Akhir Masa Kampanye Pilkada, Pelanggaran Protokol Kesehatan Meningkat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi mengingatkan, jelang masa akhir kampanye Pilkada yang jatuh pada 5 Desember 2020 mendatang, potensi pelanggaran kampanye cenderung mengalami peningkatan.
(Baca juga: Menag Minta Akademisi dan Kampus Jadi Garda Terdepan Dukung Wakaf Nasional)
Nurul mengatakan, berdasarkan data Bawaslu bahwa pelanggaran terhadap protokol kesehatan Covid-19 (virus Corona) semakin banyak di periode 10 hari kelima kampanye. "Sesuai dengan prediksi Perludem," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (24/11/2020).
(Baca juga: Terbukti, Imunisasi Berhasil Cegah Penyakit Menular)
Menurut Nurul, selama ini memang kegiatan kampanye tatap muka, bahkan door to door, itu lebih masif dilakukan pasangan calon di hari-hari terakhir kampanye. Nah, ketika kegiatan kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas itu semakin sering dilakukan, maka potensi terjadinya pelanggaran terhadap protokol kesehatan juga semakin tinggi.
Oleh karena itu, Nurul meminta penyelenggara pemilu harus mengimbau kembali agar paslon komitmen mematuhi protokol kesehatan selama masa kampanye. "Masyarakat dan peserta kampanye juga harus mengingatkan dan waspada jika pertemuan kampanye itu menimbulkan kerumunan atau tidak mematuhi protokol Covid," tutur dia.
Selain itu, pihaknya juga melihat kampanye daring belum dilakukan secara optimal oleh paslon. Terkonfirmasi dari data Bawaslu bahwa jumlah kampanye daring semakin berkurang jelang masa berakhirnya kampanye.
Namun begitu, iklan kampanye di media sosial nampaknya dimanfaatkan oleh para paslon. Bahkan, ada paslon yang baik didanai oleh sendiri maupun oleh orang lain, mengeluarkan uang lebih dari Rp1 miliar untuk iklan kampanye di Facebook.
"Ada juga pihak yang membiayai iklan kampanye paslon hingga lebih dari Rp640 juta," ungkapnya.
Lebih lanjut Nurul mengatakan, dana itu dikeluarkan untuk kampanye di media sosial di luar jadwal. Dan, faktanya memang iklan kampanye itu banyak beredar sekalipun periode iklan kampanye di media sosial belum diperbolehkan oleh KPU.
"13 hari masa kampanye terakhir, dimana iklan kampanye di media telah diperbolehkan, kita harus mengawasi bersama-sama terkait konten yang disebarkan oleh paslon dan tim relawan, disinformasi dan ujaran kebencian yang beredar, juga besaran dana iklan kampanye yang dikeluarkan oleh paslon atau orang-orang yang beriklan untuk paslon," ujarnya.
. (Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Di sisi lain, sekalipun kampanye tatap muka tetap dilakukan, masih banyak kaum muda yang belum mengetahui paslon dan rekam jejak paslon di daerah mereka. Dari survei yang dilakukan oleh Perludem bersama Campaign.com dan Change.org terhadap 9 ribu kaum muda di seluruh Indonesia, ada 61 persen kaum muda yang menjawab belum mengetahui rekam jejak paslon di daerah mereka.
Menurutnya, kondisi itu tentu mengkhawatirkan kita semua. Sebab ketidaktahuan pemilih terkait paslon dan rekam jejak paslon akan berdampak pada dua hal: satu, rendahnya partisipasi; dua, suara menjadi tidak bermakna bagi nasib masyarakat di daerah karena pemilih memilih tak berdasarkan informasi yang dia peroleh.
"Jadi, KPU harus lebih gencar mensosialisasikan profil para paslon. Bisa lewat tv lokal, media lokal, radio lokal, atau sosialisasi yang melibatkan RT RW," pungkasnya.
(Baca juga: Menag Minta Akademisi dan Kampus Jadi Garda Terdepan Dukung Wakaf Nasional)
Nurul mengatakan, berdasarkan data Bawaslu bahwa pelanggaran terhadap protokol kesehatan Covid-19 (virus Corona) semakin banyak di periode 10 hari kelima kampanye. "Sesuai dengan prediksi Perludem," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (24/11/2020).
(Baca juga: Terbukti, Imunisasi Berhasil Cegah Penyakit Menular)
Menurut Nurul, selama ini memang kegiatan kampanye tatap muka, bahkan door to door, itu lebih masif dilakukan pasangan calon di hari-hari terakhir kampanye. Nah, ketika kegiatan kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas itu semakin sering dilakukan, maka potensi terjadinya pelanggaran terhadap protokol kesehatan juga semakin tinggi.
Oleh karena itu, Nurul meminta penyelenggara pemilu harus mengimbau kembali agar paslon komitmen mematuhi protokol kesehatan selama masa kampanye. "Masyarakat dan peserta kampanye juga harus mengingatkan dan waspada jika pertemuan kampanye itu menimbulkan kerumunan atau tidak mematuhi protokol Covid," tutur dia.
Selain itu, pihaknya juga melihat kampanye daring belum dilakukan secara optimal oleh paslon. Terkonfirmasi dari data Bawaslu bahwa jumlah kampanye daring semakin berkurang jelang masa berakhirnya kampanye.
Namun begitu, iklan kampanye di media sosial nampaknya dimanfaatkan oleh para paslon. Bahkan, ada paslon yang baik didanai oleh sendiri maupun oleh orang lain, mengeluarkan uang lebih dari Rp1 miliar untuk iklan kampanye di Facebook.
"Ada juga pihak yang membiayai iklan kampanye paslon hingga lebih dari Rp640 juta," ungkapnya.
Lebih lanjut Nurul mengatakan, dana itu dikeluarkan untuk kampanye di media sosial di luar jadwal. Dan, faktanya memang iklan kampanye itu banyak beredar sekalipun periode iklan kampanye di media sosial belum diperbolehkan oleh KPU.
"13 hari masa kampanye terakhir, dimana iklan kampanye di media telah diperbolehkan, kita harus mengawasi bersama-sama terkait konten yang disebarkan oleh paslon dan tim relawan, disinformasi dan ujaran kebencian yang beredar, juga besaran dana iklan kampanye yang dikeluarkan oleh paslon atau orang-orang yang beriklan untuk paslon," ujarnya.
. (Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Di sisi lain, sekalipun kampanye tatap muka tetap dilakukan, masih banyak kaum muda yang belum mengetahui paslon dan rekam jejak paslon di daerah mereka. Dari survei yang dilakukan oleh Perludem bersama Campaign.com dan Change.org terhadap 9 ribu kaum muda di seluruh Indonesia, ada 61 persen kaum muda yang menjawab belum mengetahui rekam jejak paslon di daerah mereka.
Menurutnya, kondisi itu tentu mengkhawatirkan kita semua. Sebab ketidaktahuan pemilih terkait paslon dan rekam jejak paslon akan berdampak pada dua hal: satu, rendahnya partisipasi; dua, suara menjadi tidak bermakna bagi nasib masyarakat di daerah karena pemilih memilih tak berdasarkan informasi yang dia peroleh.
"Jadi, KPU harus lebih gencar mensosialisasikan profil para paslon. Bisa lewat tv lokal, media lokal, radio lokal, atau sosialisasi yang melibatkan RT RW," pungkasnya.
(maf)