Pilpres, Pembelahan Politik Masyarakat AS Dinilai Kian Memprihatinkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembelahan politik masyarakat Amerika Serikat (AS) dinilai semakin memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya bentrok fisik, persaingan klaim politik, dan fanatisme yang menguat antara pendukung calon presiden (capres) dari Partai Republik, Donald Trump maupun capres Partai Demokrat, Joe Biden yang seolah tidak lagi menghiraukan spirit 'the United States'.
(Baca juga: Antisipasi Lonjakan Kasus Covid-19, Pemerintah Terapkan Rekayasa Perawatan)
"Kondisi itu semakin menunjukkan ada pergeseran fundamental karakter demokrasi Amerika saat ini. Lagi-lagi, populisme politik menguat yang ditandai oleh eksploitasi politik identitas, hoaks, fake news dan hate speech di berbagai lapisan masyarakat," ujar Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, Rabu (4/11/2020).
(Baca juga: Nama Burhanudin dan Hatta Ali Kembali Disebut di Sidang Andi Irfan Jaya)
Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC), mengatakan, pembelahan itu ditunjukkan oleh ketatnya persaingan electoral collage votes di fase penghitungan hari ini, antara Donald Trump dan Joe Biden di Pemilu 2020.
Hingga di penghujung penghitungan, belum bisa ditarik kesimpulan siapa yang unggul karena keduanya berimbang, dan kuncinya berada di kota-kota penentu laiknya Pennsylvania (20), Michigan (16), atau Georgia (16).
"Hal itu menunjukkan, kontroversi, impeachment politik dan kepongahan pemimpin, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 yang kedodoran, tidak mengubah arah perilaku politik masyarakat Amerika Serikat," katanya.
Trump kata Umam, masih mampu secara kompetitif mempertahankan basis pemilih loyalnya, ditambah dengan kepentingan dunia bisnis yang menghendaki calon dari Partai Republik karena diharapkan tidak mengubah kebijakan pajak dan dunia bisnis yang telah mereka nikmati selama 4 tahun terakhir.
Menurutnya, kualitas demokrasi AS yang semakin kurang sehat itu berpotensi menjalar ke negara-negara berkembang yang sedang berjuang melakukan konsolidasi demokrasi di negara masing-masing.
"Perang opini yang didasarkan pada hate speech, fake news hingga eksploitasi politik identitas berpotensi memunculkan instabilitas politik dan keamanan yang tidak produktif bagi proses recovery ekonomi global di masa pandemi. Terlebih lagi, terkait dengan dinamika Islam, hal ini menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan," pungkas Umam.
(Baca juga: Antisipasi Lonjakan Kasus Covid-19, Pemerintah Terapkan Rekayasa Perawatan)
"Kondisi itu semakin menunjukkan ada pergeseran fundamental karakter demokrasi Amerika saat ini. Lagi-lagi, populisme politik menguat yang ditandai oleh eksploitasi politik identitas, hoaks, fake news dan hate speech di berbagai lapisan masyarakat," ujar Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, Rabu (4/11/2020).
(Baca juga: Nama Burhanudin dan Hatta Ali Kembali Disebut di Sidang Andi Irfan Jaya)
Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC), mengatakan, pembelahan itu ditunjukkan oleh ketatnya persaingan electoral collage votes di fase penghitungan hari ini, antara Donald Trump dan Joe Biden di Pemilu 2020.
Hingga di penghujung penghitungan, belum bisa ditarik kesimpulan siapa yang unggul karena keduanya berimbang, dan kuncinya berada di kota-kota penentu laiknya Pennsylvania (20), Michigan (16), atau Georgia (16).
"Hal itu menunjukkan, kontroversi, impeachment politik dan kepongahan pemimpin, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 yang kedodoran, tidak mengubah arah perilaku politik masyarakat Amerika Serikat," katanya.
Trump kata Umam, masih mampu secara kompetitif mempertahankan basis pemilih loyalnya, ditambah dengan kepentingan dunia bisnis yang menghendaki calon dari Partai Republik karena diharapkan tidak mengubah kebijakan pajak dan dunia bisnis yang telah mereka nikmati selama 4 tahun terakhir.
Menurutnya, kualitas demokrasi AS yang semakin kurang sehat itu berpotensi menjalar ke negara-negara berkembang yang sedang berjuang melakukan konsolidasi demokrasi di negara masing-masing.
"Perang opini yang didasarkan pada hate speech, fake news hingga eksploitasi politik identitas berpotensi memunculkan instabilitas politik dan keamanan yang tidak produktif bagi proses recovery ekonomi global di masa pandemi. Terlebih lagi, terkait dengan dinamika Islam, hal ini menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan," pungkas Umam.
(maf)