Masyarakat menjadi takut untuk melaporkan. Kedua, waktu pelaporan dibatasi hanya tiga hari sejak kejadian.
“Orang-orang kan tidak tahu, mungkin baru melaporkan seminggu kemudian. Ketika melaporkan sudah kadaluarsa. Banyak lubang-lubang untuk menjerat. Kalau sampai ketahuan aktor intelektualnya bisa didiskualifikasi. Namun, proses di Gakkumdu itu panjang dan ada batas waktu. Itu sulit membuat tuntas,” paparnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Terkait kemungkinan keramaian di TPS, Ninis menyatakan tentu harus ada pembatasan. Namun, harus tetap transparan.
“Pembatasan ini bukan kita tidak boleh lihat sama sekali. Dengan memanfaatkan, media-media yang ada jadi terbuka. Lalu, disebarkan dengan medsos sehingga masyarakat bisa mengontrol,” pungkasnya.
Lihat Juga: Didukung Ribuan Mahasiswa, Ahmad Ali Satu-satunya Aktivis Mahasiswa Palu yang Menasional
(muh)