Tiga Ibu dari Anak Penderita Lumpuh Otak Gugat UU Narkotika ke MK

Kamis, 19 November 2020 - 17:15 WIB
loading...
Tiga Ibu dari Anak Penderita...
Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan saat mendaftarkan gugatan ke MK. FOTO/DOK.KOALISI MASYARAKAT SIPIL
A A A
JAKARTA - Tiga orang ibu dari anak penderita cerebral palsy atau penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK) .

Tiga orang ibu tersebut yakni Dwi Pertiwi, ibu dari Musa IBN Hassan Pedersen (16 Tahun); Santi Warastuti, ibu dari Pika Sasikirana alias Pika (12 Tahun); dan Nafiah Murhayanti, ibu dari Masayu Keynan Almeera P alias Keynan (10 Tahun). Gugatan diajukan ketiganya bersama Koalisi Masyarakat Sipil "Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan" sebagai pemohon.

Koalisi terdiri atas Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Rumah Cemara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), Empowerment and Justice Action (EJA), dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN). ( )

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu menyatakan, narkotika golongan I yang salah satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan di banyak negara. Bahkan, kata Erasmus, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam rekomendasinya pada 2018 menyatakan agar mempertimbangkan kembali posisi senyawa ganja dalam pengaturan konvensi internasional narkotika (Konvensi 1961). WHO juga merekomendasikan beberapa senyawa ganja dikeluarkan dalam pengaturan konvensi tersebut.

"Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, Koalisi Masyarakat Sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, telah mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi pada hari ini, Kamis, 19 November 2020," kata Erasmus melalui siaran pers kepada SINDOnews, di Jakarta, Kamis (19/11/2020) sore.

Secara spesifik, tutur Erasmus, ketentuan pasal yang diujikan yakni penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika terhadap UUD 1945. Para pemohon, kata dia, mendalilkan bahwa pelarangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945. ( engacara Sebut Sayimah Salsabilah Konsumsi Ganja untuk Kesehatan )

"UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1)," katanya.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika berbunyi, "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan." Sedangkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tertera, "Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan."

Erasmus melanjutkan, dari tiga anak dari tiga ini yang didiagnosa dengan cerebral palsy, satu anak di antaranya sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan.

"Oleh karenanya, adanya larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan, sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau," ucapnya.



Direktur Eksekutif IJRS Dio Ashar Wicaksana mengungkapkan, Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan beberapa lembaga non-pemerintah punya alasan ikut menjadi pemohon. Selama ini, kata dia, Koalisi banyak menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika. Sebagaimana diketahui, pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan multitafsir telah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk juga menyasar orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan.

"Hal ini misalnya terjadi dalam kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus terbaru yang sempat muncul yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei 2020. Padahal dalam UU Narkotika khususnya Pasal 4 huruf a sebenarnya telah ditekankan bahwa tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi," tegas Dio.

Dia membeberkan, dalam petitum permohonan maka para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut definisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

"Pengajuan uji materil ini diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan," katanya.

Pengacara publik LBH Masyarakat menambahkan, uji materiil dua pasal UU Narkotika ditempuh para pemohon hakikatnya juga dapat dilihat sebagai kritik yang keras pula terhadap penerapan kebijakan narkotika di Indonesia. Saat ini menurut Koalisi, penerapan kebijakan tersebut terlampau berat pada metode penegakan hukum pidana. Kebijakan narkotika sudah saatnya mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy).

"Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia," ungkap Ma'ruf.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2397 seconds (0.1#10.140)