Teladan Kiai Said di Tengah Perangi Covid
loading...
A
A
A
MINGGU (29/11) hampir tengah malam, jagat media Indonesia diramaikan dengan informasi Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj terpapar virus korona. Kabar ini begitu mengagetkan. Lebih-lebih, sang kiai selama ini dikenal begitu sangat hati-hati. Saat awal-awal korona mendera Indonesia, publik masih ingat kala itu Kiai Said mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak sombong. Dengan sombong, maka jelas protokol kesehatan tak lagi jadi prioritas. Muaranya, virus kian dekat karena seolah tanpa batas.
Siapa nyana, meski sudah waspada, virus itu akhirnya memapar Kiai Said pula. Sebagai bagian pengakuan makhluk Tuhan yang dhaif, melalui sekretaris pribadinya, dia memublikasikan kabar kurang baik ini. Maqasid-nya jelas. Umat diminta sementara jangan sowan ke Kiai Said. Yang pernah kontak erat juga mudah terlacak (tracing). Bagi orang awam, hal ini juga makin menyadarkan bahwa virus ini benar-benar ada dan tak kenal usia atau apa pun predikat yang menempel pada seseorang.
Dari kasus Kiai Said, publikasi diri atas kondisi medis seseorang di tengah pandemi Covid-19 saat ini tak lagi tabu. Jauh hari sebelum Kiai Said, ada sederet tokoh yang melakukan langkah serupa, seperti Wali Kota Bogor Bima Arya, Menteri Agama Fachrul Razi, dan Wali Kota Jambi Syarif Fasha. Meski ada Undang-Undang (UU) No 36/2009 tentang Kesehatan dan sejenisnya yang bisa jadi alat pelindung, hal itu justru tak dijadikan alibi untuk menyembunyikan sakitnya. Dengan semakin terbuka atas kondisi kesehatan, semakin mudah mereka tertangani. Demikian pula pendataan dan pengklasteran pasien menjadi lebih cepat.
Tokoh-tokoh itu sadar tak harus malu karena mendapat penyakit ini bukanlah aib. Dan, publik pun tak ada yang mem-bully atau mencelanya. Sebaliknya, rasa simpati dan empati justru mampu terbangun di antara anak bangsa.
Langkah yang dilakukan Kiai Said dan banyak tokoh itu patut jadi teladan dan model dalam penanganan korona di Indonesia. Di situasi darurat ini, mereka menyadari bahwa tak bisa lagi berpikir buta dengan bergantung pada regulasi semata. Saat darurat, jelas membutuhkan kolaborasi, kesadaran, dan kesepahaman bersama. Tanpa itu, jelas perjuangan untuk lepas dari kungkungan pandemi ini secara cepat hanya angan-angan semata.
Kita juga prihatin karena di tengah kepedulian tinggi Kiai Said dan ribuan orang yang blak-blakan terbuka atas kondisi kesehatannya, ada tokoh maupun sekelompok yang belum memiliki kesadaran sama. Mereka malah cenderung sembunyi atau lari dari tanggung jawabnya sebagai warga bangsa. Kasus menghindarnya Habieb Rizieq Shihab (HRS) saat akan dites usap (swab test) oleh Satgas Covid Kota Bogor dan tertutupnya manajemen di RS UMMI Bogor menjadi potret jelas bahwa masih ada secuil tokoh yang kurang peduli.
Kepedulian tokoh di saat pandemi ini menjadi kunci. Semakin mereka berhati-hati maka umat atau pengikutnya juga berhati-hati. Di tengah fenomena ini, negara harus segera bertindak tegas. Jika cara persuasif terus diabaikan, demi keselamatan jiwa orang lebih banyak, tokoh-tokoh yang terbukti melanggar protokol kesehatan saatnya ditindak. Pasal 212 dan 216 KUHP atau pasal 57 UU No 36/2009 bisa menjadi peranti untuk memprosesnya. Publik menunggu langkah konkret pemerintah sebagaimana yang dijanjikan Menkopolhukam Mahfud MD, Minggu (29/11). Di saat situasi yang tak pasti dan menuntut kolaborasi, bangsa ini membutuhkan tokoh-tokoh yang menenangkan, bukan justru memicu keributan.
Lihat Juga: Gus Yahya Akui PBNU dan PKB Entitas Berbeda, Gus Jazil: Kita Jalankan Tugas Masing-masing
Siapa nyana, meski sudah waspada, virus itu akhirnya memapar Kiai Said pula. Sebagai bagian pengakuan makhluk Tuhan yang dhaif, melalui sekretaris pribadinya, dia memublikasikan kabar kurang baik ini. Maqasid-nya jelas. Umat diminta sementara jangan sowan ke Kiai Said. Yang pernah kontak erat juga mudah terlacak (tracing). Bagi orang awam, hal ini juga makin menyadarkan bahwa virus ini benar-benar ada dan tak kenal usia atau apa pun predikat yang menempel pada seseorang.
Dari kasus Kiai Said, publikasi diri atas kondisi medis seseorang di tengah pandemi Covid-19 saat ini tak lagi tabu. Jauh hari sebelum Kiai Said, ada sederet tokoh yang melakukan langkah serupa, seperti Wali Kota Bogor Bima Arya, Menteri Agama Fachrul Razi, dan Wali Kota Jambi Syarif Fasha. Meski ada Undang-Undang (UU) No 36/2009 tentang Kesehatan dan sejenisnya yang bisa jadi alat pelindung, hal itu justru tak dijadikan alibi untuk menyembunyikan sakitnya. Dengan semakin terbuka atas kondisi kesehatan, semakin mudah mereka tertangani. Demikian pula pendataan dan pengklasteran pasien menjadi lebih cepat.
Tokoh-tokoh itu sadar tak harus malu karena mendapat penyakit ini bukanlah aib. Dan, publik pun tak ada yang mem-bully atau mencelanya. Sebaliknya, rasa simpati dan empati justru mampu terbangun di antara anak bangsa.
Langkah yang dilakukan Kiai Said dan banyak tokoh itu patut jadi teladan dan model dalam penanganan korona di Indonesia. Di situasi darurat ini, mereka menyadari bahwa tak bisa lagi berpikir buta dengan bergantung pada regulasi semata. Saat darurat, jelas membutuhkan kolaborasi, kesadaran, dan kesepahaman bersama. Tanpa itu, jelas perjuangan untuk lepas dari kungkungan pandemi ini secara cepat hanya angan-angan semata.
Kita juga prihatin karena di tengah kepedulian tinggi Kiai Said dan ribuan orang yang blak-blakan terbuka atas kondisi kesehatannya, ada tokoh maupun sekelompok yang belum memiliki kesadaran sama. Mereka malah cenderung sembunyi atau lari dari tanggung jawabnya sebagai warga bangsa. Kasus menghindarnya Habieb Rizieq Shihab (HRS) saat akan dites usap (swab test) oleh Satgas Covid Kota Bogor dan tertutupnya manajemen di RS UMMI Bogor menjadi potret jelas bahwa masih ada secuil tokoh yang kurang peduli.
Kepedulian tokoh di saat pandemi ini menjadi kunci. Semakin mereka berhati-hati maka umat atau pengikutnya juga berhati-hati. Di tengah fenomena ini, negara harus segera bertindak tegas. Jika cara persuasif terus diabaikan, demi keselamatan jiwa orang lebih banyak, tokoh-tokoh yang terbukti melanggar protokol kesehatan saatnya ditindak. Pasal 212 dan 216 KUHP atau pasal 57 UU No 36/2009 bisa menjadi peranti untuk memprosesnya. Publik menunggu langkah konkret pemerintah sebagaimana yang dijanjikan Menkopolhukam Mahfud MD, Minggu (29/11). Di saat situasi yang tak pasti dan menuntut kolaborasi, bangsa ini membutuhkan tokoh-tokoh yang menenangkan, bukan justru memicu keributan.
Lihat Juga: Gus Yahya Akui PBNU dan PKB Entitas Berbeda, Gus Jazil: Kita Jalankan Tugas Masing-masing
(bmm)