Survei Sebut Mayoritas Mahasiswa Tak Setuju Pilkada Serentak Digelar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahasiswa kelas Komunikasi Politik Universitas Bakrie mengadakan survei tentang Persepsi Mahasiswa Indonesia terhadap Pilkada Serentak 2020 pada 224 mahasiswa dari 54 kampus.
Hasilnya, mayoritas mahasiswa menjawab tidak setuju Pilkada diselenggarakan di tengah pandemi. Namun disisi lain kemauan untuk memberikan hak suara mereka juga cukup tinggi.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu 21 Oktober 2020, mahasiswa kelas Komunikasi Politik Peminatan Jurnalistik dan Media Massa melakukan jajak pendapat sejak 29 September-9 Oktober pada 224 mahasiswa dari 54 kampus dari 22 kota yang mengadakan Pilkada mulai dari Medan sampai Manokwari.
Penyebaran kuesioner dilakukan secara elektronik dan bergulir. Hal ini sekaligus untuk melihat ciri khas jejaring pergaulan generasi Z yang cenderung jauh lebih luas dibanding generasi X dan Y berkat adanya media sosial. Mayoritas responden berusia 19-20 tahun (51,2%) dengan jumlah responden perempuan sebesar 56,3 % dan laki-laki 43,8%.( )
Staf Pengajar Komunikasi Politik Universitas Bakrie Algooth Putranto mengatakan, Gen Z yang dituduh apolitis, dalam jajak pendapat ini justru didapati hal sebaliknya. "Sebanyak 86,6 persen mahasiswa menjawab bahwa mereka mengetahui pelaksanaan Pilkada. Hanya 8,5 persen yang tidak mengetahui kalau Pilkada akan tetap dilaksanakan dan sisanya 4,9 persen tidak peduli dengan adanya pelaksanaan Pilkada 2020," katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (21/10).
Dia mengatakan, mereka yang tidak peduli memilih alasan bahwa pilkada hanya menghasilkan pemimpin dari keluarga itu-itu saja (36,4%), diikuti alasan malas (27,3%), alasan lebih baik berada di rumah sehingga aman dari tertular Covid-19 dan kecewa dengan politik sama-sama mencapai 18,2%.
Dia mengatakan, survei ini juga mengungkapkan bahwa mayoritas mahasiswa menjawab tidak setuju Pilkada diselenggarakan. Jumlah yang tidak setuju mencapai 74,6% sedangkan yang setuju pilkada tetap dilaksanakan hanya 25,4 %.
Algooth mengatakan, ada lima alasan mereka tidak setuju Pilkada serentak digelar. Yakni Pilkada akan memperbesar kasus Covid-19 (58,5%), kesehatan masyarakat lebih penting dari Pilkada (28,3%), kekhawatiran turunnya partisipasi masyarakat karena takut tertular korona (8,2%), Pilkada hanya alat bagi anak Jokowi dan Ma'ruf Amin (3,8%) dan pemerintah daerah tetap dapat berjalan dengan pejabat sementara (1,3%).( )
Mahasiswa yang disurvei juga memberikan saran lain untuk penundaan Pilkada. Yakni pelaksanaan Pilkada diundur hingga vaksinasi nasional tuntas dilaksanakan (81,8%), perluasan wewenang bagi pejabat hingga Pilkada serentak dilakukan (14,5%) dan ada juga yang menyarankan Pilkada serentak ditunda hingga tahun 2024 (3,8%).
Sementara bagi mereka yang setuju Pilkada serentak dilaksanakan, ujar Algooth, karena Pilkada memberikan kepastian adanya pemimpin daerah (37%), menjaga hak konstitusi pemilih (35,2%). merupakan keputusan pemerintah (24,1%) dan penundaan Pilkada akan menyebabkan hilangnya anggaran pilkada (3,7%).
Hasilnya, mayoritas mahasiswa menjawab tidak setuju Pilkada diselenggarakan di tengah pandemi. Namun disisi lain kemauan untuk memberikan hak suara mereka juga cukup tinggi.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu 21 Oktober 2020, mahasiswa kelas Komunikasi Politik Peminatan Jurnalistik dan Media Massa melakukan jajak pendapat sejak 29 September-9 Oktober pada 224 mahasiswa dari 54 kampus dari 22 kota yang mengadakan Pilkada mulai dari Medan sampai Manokwari.
Penyebaran kuesioner dilakukan secara elektronik dan bergulir. Hal ini sekaligus untuk melihat ciri khas jejaring pergaulan generasi Z yang cenderung jauh lebih luas dibanding generasi X dan Y berkat adanya media sosial. Mayoritas responden berusia 19-20 tahun (51,2%) dengan jumlah responden perempuan sebesar 56,3 % dan laki-laki 43,8%.( )
Staf Pengajar Komunikasi Politik Universitas Bakrie Algooth Putranto mengatakan, Gen Z yang dituduh apolitis, dalam jajak pendapat ini justru didapati hal sebaliknya. "Sebanyak 86,6 persen mahasiswa menjawab bahwa mereka mengetahui pelaksanaan Pilkada. Hanya 8,5 persen yang tidak mengetahui kalau Pilkada akan tetap dilaksanakan dan sisanya 4,9 persen tidak peduli dengan adanya pelaksanaan Pilkada 2020," katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (21/10).
Dia mengatakan, mereka yang tidak peduli memilih alasan bahwa pilkada hanya menghasilkan pemimpin dari keluarga itu-itu saja (36,4%), diikuti alasan malas (27,3%), alasan lebih baik berada di rumah sehingga aman dari tertular Covid-19 dan kecewa dengan politik sama-sama mencapai 18,2%.
Dia mengatakan, survei ini juga mengungkapkan bahwa mayoritas mahasiswa menjawab tidak setuju Pilkada diselenggarakan. Jumlah yang tidak setuju mencapai 74,6% sedangkan yang setuju pilkada tetap dilaksanakan hanya 25,4 %.
Algooth mengatakan, ada lima alasan mereka tidak setuju Pilkada serentak digelar. Yakni Pilkada akan memperbesar kasus Covid-19 (58,5%), kesehatan masyarakat lebih penting dari Pilkada (28,3%), kekhawatiran turunnya partisipasi masyarakat karena takut tertular korona (8,2%), Pilkada hanya alat bagi anak Jokowi dan Ma'ruf Amin (3,8%) dan pemerintah daerah tetap dapat berjalan dengan pejabat sementara (1,3%).( )
Mahasiswa yang disurvei juga memberikan saran lain untuk penundaan Pilkada. Yakni pelaksanaan Pilkada diundur hingga vaksinasi nasional tuntas dilaksanakan (81,8%), perluasan wewenang bagi pejabat hingga Pilkada serentak dilakukan (14,5%) dan ada juga yang menyarankan Pilkada serentak ditunda hingga tahun 2024 (3,8%).
Sementara bagi mereka yang setuju Pilkada serentak dilaksanakan, ujar Algooth, karena Pilkada memberikan kepastian adanya pemimpin daerah (37%), menjaga hak konstitusi pemilih (35,2%). merupakan keputusan pemerintah (24,1%) dan penundaan Pilkada akan menyebabkan hilangnya anggaran pilkada (3,7%).