Simalakama Rawat Premium
loading...
A
A
A
Naufal Azizi
Analis Kebijakan Kementerian ESDM dan Lulusan Pascasarjana Universitas Indonesia
RENCANA penghapusan premium di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) mulai 1 Januari 2021 sempat membuat geger publik. Pasalnya jenis bahan bakar minyak (BBM) beroktan RON 88 ini masih menjadi primadona bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tak hanya itu, kehadiran premium juga dijadikan jalan pintas oleh pemerintah dalam mendapatkan akses energi dengan harga terjangkau.
Tekad ini selanjutnya diterjemahkan oleh pemerintah melalui peluncuran BBM Satu Harga di wilayah tertinggal. Program strategis nasional ini jadi bagian dari upaya pemerintah menyeragamkan harga BBM di seluruh pelosok Indonesia, yaitu Rp6.450 untuk premium (RON 88) per liter dan Rp5.150 (CN 48) per liter.
Tentu keberadaan premium dalam BBM Satu Harga akan menjadi persoalan sendiri. Jika wacana penghapusan ini benar-benar dieksekusi, program BBM Satu Harga yang sudah menyasar dan tersebar di 170 lokasi sejak 2016 kemungkinan kandas di tengah jalan.
Persoalan lain adalah tingkat konsumsi premium yang masih tergolong tinggi. Bahkan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebut realisasi bensin terus melebihi kouta yang ditetapkan. Sempat mengalami penurunan pada 2015 sampai 2017, tren kenaikan konsumsi kembali terjadi pada 2018, terutama setelah lahirnya Keputusan Menteri ESDM No 1851 K/15/2018 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) di Jamali.
Catatan BPH Migas menyebutkan pada 2019 penyaluran jenis bahan tertentu (JBT) dan JBKP melonjak 11% dengan rata-rata penyaluran per tahun hingga 25,55 juta kiloliter. Angka yang cukup fantastik. Lonjakan grafik tersebut tak lepas dari kemudahan mendapatkan premium dari sisi harga. Ini yang dikhawatirkan melahirkan moral hazard dalam efisiensi penggunaan BBM.
Sulit dimungkiri tingginya konsumsi premium seiring dengan keterbatasan kemampuan daya beli masyarakat. Terlebih menghadapi Covid-19. Tekanan ekonomi berjalan seiring dengan bonus demografi dan perubahan struktur sosial. Kenyataan ini dapat menciptakan peningkatan beban penyediaan atau suplai premium untuk beberapa tahun ke depan. Pemerintah pun mesti hadir. Turut mengontrol di tengah ambisi menggaungkan pemerataan akses energi.
Maka langkah praktis yang dilakukan pemerintah adalah impor BBM. Dampaknya membuka kembali ruang defisit dalam neraca dagang migas yang merupakan bagian dari komponen perhitungan neraca perdagangan. Padahal jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo mewanti-wanti untuk segera mengatasi kondisi semacam ini.
Tuntutan Energi Bersih
Sentimen lain yang memicu peliknya keberadaan premium adalah faktor lingkungan. Pemerintah punya komitmen kuat dalam mengimplementasikan ratifikasi Paris Agreement pada 2016. Ratifikasi ini mengharuskan pemerintah menciptakan lingkungan bersih dari sumber energi baru terbarukan (EBT). Sementara itu basis dari BBM merupakan sumber energi fosil.
Komitmen kuat tersebut tecermin pada penetapan target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025 dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Irisan kebijakan lain juga tertuang jelas dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O, yaitu bahwa bensin yang harus dijual ke publik minimum harus mengandung RON 91.
Sayangnya harga energi bersih juga menimbulkan persoalan baru. Bila kebijakan ini diambil, yang patut diperhatikan adalah kemampuan daya beli. Ini yang harus dijadikan dasar pemerintah agar tidak sembrono mengambil keputusan. Penyediaan akses energi secara merata dan harga terjangkau sebaiknya dikedepankan. Pilihan ini cukup sulit mengingat di sisi lain keberadaan premium bisa menjadi beban fiskal bagi pemerintah serta upaya mewujudkan energi bersih akan stagnan.
Menyikapi permasalahan tersebut, beberapa langkah bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Pertama, pemerintah bisa melakukan penghapusan penuh terhadap premium. Langkah ini akan terbebas dari belenggu tekanan ketergantungan penggunaan energi fosil sekaligus menekan angka impor BBM. Apalagi secara alamiah sumber energi fosil terus mengalami deklanasi. Hal yang patut diperhatikan dari kebijakan ini adalah mudahnya menimbulkan konflik sosial karena kesulitan mendapatkan akses energi yang terjangkau.
Kedua, pembatasan kuota premium sehingga memperjelas ruang gerak fiskal di sektor migas dengan kontrol yang sangat ketat. Jika tidak, kejadian over-quota akan terulang lagi. Namun adanya keterbatasan akses BBM murah berdampak pada distorasi perekonomian, terutama kenaikan variabel barang. Kendati lebih ramah lingkungan, persoalan harga serta keterbatasan infrastruktur dan pengembangan teknologi menjadikan BBN lebih rentan akan sustainabilitydari sisi suplai.
Upaya lain yang patut dipertimbangkan adalah peninjauan ulang terhadap mekanisme pengelolaan harga dan suplai premium. Pemerintah bisa melakukan intervensi melalui pemberian subsidi langsung ke pertamax bersinergi dengan kartu jaminan sosial. Kebijakan ini harus dipertegas dengan regulasi (law enforcement) dalam menetapkan kriteria penerima, pola distribusi, dan jenis kendaraan bermotor yang berhak menerima subsidi.
Saya rasa kebijakan ini lebih tepat sasaran dalam menyinergikan program energi pemerintah jangka pendek dan panjang sejalan dengan proses edukasi ke masyarakat secara masif terhadap penggunaan energi bersih, adaptasi terhadap teknologi, dan tentu penyelarasan program BBM Satu Harga.
Analis Kebijakan Kementerian ESDM dan Lulusan Pascasarjana Universitas Indonesia
RENCANA penghapusan premium di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) mulai 1 Januari 2021 sempat membuat geger publik. Pasalnya jenis bahan bakar minyak (BBM) beroktan RON 88 ini masih menjadi primadona bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tak hanya itu, kehadiran premium juga dijadikan jalan pintas oleh pemerintah dalam mendapatkan akses energi dengan harga terjangkau.
Tekad ini selanjutnya diterjemahkan oleh pemerintah melalui peluncuran BBM Satu Harga di wilayah tertinggal. Program strategis nasional ini jadi bagian dari upaya pemerintah menyeragamkan harga BBM di seluruh pelosok Indonesia, yaitu Rp6.450 untuk premium (RON 88) per liter dan Rp5.150 (CN 48) per liter.
Tentu keberadaan premium dalam BBM Satu Harga akan menjadi persoalan sendiri. Jika wacana penghapusan ini benar-benar dieksekusi, program BBM Satu Harga yang sudah menyasar dan tersebar di 170 lokasi sejak 2016 kemungkinan kandas di tengah jalan.
Persoalan lain adalah tingkat konsumsi premium yang masih tergolong tinggi. Bahkan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebut realisasi bensin terus melebihi kouta yang ditetapkan. Sempat mengalami penurunan pada 2015 sampai 2017, tren kenaikan konsumsi kembali terjadi pada 2018, terutama setelah lahirnya Keputusan Menteri ESDM No 1851 K/15/2018 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) di Jamali.
Catatan BPH Migas menyebutkan pada 2019 penyaluran jenis bahan tertentu (JBT) dan JBKP melonjak 11% dengan rata-rata penyaluran per tahun hingga 25,55 juta kiloliter. Angka yang cukup fantastik. Lonjakan grafik tersebut tak lepas dari kemudahan mendapatkan premium dari sisi harga. Ini yang dikhawatirkan melahirkan moral hazard dalam efisiensi penggunaan BBM.
Sulit dimungkiri tingginya konsumsi premium seiring dengan keterbatasan kemampuan daya beli masyarakat. Terlebih menghadapi Covid-19. Tekanan ekonomi berjalan seiring dengan bonus demografi dan perubahan struktur sosial. Kenyataan ini dapat menciptakan peningkatan beban penyediaan atau suplai premium untuk beberapa tahun ke depan. Pemerintah pun mesti hadir. Turut mengontrol di tengah ambisi menggaungkan pemerataan akses energi.
Maka langkah praktis yang dilakukan pemerintah adalah impor BBM. Dampaknya membuka kembali ruang defisit dalam neraca dagang migas yang merupakan bagian dari komponen perhitungan neraca perdagangan. Padahal jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo mewanti-wanti untuk segera mengatasi kondisi semacam ini.
Tuntutan Energi Bersih
Sentimen lain yang memicu peliknya keberadaan premium adalah faktor lingkungan. Pemerintah punya komitmen kuat dalam mengimplementasikan ratifikasi Paris Agreement pada 2016. Ratifikasi ini mengharuskan pemerintah menciptakan lingkungan bersih dari sumber energi baru terbarukan (EBT). Sementara itu basis dari BBM merupakan sumber energi fosil.
Komitmen kuat tersebut tecermin pada penetapan target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025 dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Irisan kebijakan lain juga tertuang jelas dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O, yaitu bahwa bensin yang harus dijual ke publik minimum harus mengandung RON 91.
Sayangnya harga energi bersih juga menimbulkan persoalan baru. Bila kebijakan ini diambil, yang patut diperhatikan adalah kemampuan daya beli. Ini yang harus dijadikan dasar pemerintah agar tidak sembrono mengambil keputusan. Penyediaan akses energi secara merata dan harga terjangkau sebaiknya dikedepankan. Pilihan ini cukup sulit mengingat di sisi lain keberadaan premium bisa menjadi beban fiskal bagi pemerintah serta upaya mewujudkan energi bersih akan stagnan.
Menyikapi permasalahan tersebut, beberapa langkah bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Pertama, pemerintah bisa melakukan penghapusan penuh terhadap premium. Langkah ini akan terbebas dari belenggu tekanan ketergantungan penggunaan energi fosil sekaligus menekan angka impor BBM. Apalagi secara alamiah sumber energi fosil terus mengalami deklanasi. Hal yang patut diperhatikan dari kebijakan ini adalah mudahnya menimbulkan konflik sosial karena kesulitan mendapatkan akses energi yang terjangkau.
Kedua, pembatasan kuota premium sehingga memperjelas ruang gerak fiskal di sektor migas dengan kontrol yang sangat ketat. Jika tidak, kejadian over-quota akan terulang lagi. Namun adanya keterbatasan akses BBM murah berdampak pada distorasi perekonomian, terutama kenaikan variabel barang. Kendati lebih ramah lingkungan, persoalan harga serta keterbatasan infrastruktur dan pengembangan teknologi menjadikan BBN lebih rentan akan sustainabilitydari sisi suplai.
Upaya lain yang patut dipertimbangkan adalah peninjauan ulang terhadap mekanisme pengelolaan harga dan suplai premium. Pemerintah bisa melakukan intervensi melalui pemberian subsidi langsung ke pertamax bersinergi dengan kartu jaminan sosial. Kebijakan ini harus dipertegas dengan regulasi (law enforcement) dalam menetapkan kriteria penerima, pola distribusi, dan jenis kendaraan bermotor yang berhak menerima subsidi.
Saya rasa kebijakan ini lebih tepat sasaran dalam menyinergikan program energi pemerintah jangka pendek dan panjang sejalan dengan proses edukasi ke masyarakat secara masif terhadap penggunaan energi bersih, adaptasi terhadap teknologi, dan tentu penyelarasan program BBM Satu Harga.
(bmm)