Catatan Kritis terhadap PKPU Pungut Hitung dan Sirekap di Pilkada 2020
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) menambahkan hal baru dalam proses rekapitulasi, yakni Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Hal ini dimuat dalam Peraturan KPU ( PKPU ) soal tahapan pemungutan, penghitungan dan tahapan rekapitulasi suara yang baru saja diuji publik.
Sirekap merupakan perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi untuk pelaksanaan rekapitulasi hasil pemungutan suara demi mempercepat infromasi hasil Pilkada 2020 . Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengakui kehadiran Sirekap memang penting sebagai bagian transformasi tahapan pilkada mengikuti perkembangan masyarakat.
Dalam proses transformasi, tentu masih ditemukan banyak masalah. Alwan mengungkapkan, hal paling sederhana adalah soal landasan hukum proses yang masih mengacu rekapitulasi manual berjenjang seperti selama ini dilakukan. Selain itu, masih ada 514 kecamatan di daerah pemilihan yang mengalami kendala jaringan internet.
"Apakah tahapan rekapitulasi sudah siap dengan instrumen Sirekap pada Pilkada 2020, lalu bagaimana dengan kesiapan KPU, dan keterpenuhan regulasi?," kata Alwan dalam keterangannya kepada SINDO Media, Minggu (1/11/2020).
(Baca: Pemakaian Aplikasi e-Rekap Penghitungan Suara Tunggu Ketentuan PKPU)
Berkaitan dengan ini, Alwan berpendapat perlu diatur pengecualian dalam proses rekapitulasi jika sewaktu-waktu aplikasi Sirekap tiba-tiba tidak bisa digunakan atau tidak berfungsi. Padahal, rekapitulasi harus diselesaikan pada hari yang sama. Pengaturan pemungutan suara dalam format ini juga belum mengadopsi protokol kesehatan, sehingga tidak ada logisitik atau tata cara pelaksanaannya.
"Pengaturan pelaksanaan pemungutan suara dalam draft tidak mengatur tata cara pelaksanaan dalam kondisi bencana nonalam," papar Alwan.
Alwan mempertanyakan Pasal 1 angka 29 PKPU soal apakah perangkat derah sampai level kelurahan/desa yang berhak untuk mengeluarkan surat keterangan. Sebab dalam pasal tersebut tidak memberikan penjelasan secara teknis dan terperinci. Pasal 5 huruf i tidak mengatur soal pemilih yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak punya KTP-el atau surat keterangan (suket). ”Jadi bukti identitas lain seperti apa yang dapat digunakan?” katanya.
Selain itu, lanjut Alwan, Pasal 10 ayat 1 mengatur jumlah pemilih dalam TPS sebanyak 800 pemilih. Ini secara otomatis membatalkan PKPU Covid-19 yang menjelaskan jumlah pemilih dalam TPS sebanyak 500 pemilih. "Jumlah tersebut sangat rawan dalam masa pandemi," imbuh Alwan.
Selanjutnya, Pasal 15 Ayat 2 memberikan syarat baru untuk TPS, yakni diutamakan di tempat yang terdapat jaringan internet. Alwan menilai hal ini akan menyulitkan kelompok pengelenggara pemungutan suara (KPPS) di daerah dengan akses internet tidak memadai.
Sirekap merupakan perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi untuk pelaksanaan rekapitulasi hasil pemungutan suara demi mempercepat infromasi hasil Pilkada 2020 . Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengakui kehadiran Sirekap memang penting sebagai bagian transformasi tahapan pilkada mengikuti perkembangan masyarakat.
Dalam proses transformasi, tentu masih ditemukan banyak masalah. Alwan mengungkapkan, hal paling sederhana adalah soal landasan hukum proses yang masih mengacu rekapitulasi manual berjenjang seperti selama ini dilakukan. Selain itu, masih ada 514 kecamatan di daerah pemilihan yang mengalami kendala jaringan internet.
"Apakah tahapan rekapitulasi sudah siap dengan instrumen Sirekap pada Pilkada 2020, lalu bagaimana dengan kesiapan KPU, dan keterpenuhan regulasi?," kata Alwan dalam keterangannya kepada SINDO Media, Minggu (1/11/2020).
(Baca: Pemakaian Aplikasi e-Rekap Penghitungan Suara Tunggu Ketentuan PKPU)
Berkaitan dengan ini, Alwan berpendapat perlu diatur pengecualian dalam proses rekapitulasi jika sewaktu-waktu aplikasi Sirekap tiba-tiba tidak bisa digunakan atau tidak berfungsi. Padahal, rekapitulasi harus diselesaikan pada hari yang sama. Pengaturan pemungutan suara dalam format ini juga belum mengadopsi protokol kesehatan, sehingga tidak ada logisitik atau tata cara pelaksanaannya.
"Pengaturan pelaksanaan pemungutan suara dalam draft tidak mengatur tata cara pelaksanaan dalam kondisi bencana nonalam," papar Alwan.
Alwan mempertanyakan Pasal 1 angka 29 PKPU soal apakah perangkat derah sampai level kelurahan/desa yang berhak untuk mengeluarkan surat keterangan. Sebab dalam pasal tersebut tidak memberikan penjelasan secara teknis dan terperinci. Pasal 5 huruf i tidak mengatur soal pemilih yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak punya KTP-el atau surat keterangan (suket). ”Jadi bukti identitas lain seperti apa yang dapat digunakan?” katanya.
Selain itu, lanjut Alwan, Pasal 10 ayat 1 mengatur jumlah pemilih dalam TPS sebanyak 800 pemilih. Ini secara otomatis membatalkan PKPU Covid-19 yang menjelaskan jumlah pemilih dalam TPS sebanyak 500 pemilih. "Jumlah tersebut sangat rawan dalam masa pandemi," imbuh Alwan.
Selanjutnya, Pasal 15 Ayat 2 memberikan syarat baru untuk TPS, yakni diutamakan di tempat yang terdapat jaringan internet. Alwan menilai hal ini akan menyulitkan kelompok pengelenggara pemungutan suara (KPPS) di daerah dengan akses internet tidak memadai.