MK Kembali Gelar Sidang Uji Materi UU Penyiaran Rabu Pagi Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-undang ( UU) Penyiaran yang diajukan RCTI dan iNews TV , Rabu (4/11/2020) pagi. Berdasarkan laman resmi MK tercantum informasi singkat bahwa persidangan perkara nomor: 39/PUU-XVIII/2020 terkait dengan pengujian materiil UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945 akan berlangsung pukul 11:00 WIB, Rabu (4/11/2020).
Masih website yang sama, tercantum pemohon perkara ini ada dua. Masing-masing yakni PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur sebagai pemohon I dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur sebagai pemohon II. Para pemohon didampingi Muhammad Imam Nasef sebagai kuasa pemohon. (Baca juga: OTT Perlu Diatur UU Penyiaran Demi Kelangsungan Ekonomi Digital Indonesia)
"Rabu, 4 November 2020, pukul 11.00 WIB, nomor perkara: 39/PUU-XVIII/2020, acara: mendengarkan keterangan ahli dan saksi Presiden (VII)," bunyi informasi singkat di website resmi MK, seperti dikutip MNC News Portal di Jakarta, Rabu (4/11/2020) pagi.
Secara spesifik, iNews TV dan RCTI mengajukan uji materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang berbunyi, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
iNews TV dan RCTI dalam permohonan sebelumnya menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para pemohon. Alasannya ketentuan pasal a quo menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) antara para pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran. (Baca juga: Uji Materi UU Penyiaran, Indonesia Tidak Boleh Dijajah Secara Digital)
Bagi iNews TV dan RCTI, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran juga menyebabkan hingga kini penyiaran yang menggunakan internet seperti Layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran. Padahal, UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Dengan tidak terikatnya penyiaran berbasis internet maka berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.
Masih website yang sama, tercantum pemohon perkara ini ada dua. Masing-masing yakni PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur sebagai pemohon I dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur sebagai pemohon II. Para pemohon didampingi Muhammad Imam Nasef sebagai kuasa pemohon. (Baca juga: OTT Perlu Diatur UU Penyiaran Demi Kelangsungan Ekonomi Digital Indonesia)
"Rabu, 4 November 2020, pukul 11.00 WIB, nomor perkara: 39/PUU-XVIII/2020, acara: mendengarkan keterangan ahli dan saksi Presiden (VII)," bunyi informasi singkat di website resmi MK, seperti dikutip MNC News Portal di Jakarta, Rabu (4/11/2020) pagi.
Secara spesifik, iNews TV dan RCTI mengajukan uji materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang berbunyi, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
iNews TV dan RCTI dalam permohonan sebelumnya menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para pemohon. Alasannya ketentuan pasal a quo menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) antara para pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran. (Baca juga: Uji Materi UU Penyiaran, Indonesia Tidak Boleh Dijajah Secara Digital)
Bagi iNews TV dan RCTI, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran juga menyebabkan hingga kini penyiaran yang menggunakan internet seperti Layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran. Padahal, UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Dengan tidak terikatnya penyiaran berbasis internet maka berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.
(kri)