Dampak Psikologis Corona Butuh Perhatian

Senin, 11 Mei 2020 - 06:25 WIB
loading...
Dampak Psikologis Corona...
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Pandemi corona (Covid-19) yang sedang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, bukan hanya mencakup persoalan medis atau ekonomis. Dampaknya terbilang multidimensi, termasuk juga sosial, budaya, dan psikologis.

Fakta ini disampaikan psikolog politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk. Dengan dampak psikologis yang terjadi misalnya, penanganan corona juga harus memperhatikan persoalan tersebut.

“Jadi, kalau orang enggak sejahtera secara psikologis, nanti usaha pelandaian itu nanti akan terkendala karena perilaku tidak mendukung. Jadi ini yang harus kita waspadai,” ungkap Hamdi dalam jumpa pers di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Graha BNPB, Jakarta, kemarin.

Dia menuturkan, pandemi yang terjadi akan mengubah sosial dan ekonomi masyarakat. Kondisi yang terjadi tersebut serta-merta memengaruhi psikologi masyarakat karena mereka menjadi galau, gundah, ketakutan, stres, dan bahkan ada yang depresi dan paranoid juga.

Kesejahteraan psikologis, lanjut dia, juga saling berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi maupun kesejahteraan fisik. Dia mengilustrasikan, jika masyarakat tidak sejahtera, maka akan kesulitan mendapatkan kebutuhan makan. Selanjutnya, bila fisik tidak sejahtera, akan berimbas pada psikologi juga.

“Tapi, juga bisa sebaliknya, walaupun anda kecukupan secara ekonomi kalau batin anda harus ada gelisah, anda ketakutan, anda menjadi stres, anda menjadi depresi, kondisi psikologis, kondisi tubuh memburuk dan nanti juga ujung-ujungnya dirawat, ekonomi terpengaruh juga,” tuturnya.

Hamdi bahkan melihat pandemi corona saat ini membuat perubahan secara destruktif di masyarakat karena situasi normal luluh lantak menjadi tidak normal. Bagaimana jika pandemi selesai? Menurut dia, situasi yang bakal terbentuk nanti adalah normalitas baru atau new normal.

“Jadi memang kondisi pandemi ini mendisrupsi besar-besaran aspek psikologis kita. Mungkin kalau kita bicara psikologi sekarang bahwa kondisi ini dianggap sebagai sebuah ancaman yang mudah menggerogoti kesehatan psikologis kita. Kalau secara akademisnya, istilahnya disebut sebagai psychological well being,” katanya.

Dampak pandemi terhadap psikologi juga mendapat perhatian pakar dunia. Arahnya adalah pandemi corona mengubah psikologi manusia yang akhirnya berdampak pada pemikiran dan perilaku manusia hingga memengaruhi pola interaksi sosial. Informasi bertubi-tubi tentang virus corona memengaruhi otak manusia selama beberapa bulan terakhir menyebabkan kondisi psikologi yang semakin rawan.

Menurut Mark Schaller, pakar psikologi Universitas British Columbia di Vancouver, Kanada, manusia mengembangkan serangkaian respons psikologis yang tidak disadari, yakni “sistem kekebalan perilaku” - untuk bertindak sebagai garis pertahanan pertama untuk mengurangi kontak kita dengan patogen potensial. Respons jijik adalah satu di antara komponen paling jelas dari sistem kekebalan perilaku.

Karena manusia merupakan spesies sosial yang berevolusi untuk hidup dalam kelompok besar, sistem kekebalan perilaku juga memodifikasi interaksi kita dengan orang-orang untuk meminimalkan penyebaran penyakit. “Sistem kekebalan perilaku beroperasi pada logika 'lebih baik aman daripada menyesal',” kata pakar psikologi Universitas Aarhus, Denmark, Lene Aarpe. Hal tersebut dipicu oleh banyak informasi salah yang mengubah keputusan banyak orang.

Aarpe juga mengungkapkan bahwa ketakutan terhadap penyakit dapat memengaruhi sikap orang terhadap imigrasi. Dia menekankan ini bagian dari pendekatan sistem kekebalan perilaku yang lebih baik merasa aman daripada menyesal. Beberapa orang memiliki sistem kekebalan perilaku sensitif yang membuat mereka bereaksi sangat kuat terhadap ihwal yang mereka tafsirkan sebagai risiko infeksi potensial,” kata Aarpe, kepada BBC.

Pandemi virus corona yang menyebabkan krisis ekonomi dan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja juga memperparah kondisi warga yang mengalami momen buruk tersebut. Pakar psikologi organisasi Universitas Manchester, Cary Cooper, mengungkapkan pandemi bisa menjadi kambing hitam secara psikologis. “Secara psikologis, orang akan menyalahkan pandemi ketimbang menyalahkan diri sendiri,” ucapnya.

Pandemi Covid-19 juga menimbulkan krisis kesehatan mental baik saat ini dan mendatang. “Meningkatnya isolasi sosial, kesendirian, kekhawatiran kesehatan, stres, dan kondisi ekonomi memengaruhi kondisi mental dan kesehatan manusia,” kata Profesor Rory o'Connor dari Universitas Glasgow. Dia mengkhawatirkan banyak orang bisa mengalami depresi dan melarikan diri dengan mengonsumsi alkohol dan narkoba.

Anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini mengaku sepakat pemerintah perlu memberi perhatian pada aspek psikologi dalam menangani dampak corona, yang selama ini cenderung diabaikan. Pada edukasi melawan corona misalnya pemerintah lebih fokus pada persoalan kesehatan dengan muara bagaimana tidak tertular penyakit dengan anjuran protokol kesehatan seperti menjaga kebersihan, memakai masker, dan menjaga jarak. Sedangkan edukasi tentang psikologi masyarakat tidak mendapat perhatian.

“Beberapa waktu lalu Fatayat bikin diskusi kajian virtual tentang dampak psikologis terkait kasus kekerasan di dalam rumah tangga akibat pandemi di mana semua harus berada di rumah, dan ternyata banyak kasus kekerasan akibat itu,” tutur Ketua PP Fatayat NU ini.

Anggia mencontohkan bagaimana seorang ibu misalnya harus mengerjakan pekerjaan hariannya dan anaknya yang selama ini dipercayakan di sekolah untuk pendidikannya kini menjadi tanggungan orang tua sepenuhnya, terutama ibu. “Apalagi jika bapaknya termasuk yang terdampak dirumahkan atau di-PHK, dan itu jumlahnya banyak, jutaan, yang tercatat hampir 2 juta,” urainya.

Kondisi tersebut diperparah oleh kondisi rumah yang mungkin tidak terlalu luas dan pasangan suami-istri tidak memiliki keterampilan berkomunikasi dengan baik sehingga sulit untuk menjaga emosi. “Itu banyak sekali kemudian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tekanan ekonomi dan tekanan beban bisa menimbulkan miskomunikasi,” urainya.

Anggia memaparkan ada sebuah survei yang menyebutkan seberapa dekat interaksi pasangan suami dengan istri. Hasilnya ternyata durasi komunikasi paling menyenangkan dengan pasangan itu paling maksimal hanya 15 menit. “Setelah itu ya sudah biasa, bosan, marah-marah, dan lainnya. Dan, sebagian besar orang tidak punya kemampuan untuk mengelola komunikasi di dalam rumah tangga itu menyenangkan,” katanya.

Karena itu, menurut Anggia, diperlukan edukasi mengenai hal itu. Langkah ini tidak hanya menjadi kewajiban Kemenkes, namun juga semua sektor harus bergerak untuk itu. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mestinya harus lebih banyak bergerak untuk itu, padahal banyak kasus.

Perlu Disiplin

Pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona atau Covid-19 yang diterapkan di 18 wilayah Indonesia ternyata belum memberikan efek maksimal.

Evaluasi berdasar riset yang dilakukan LSI Denny JA secara umum menemukan PSBB belum mampu menurunkan kasus baru secara drastis. Karena itu, seluruh komponen masyarakat dan pemerintah daerah harus lebih maksimal menerapkan PSBB.

“Jika tidak, situasi ini dikhawatirkan akan memperpanjang masa pemulihan di Indonesia. Ini sekaligus berarti memperburuk ekonomi Indonesia dengan seluruh konsekuensinya,” ungkap Denny JA, pendiri LSI Denny JA, dalam keterangan tertulisnya kemarin.

Riset LSI dilakukan melalui metode riset kualitatif dengan kajian data sekunder dari tiga lembaga, yakni Gugus Tugas Nasional Covid-19 (data harian 18 wilayah PSBB sejak awal Maret – 6 Mei 2020, Worldomete data sekunder dalam rentang waktu awal Maret - 6 Mei 2020. Tiga sumber data yang digunakan, yakni data Gugus Tugas, Worldometer, dan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Sebagai perbandingan, Denny JA menyebut negara yang bisa dijadikan contoh sukses melawan virus corona dan masuk kategori A atau istimewa. Negara dimaksud antara lain Korea Selatan, Jerman, Australia, dan Selandia Baru. Dari grafik rentang satu sampai dua bulan, di empat negara itu terlihat puncak pandemi sudah terlewati. Kasus baru menurun secara sangat drastis.

Adapun di Indonesia, berdasarkan grafik PSBB di 18 wilayah, Denny JA menilai belum ada satu pun wilayah yang saat ini menerapkan PSBB masuk ke dalam tipologi A atau istimewa. Sementara itu, ada empat wilayah yang masuk tipologi B atau baik. Empat wilayah tersebut adalah Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bandung Barat.

Dia lantas menuturkan, karena hingga saat ini vaksin belum ditemukan, satu satunya senjata yang ada yakni PSBB dan protokol kesehatan. “Bersama kita targetkan, di bulan ini, Mei 2020, kasus baru terpapar Covid-19 harus menurun drastis. Selesai Lebaran, kita harap perlahan kita mulai kembali kehidupan usaha kita, kantor kita, sekolah kita, agar ekonomi tidak merosot tajam. Namun, ini hanya mungkin dilakukan jika kasus baru terpapar korona merosot drastis dan warga patuh dengan aneka protokol kesehatan,” urainya.

Juru bicara pemerintah penanganan virus corona (Covid-19), Achmad Yurianto mengungkapkan, penambahan kasus Covid-19 di daerah mempunyai pola grafik yang tidak konsisten. Hal ini bisa dilihat dari data seminggu terakhir. Akibatnya, penambahan kasus di daerah susah ditebak. (Binti Mufarida/Abdul Rochim/Andika Hendra/Kiswondari)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1000 seconds (0.1#10.140)