Hindari Hoaks, Pastikan Informasi Terverifikasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyebaran hoaks yang masih terjadi di tengah pandemi Covid-19 memunculkan kekhawatiran berbagai pihak. Untuk itu masyarakat diminta cermat menyaring informasi dan tidak mudah menyebarkan kabar yang belum terverifikasi kebenarannya.
Maraknya hoaks yang tersebar di berbagai platform terumata media sosial menjadi persoalan tersendiri karena tidak mudah diatasi. Persebarannya sulit dibendung meski berbagai upaya dilakukan seperti penangkapan penyebar atau pembuat hoaks, hingga peningkatan literasi terhadap masyarakat. (Baca: Hikmah Menatap Langit, Ibadah Sunnah yang Terlupakan)
Merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sejak 23 Januari hingga 18 Oktober 2020 terdapat 2.020 konten hoaks mengenai Covid-19 di media sosial. Sebanyak 1.759 konten di antaranya sudah berhasil dicabut (takedown).
Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin mengatakan, sampai saat ini masih kerap muncul kabar hoaks baru. Persoalan itu menurutnya, terjadi karena adanya kesenjangan (gap) antara ekspektasi publik dengan ketersediaan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Hoaks bukan hanya pelanggaran hukum, dia adalah sesuatu yang mengisi kesenjangan antara ekspektasi imajinatif dengan ketersediaan informasi yang absah,” papar Iqrak dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Waspada Hoaks Selama Pandemi’ di kanal Youtube SINDOnews, kemarin.
Dalam diskusi yang digelar atas kerja sama KORAN SINDO-SINDONews.com dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 itu, turut hadir juga sebagai nara sumber yakni Redaktur Pelaksana Okezone.com Amril Amarullah, Redaktur Pelaksana Cek Fakta Liputan6.com Edu Krisnadefa, dan Redaktur Pelaksana KORAN SINDO Abdul Khakim. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsumsi Dua Pisang dalam Sehari)
Iqrak menegaskan, dalam situasi saat ini ada harapan besar di masyarakat yang ingin pandemi segera selesai, keadaan dan aktivitas bisa kembali berjalan normal. Namun, di saat bersamaan informasi yang dapat diakses dan diserap dengan mudah oleh publik ternyata tidak tersedia dengan baik. Sehingga saat pemerintah gencar berupaya menangani pandemi, ada ekpektasi lain yang diharapkan dapat dicapai oleh publik.
Iqrak yang juga merupakan staf pengajar pada Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, hoaks bukan hanya mencakup pelanggaran hukum. Menurutnya, berita bohong dapat dikategorikan masuk tindakan kejahatan lantaran ada makna yang lebih luas dan dampak yang ditimbulkan.
“Dalam kriminologi, antara pelanggaran hukum dan kejahatan itu meskipun dua konsep yang saling berhubungan, tetapi kejahatan punya makna yang lebih luas. Artinya ada dampak yang juga harus dipertimbangkan ketika bicara hoaks dari sisi kejahatan,” katanya.
Melihat situasi pandemi Covid-19 yang belum selesai, Iqrak mengatakan bahwa semua pihak dituntut serius mencegah penyebaran berita bohong, mencari kejelasan dan menyampaikan informasi dengan didukung data-data yang akurat. (Baca juga: Gelombang PHK Tak Terbendung, Pengangguran di Bekasi Melonjak)
Redaktur Pelaksana KORAN SINDO Abdul Khakim mengatakan, fenomena berita bohong atau hoaks bukan perkara baru. Bahkan, penyebarannya masih acap kali terjadi, termasuk yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19.
Hoaks, kata dia, banyak membanjiri lini media ketika awal pandemi Covid-19 hingga penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bahkan, pemerintah akhirnya sampai harus melakukan berbagai klarifikasi atas isu yang beredar.
Khakim juga sepakat bahwa hoaks terjadi karena adanya kesenjangan antara ekspektasi publik dan ketersediaan informasi absah. Kondisi itu seakan membuat harapan masyarakat tidak terjawab oleh kebijakan yang dibuat pemerintah.
“Selama pandemi ini, berita seputar hoaks sangat banyak. Kalau yang terdata mungkin sekitar 504 hoaks, yang tidak dilaporkan sangat banyak. Kalau 20 hari setelah Indonesia menyatakan kasus pertama Covid-19, ada sekitar 305 hoaks yang dilaporkan Kominfo, artinya delapan bulan ini bisa ribuan jumlahnya,” tuturnya. (Baca juga: Enam tewas Dalam bentrokan Sengit India-Pakistan di Khasmir)
Dia menilai, hoaks sangat merugikan. Tidak hanya dari sisi ekonomi, melainkan aspek politik, sosial, dan lainnya.
Redaktur Pelaksana Cek Fakta Liputan6.com Edu Krisnadefa mengatakan, di tengah terpaan informasi yang beredar media massa harus berhati-hati dalam menyajikan sebuah berita kepada publik. Terlebih lagi, di tengah era digitalisasi yang menuntut kecepatan dalam pemberitaan.
Edu mengingatkan pentingnya para jurnalis untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang diperolehnya. Sebab, dampak pemberitaan yang disajikan bisa memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap media massa tersebut.
Sejak bergabung di International Fact Checking Network (IFCN) pada 2018, pihaknya terus melakukan pengecekan terhadap berbagai informasi berita yang ditampilkan. Melalui fitur cekfakta.com, banyak berita yang bisa diketahui apakah tergolong hoaks atau tidak.
“Lewat situ, nanti ada ratingnya pilihan. Ada benar, hoaks , salah, sebagian benar, ada belum terbukti,” kata Edu.
Dalam pengecekan tersebut, pihaknya melakukan berbagai cara demi memastikan kebenaran atas berita yang ditampilkan. Misalnya, memverifikasi terhadap narasumber yang disebutkan dalam berita tersebut. Selain itu, mencari berita di media lainnya hingga mencari respons dari para pembaca atau publik. (Lihat videonya: Berkunjung ke Aceh Jangan Lupa Nikmati Kopi Gayo)
Melihat penyebaran hoaks yang makin marak, Edu mendorong media massa harus bisa jernih dalam memberitakan informasi ke masyarakat. Sebab, hoaks bisa berdampak buruk terhadap pemahaman banyak orang, termasuk ketika di masa pandemi Covid-19 saat ini.
Redaktur Pelaksana Okezone.com Amril Amarullah juga sepakat pentingnya jurnalis dan pihak media massa melakukan verifikasi atau cross check terhadap berita sebelum dibagikan kepada publik. Hal itu merupakan bagian dari prinsip media massa yang mengedepankan keberimbangan dari sudut pandang dua sisi (cover both sides).
Bila sudah terjadi, kata dia, maka media massa harus berani melakukan ralat atau mencabut berita yang ditampilkan dan memberikan penjelasan sesuai fakta yang ada. (Faorick Pakpahan)
Maraknya hoaks yang tersebar di berbagai platform terumata media sosial menjadi persoalan tersendiri karena tidak mudah diatasi. Persebarannya sulit dibendung meski berbagai upaya dilakukan seperti penangkapan penyebar atau pembuat hoaks, hingga peningkatan literasi terhadap masyarakat. (Baca: Hikmah Menatap Langit, Ibadah Sunnah yang Terlupakan)
Merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sejak 23 Januari hingga 18 Oktober 2020 terdapat 2.020 konten hoaks mengenai Covid-19 di media sosial. Sebanyak 1.759 konten di antaranya sudah berhasil dicabut (takedown).
Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin mengatakan, sampai saat ini masih kerap muncul kabar hoaks baru. Persoalan itu menurutnya, terjadi karena adanya kesenjangan (gap) antara ekspektasi publik dengan ketersediaan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Hoaks bukan hanya pelanggaran hukum, dia adalah sesuatu yang mengisi kesenjangan antara ekspektasi imajinatif dengan ketersediaan informasi yang absah,” papar Iqrak dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Waspada Hoaks Selama Pandemi’ di kanal Youtube SINDOnews, kemarin.
Dalam diskusi yang digelar atas kerja sama KORAN SINDO-SINDONews.com dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 itu, turut hadir juga sebagai nara sumber yakni Redaktur Pelaksana Okezone.com Amril Amarullah, Redaktur Pelaksana Cek Fakta Liputan6.com Edu Krisnadefa, dan Redaktur Pelaksana KORAN SINDO Abdul Khakim. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsumsi Dua Pisang dalam Sehari)
Iqrak menegaskan, dalam situasi saat ini ada harapan besar di masyarakat yang ingin pandemi segera selesai, keadaan dan aktivitas bisa kembali berjalan normal. Namun, di saat bersamaan informasi yang dapat diakses dan diserap dengan mudah oleh publik ternyata tidak tersedia dengan baik. Sehingga saat pemerintah gencar berupaya menangani pandemi, ada ekpektasi lain yang diharapkan dapat dicapai oleh publik.
Iqrak yang juga merupakan staf pengajar pada Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, hoaks bukan hanya mencakup pelanggaran hukum. Menurutnya, berita bohong dapat dikategorikan masuk tindakan kejahatan lantaran ada makna yang lebih luas dan dampak yang ditimbulkan.
“Dalam kriminologi, antara pelanggaran hukum dan kejahatan itu meskipun dua konsep yang saling berhubungan, tetapi kejahatan punya makna yang lebih luas. Artinya ada dampak yang juga harus dipertimbangkan ketika bicara hoaks dari sisi kejahatan,” katanya.
Melihat situasi pandemi Covid-19 yang belum selesai, Iqrak mengatakan bahwa semua pihak dituntut serius mencegah penyebaran berita bohong, mencari kejelasan dan menyampaikan informasi dengan didukung data-data yang akurat. (Baca juga: Gelombang PHK Tak Terbendung, Pengangguran di Bekasi Melonjak)
Redaktur Pelaksana KORAN SINDO Abdul Khakim mengatakan, fenomena berita bohong atau hoaks bukan perkara baru. Bahkan, penyebarannya masih acap kali terjadi, termasuk yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19.
Hoaks, kata dia, banyak membanjiri lini media ketika awal pandemi Covid-19 hingga penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bahkan, pemerintah akhirnya sampai harus melakukan berbagai klarifikasi atas isu yang beredar.
Khakim juga sepakat bahwa hoaks terjadi karena adanya kesenjangan antara ekspektasi publik dan ketersediaan informasi absah. Kondisi itu seakan membuat harapan masyarakat tidak terjawab oleh kebijakan yang dibuat pemerintah.
“Selama pandemi ini, berita seputar hoaks sangat banyak. Kalau yang terdata mungkin sekitar 504 hoaks, yang tidak dilaporkan sangat banyak. Kalau 20 hari setelah Indonesia menyatakan kasus pertama Covid-19, ada sekitar 305 hoaks yang dilaporkan Kominfo, artinya delapan bulan ini bisa ribuan jumlahnya,” tuturnya. (Baca juga: Enam tewas Dalam bentrokan Sengit India-Pakistan di Khasmir)
Dia menilai, hoaks sangat merugikan. Tidak hanya dari sisi ekonomi, melainkan aspek politik, sosial, dan lainnya.
Redaktur Pelaksana Cek Fakta Liputan6.com Edu Krisnadefa mengatakan, di tengah terpaan informasi yang beredar media massa harus berhati-hati dalam menyajikan sebuah berita kepada publik. Terlebih lagi, di tengah era digitalisasi yang menuntut kecepatan dalam pemberitaan.
Edu mengingatkan pentingnya para jurnalis untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang diperolehnya. Sebab, dampak pemberitaan yang disajikan bisa memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap media massa tersebut.
Sejak bergabung di International Fact Checking Network (IFCN) pada 2018, pihaknya terus melakukan pengecekan terhadap berbagai informasi berita yang ditampilkan. Melalui fitur cekfakta.com, banyak berita yang bisa diketahui apakah tergolong hoaks atau tidak.
“Lewat situ, nanti ada ratingnya pilihan. Ada benar, hoaks , salah, sebagian benar, ada belum terbukti,” kata Edu.
Dalam pengecekan tersebut, pihaknya melakukan berbagai cara demi memastikan kebenaran atas berita yang ditampilkan. Misalnya, memverifikasi terhadap narasumber yang disebutkan dalam berita tersebut. Selain itu, mencari berita di media lainnya hingga mencari respons dari para pembaca atau publik. (Lihat videonya: Berkunjung ke Aceh Jangan Lupa Nikmati Kopi Gayo)
Melihat penyebaran hoaks yang makin marak, Edu mendorong media massa harus bisa jernih dalam memberitakan informasi ke masyarakat. Sebab, hoaks bisa berdampak buruk terhadap pemahaman banyak orang, termasuk ketika di masa pandemi Covid-19 saat ini.
Redaktur Pelaksana Okezone.com Amril Amarullah juga sepakat pentingnya jurnalis dan pihak media massa melakukan verifikasi atau cross check terhadap berita sebelum dibagikan kepada publik. Hal itu merupakan bagian dari prinsip media massa yang mengedepankan keberimbangan dari sudut pandang dua sisi (cover both sides).
Bila sudah terjadi, kata dia, maka media massa harus berani melakukan ralat atau mencabut berita yang ditampilkan dan memberikan penjelasan sesuai fakta yang ada. (Faorick Pakpahan)
(ysw)