Sebar Uang di Pilkada, Berujung di Penjara

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 14:47 WIB
loading...
A A A
"Sama juga, memang biayanya tidak terlalu tinggi, dia hanya akan membeli anggota DPRD per kepala. Misalnya anggota DPRD ada 50 orang, dia akan beli 50 persen lebih, misalnya 30 anggota dengan anggaran misalnya satu suara berapa miliar," katanya.( )

Ujang mengatakan, sejarah adanya pilkada langsung karena ada ketidakpercayaan ke DPRD karena para calon kepala daerah membeli suara DPRD. "2005 diawali pilkada langsung, ternyata biayanya jauh lebih tinggi karena harus berhadapan dengan seluruh masyarakat di satu kabupaten, misalnya, termasuk membeli rekomendasi parpol. Ini persoalannya dari hulu ke hilir diuangkan semua. Dari mulai memberikan rekomendasi, lalu kampanye, dan lainnya sampai kemenangan, itu uang semuanya. Ini membuat pilkada menjadi mahal," tuturnya.

Menurut Ujang, dalam pengajuan permohonan rekomendasi partai politik untuk bisa maju dalam pilkada, satu partai di tingkat kabupaten/kota ada yang mematok biaya hingga Rp25 miliar, tergantung jumlah kursinya. "Bagaimana satu partai menghargai satu kursi DPRD dengan nilai Rp5 miliar. Kalau dia punya lima kursi sudah Rp25 miliar. Bayangkan begitu tinggi. Di situlah letak tinggi biaya calon kepala daerah," katanya.

Akibatnya ketika mereka terpilih, tidak sedikit yang akhirnya melakukan praktik-praktik koruptif. "Bahkan ada yang sudah ijon di awal. Dia akan melakukan tukar guling ijon APBD di awal dengan pengusaha. Nah inilah yang membuat kepala daerah terkena KPK, bahkan ada perizinan konsesi tambang, minyak, gas, dan lainnya," katanya.
(dam)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2958 seconds (0.1#10.140)