Menakar Peluang Calon Kapolri, Siapa Paling Kuat?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Kepolisian Republik Indonesia ( Kapolri ) Jenderal Polisi Idham Azis akan mengakhiri jabatannya pada Januari 2021 mendatang. Sejumlah nama jenderal mencuat menggantikan posisi orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu, mulai dari bintang dua hingga bintang tiga.
Di deretan bintang tiga muncul nama Wakapolri Komjen Pol Gatot Edy Pramono, Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Kabaintelkam Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel, Irwasum Polri Komjen Pol Agung Budi Maryoto, dan Kabaharkam Komjen Pol Agus Adrianto. Ada juga nama Komjen Boy Rafli Amar yang saat ini menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (Baca: Subhahanallah! Shalat Tepat Waktu berpengaruh Pada Kesuksesan)
Kemudian di deretan bintang dua muncul nama Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sujana, Kakorbrimob Polri Irjen Pol Nanang Revandoko, Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ahmad Lutfi, dan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Fadil Imran. Jabatan Tri Brata 1 (TB1) istilah untuk Kapolri memang sangat politis. Artinya, siapa pun dia mempunyai peluang yang sama untuk dipilih.
Meski pergantian Kapolri masih dua bulan, pergerakan para calon Trunojoyo 1 masih belum ramai. Entah karena mereka masih malu-malu muncul ke publik atau diam-diam sedang menyiapkan seribu jurus.
Namun, dari sejumlah pergerakan yang tampak, ada beberapa nama yang sudah bergerilya. Bahkan, ada yang cukup masif mengadakan berbagai kegiatan untuk menarik simpatik. Bahkan, desas-desusnya, ada di antara mereka yang sudah melobi partai politik. Bursa calon Kapolri juga diwarnai berbagai angkatan, mulai Akpol 1988, Akpol 1989, dan Akpol 1991, serta satu figur dari non-Akpol.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menilai, orang yang dipilih menjadi Kapolri adalah orang yang dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan kata lain, orang tersebut bisa mengamankan kebijakan Presiden. Kemudian juga “bisa diatur”.
Misalnya, mengamankan orang-orang Presiden yang terkena kasus supaya jangan diusut. Di situlah nilai politisnya. “Kalau saya, melihat sederhana. Yang penting, chemistry atau kedekatan dengan Presiden. Soal mereka melobi jalur A, B, C itu namanya usaha dan itu sah-sah saja," ujar Ujang. (Baca juga: Kemendikbud Dukung pelaksanaan Kampus Sehat Selama Pandemi)
Selain kedekatan, ada juga jalur lobi dan kerja-kerja profesional. Soal geng-gengan atau kelompok juga berpengaruh. Misalnya, geng angkatan, itu juga kencang. “Jadi, ada tiga poin yang saya tanggap. Pertama, lobi sudah benar, kerja profesional juga benar, kemudian sama kedekatan. Nah, dari tiga poin itu, saya melihatnya kedekatan yang paling utama. Sebab, kalau Kapolri yang dipilih tidak membuat nyaman Presiden, buat apa?" tandas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini.
Di tengah pandemi dan hiruk-pikuk perhelatan Pilkada Serentak 2020 ini, isu pergantian Kapolri memang terasa adem-adem saja. Baik DPR, internal Polri maupun lingkaran Istana belum ramai dibahas. Meski belum muncul nama-nama para calon, ada beberapa opsi yang punya peluang.
Di deretan bintang tiga muncul nama Wakapolri Komjen Pol Gatot Edy Pramono, Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Kabaintelkam Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel, Irwasum Polri Komjen Pol Agung Budi Maryoto, dan Kabaharkam Komjen Pol Agus Adrianto. Ada juga nama Komjen Boy Rafli Amar yang saat ini menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (Baca: Subhahanallah! Shalat Tepat Waktu berpengaruh Pada Kesuksesan)
Kemudian di deretan bintang dua muncul nama Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sujana, Kakorbrimob Polri Irjen Pol Nanang Revandoko, Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ahmad Lutfi, dan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Fadil Imran. Jabatan Tri Brata 1 (TB1) istilah untuk Kapolri memang sangat politis. Artinya, siapa pun dia mempunyai peluang yang sama untuk dipilih.
Meski pergantian Kapolri masih dua bulan, pergerakan para calon Trunojoyo 1 masih belum ramai. Entah karena mereka masih malu-malu muncul ke publik atau diam-diam sedang menyiapkan seribu jurus.
Namun, dari sejumlah pergerakan yang tampak, ada beberapa nama yang sudah bergerilya. Bahkan, ada yang cukup masif mengadakan berbagai kegiatan untuk menarik simpatik. Bahkan, desas-desusnya, ada di antara mereka yang sudah melobi partai politik. Bursa calon Kapolri juga diwarnai berbagai angkatan, mulai Akpol 1988, Akpol 1989, dan Akpol 1991, serta satu figur dari non-Akpol.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menilai, orang yang dipilih menjadi Kapolri adalah orang yang dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan kata lain, orang tersebut bisa mengamankan kebijakan Presiden. Kemudian juga “bisa diatur”.
Misalnya, mengamankan orang-orang Presiden yang terkena kasus supaya jangan diusut. Di situlah nilai politisnya. “Kalau saya, melihat sederhana. Yang penting, chemistry atau kedekatan dengan Presiden. Soal mereka melobi jalur A, B, C itu namanya usaha dan itu sah-sah saja," ujar Ujang. (Baca juga: Kemendikbud Dukung pelaksanaan Kampus Sehat Selama Pandemi)
Selain kedekatan, ada juga jalur lobi dan kerja-kerja profesional. Soal geng-gengan atau kelompok juga berpengaruh. Misalnya, geng angkatan, itu juga kencang. “Jadi, ada tiga poin yang saya tanggap. Pertama, lobi sudah benar, kerja profesional juga benar, kemudian sama kedekatan. Nah, dari tiga poin itu, saya melihatnya kedekatan yang paling utama. Sebab, kalau Kapolri yang dipilih tidak membuat nyaman Presiden, buat apa?" tandas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini.
Di tengah pandemi dan hiruk-pikuk perhelatan Pilkada Serentak 2020 ini, isu pergantian Kapolri memang terasa adem-adem saja. Baik DPR, internal Polri maupun lingkaran Istana belum ramai dibahas. Meski belum muncul nama-nama para calon, ada beberapa opsi yang punya peluang.