Sebar Uang di Pilkada, Berujung di Penjara

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 14:47 WIB
loading...
Sebar Uang di Pilkada,...
Tingginya biaya yang harus dikeluarkan calon untuk mengikuti pilkada dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai ada potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, tingginya biaya yang harus dikeluarkan calon untuk mengikuti pilkada dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah setelah terpilih.

Bahkan, hasil survei KPK menemukan sebesar 82,3% dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Hadirnya donatur disebabkan adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai pilkada.

Hal ini sejalan dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan ada 294 kepala daerah tersandung kasus tindak pidana korupsi selama periode 2010-2019. Sebanyak 11 kasus di antaranya terkait dengan kepentingan pilkada.

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, mahalnya biaya politik dalam pilkada memang benar adanya. Bahkan, dirinya pernah melakukan survei dengan bertanya langsung kepada calon kepala daerah di sebuah kabupaten di wilayah Jawa Barat yang mengaku harus mengeluarkan biaya politik untuk pilkada hingga Rp40 miliar.

"Akhirnya dia menang, tapi setelah menang, dia nyari duit, akhirnya masuk penjara juga," ujarnya, Jumat (23/10/2020).( )

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, fakta tersebut tidak bisa dihindari. Namun persoalan sebenarnya adalah calon kepala daerah sendiri yang mencari uang dan membagikan kepada publik pemilih.

"Kalau mereka bersih, tidak gunakan politik uang maka tidak akan setinggi itu biayanya. Jadi mereka sendiri yang berlomba-lomba mencari bohir, pengusaha, pembiayaan untuk dana kampanye dan pemberian amplop di hari H sehingga dana pilkada melonjak tinggi, dan itu terjadi di setiap pilkada, bukan rahasia umum lagi," katanya.

Ujang bahkan mengaku pernah menjadi tim sukses salah satu calon kepala daerah.
Dia mengetahui ada calon kepala daerah yang menyiapkan uang Rp40 miliar dengan jumlah pemilih sebanyak 3 juta orang. "Dia menyiapkan 1.500.000 amplop yang isinya Rp20.000 untuk dibagi-bagikan pada hari H, dan ini fakta," urainya.

Karena itu, menurut dia, hal ini perlu dievaluasi. Persoalannya apakah dengan tingginya biaya politik dari pilkada langsung kemudian pilkada dikembalikan ke DPRD lantas tidak ada praktik korupsi? Ujang mengatakan bahwa hal yang sama akan terjadi.

"Sama juga, memang biayanya tidak terlalu tinggi, dia hanya akan membeli anggota DPRD per kepala. Misalnya anggota DPRD ada 50 orang, dia akan beli 50 persen lebih, misalnya 30 anggota dengan anggaran misalnya satu suara berapa miliar," katanya.( )

Ujang mengatakan, sejarah adanya pilkada langsung karena ada ketidakpercayaan ke DPRD karena para calon kepala daerah membeli suara DPRD. "2005 diawali pilkada langsung, ternyata biayanya jauh lebih tinggi karena harus berhadapan dengan seluruh masyarakat di satu kabupaten, misalnya, termasuk membeli rekomendasi parpol. Ini persoalannya dari hulu ke hilir diuangkan semua. Dari mulai memberikan rekomendasi, lalu kampanye, dan lainnya sampai kemenangan, itu uang semuanya. Ini membuat pilkada menjadi mahal," tuturnya.

Menurut Ujang, dalam pengajuan permohonan rekomendasi partai politik untuk bisa maju dalam pilkada, satu partai di tingkat kabupaten/kota ada yang mematok biaya hingga Rp25 miliar, tergantung jumlah kursinya. "Bagaimana satu partai menghargai satu kursi DPRD dengan nilai Rp5 miliar. Kalau dia punya lima kursi sudah Rp25 miliar. Bayangkan begitu tinggi. Di situlah letak tinggi biaya calon kepala daerah," katanya.

Akibatnya ketika mereka terpilih, tidak sedikit yang akhirnya melakukan praktik-praktik koruptif. "Bahkan ada yang sudah ijon di awal. Dia akan melakukan tukar guling ijon APBD di awal dengan pengusaha. Nah inilah yang membuat kepala daerah terkena KPK, bahkan ada perizinan konsesi tambang, minyak, gas, dan lainnya," katanya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1640 seconds (0.1#10.140)