Jangan Beri Ruang Kelompok Separatis

Kamis, 03 Desember 2020 - 07:11 WIB
loading...
Jangan Beri Ruang Kelompok...
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan sudah menjadi kebiasaan kelompok proseparatis Papua memanfaatkan tanggal 1 Desember untuk kepentingannya. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kelompok yang ingin memerdekakan Papua Barat (West Papua) dari Indonesia, mencalonkan Benny Wenda sebagai presiden interim Papua Barat.



Kelompok itu juga mendeklarasikan government-in-waiting atas wilayah Papua Barat. Government-in-waiting merupakan istilah untuk pemerintah masa depan. ULMWP menandai 1 Desember sebagai hari kemerdekaan Papua Barat. (Baca: Nasihat Menghadapi Ujian dan FItnah Akhir Zaman)

Tanggal tersebut merujuk pada deklarasi kemerdekaan Papua Barat dari pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1961. Peringatan itu biasanya ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora yang sekarang dilarang oleh Pemerintah Indonesia yang berdaulat atas Papua Barat.

ULMWP atau Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat telah menetapkan konstitusi baru dan menominasikan Benny Wenda sebagai presiden interim. Benny Wenda sendiri masih berada di pengasingan di Inggris setelah mendapat suaka di sana.

Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan sudah menjadi kebiasaan kelompok proseparatis Papua memanfaatkan tanggal 1 Desember untuk kepentingannya. Menurut dia, di dalam hukum internasional, deklarasi Papua merdeka tidak ada dasarnya. Dia juga yakin tidak bakal diakui oleh negara lain. (Baca juga: Perkuliahan Tahun Depan Terapkan Campuran Tatap Muka dan Daring)

Soal negara-negara Pasifik yang selama ini menunjukkan dukungannya, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ini menegaskan bahwa hal tersebut tidak dapat menjadi tolok ukur karena akan mengganggu hubungan antarnegara. "Abaikan saja berbagai manuver tersebut. Bahkan, bila perlu, Polri melakukan penegakan hukum mengingat hal tersebut dikualifikasikan sebagai tindakan makar," kata Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, kemarin.

Anggota DPR dari Partai Gerindra Fadli Zon mengkritik langkah pemerintah yang dinilai lebih mengurusi Habib Rizieq Shihab ketimbang aksi separatis di Papua . Kritik disampaikan Fadli Zon menyikapi aksi Gerakan Persatuan Kemerdekaan Papua Barat yang mendeklarasikan kemerdekaan Papua dari Indonesia, Selasa 1 Desember 2020. "Pak Jokowi, Pak Mahfud MD, Panglima TNI, Kapolri, Benny Wenda jelas-jelas sudah menantang RI. Kok masih sibuk urus HRS?" kata Fadli, melalui akun Twitter-nya, @fadlizon.

Fadli Zon sudah mengingatkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengenai kemungkinan adanya aksi separatis di Papua pada 1 Desember. Bahkan, dia menyarankan agar Panglima untuk berkantor di Papua. Dengan berkantor di sana, kata dia, Panglima dapat memantau langsung dan mengendalikan situasi di Papua. (Baca juga: Manfaat Konsumsi Air Rebusan Jahe di Pagi Hari)

“Biasanya pada 1 Desember ada peringatan OPM mereka dan yang menginginkan Papua merdeka. Saya sarankan Panglima TNI ke Papua dan memantau langsung dan mengendalikan situasi di sana. Kalau perlu, berkantor sementara di sana. Ini kalau serius 'NKRI Harga Mati'," ungkapnya.

Anggota Komisi I DPR Sukamta meminta pemerintah menyikapi secara serius perkembangan situasi ini. Penanganan permasalahan Papua sudah berlangsung lama sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif.

“Jangan anggap remeh perkembangan ini. Kita tidak ingin Papua berakhir seperti Timor-Timur. Masih terus terjadi penembakan dan serangan kepada aparat dan masyarakat sipil, menunjukkan situasi di Papua belum stabil,” ujarnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menerangkan perlu ada koreksi yang sistematis, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah mengenai penanganan Papua ini. (Baca juga: DPR Harap Kerawanan Pilkada Papua Mampu Diredam)

Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ada empat akar masalah di Papua, yakni diskriminasi dan rasialisme, pembangunan yang belum mengangkat kesejahteraan, pelanggaran HAM, serta status dan sejarah politik.

Ekonomi khusus yang diterapkan, kata dia, belum mampu mengangkat indeks pembangunan manusia (IPM) Papua. Bumi Cendrawasih masih tertinggal dari daerah lain padahal sudah puluhan triliun anggaran disalurkan.

“Belum lama ini muncul pemberitaan soal perusahaan sawit mengelola puluhan ribu hektare lain yang berdampak hilangnya hak ulayat warga Papua. Ini menunjukkan tanah Papua hanya jadi lahan eksploitasi,” tuturnya.

Sukamta meminta pemerintah segera menyatukan seluruh desk Papua. Semua itu harus dikoordinasikan dan dikendalikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Intinya, bagaimana kelompok separatis tidak diberi ruang,” ujarnya. (Baca juga: OJK Dorong Literasi Keuangan Milenial di Kalbar)

Dia mengungkapkan selama ini penanganan Papua yang menonjol pendekatan keamanannya. Memang, itu penting. Akan tetapi, aspek kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi tidak kalah penting.

Masyarakat Papua harus dilibatkan dalam seluruh proses pembangunan itu. “Saya yakin warga Papua tetap ingin bersama NKRI. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah sungguh-sungguh mengatasi akar masalah yang ada. Ini yang akan memengaruhi masa depan Papua,” tuturnya.

Benny Wenda mengaku seperti yang diatur dalam konstitusi sementara kami, Republik Papua Barat di masa depan akan menjadi negara hijau pertama di dunia dan sinyal pandu hak asasi manusia, kebalikan dari dekade penjajahan berdarah Indonesia. “Kami mengambil langkah lain menuju impian kami tentang Papua Barat yang merdeka, merdeka, dan merdeka," papar Benny, yang dilansir The Guardian, Selasa (1/12/2020).

Sebelumnya, menjelang 1 Desember, juru bicara kantor hak asasi manusia PBB Ravina Shamdasani menyoroti kekerasan di Papua Barat. "Kami terganggu dengan meningkatnya kekerasan selama beberapa pekan dan bulan terakhir di Papua dan Papua Barat, Indonesia dan peningkatan risiko ketegangan serta kekerasan baru," katanya. (Lihat videonya: 5 Tips Aman Menerima Paket Disaat Pandemi Covid-19)

Shamdasani mengatakan dalam satu insiden pada 22 November, seorang remaja berusia 17 tahun ditembak mati dan seorang remaja lainnya terluka dalam penembakan oleh polisi. Jasad remaja itu ditemukan di Gunung Limbaga di distrik Gome, Papua Barat.

Dia juga mengutip pembunuhan pendeta Gereja Yeremia Zanambani, yang tubuhnya ditemukan di dekat rumahnya di distrik Hitadipa, penuh dengan peluru dan luka tusuk. "Zanambani mungkin telah dibunuh oleh anggota pasukan keamanan," kata Shamdasani. (Muhaimin/Fahmi Bahtiar/Kiswondari)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2752 seconds (0.1#10.140)