Hadapi Kompleksitas Ancaman Keamanan, Pasukan Khusus Perlu Dioptimalkan

Rabu, 21 Oktober 2020 - 19:24 WIB
loading...
Hadapi Kompleksitas...
Rektor Unhan Laksamana Madya TNI Amarulla Octavian saat berbicara dalam Webminar Seri Kelima bertajuk Pasukan Elite Tiga Matra dan Empat Pilar MPR, Rabu (21/10/2020), yang diselenggarakan ole IPCRA dan Ikatan Alumni Unhan. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Rektor Universitas Pertahanan (Unhan), Laksamana Madya (Laksdya) TNI Dr Amarulla Octavian menyatakan perkembangan revolusi industri 4.0, ancaman senjata nuklir, biologi, kimia, serta perang siber menuntut optimalisasi kemampuan TNI, khususnya pasukan khusus, dalam mendeteksi dan menghadapi kompleksitas ancaman kemanan nasional.

Secara khusus, dia menyoroti kemungkinan besar ancaman ke depan seperti Covid-19 yang digunakan sebagai senjata biologi, serta ancaman siber seperti bom elektronik yang dapat memadamkan listrik lebih dari 24 jam yang perlu diwaspadai.

Hal itu ia sampaikan dalam acara Webminar Seri Kelima bertajuk Pasukan Elite Tiga Matra dan Empat Pilar MPR RI, Rabu (21/10/2020), yang diselenggarakan oleh Indonesia Peace & Conflict Resolution Association (IPCRA) dan Ikatan Alumni UNHAN.

Octavian menjelaskan, sifat operasi khusus di abad 21 ini sangat luas, serta terbagi menjadi spektrum masa damai dan masa perang. Pada masa damai, pasukan khusus dapat dioperasikan untuk bantuan kemanusiaan, mengatasi terorisme hingga operasi khusus seperti peperangan hibrida.

Lebih lanjut, seiring dengan luas spektrum operasi khusus tersebut, maka pasukan khusus ke depan tidak hanya menjadi instrumen militer, namun juga politik dan diplomasi, beroperasi di arena internasional, serta sebagai kekuatan awal dalam menghadapi ancaman militer, non-militer dan hibrida.

“Sifat operasi khusus di abad 21 ini sangat luas yang terbagi menjadi spektrum masa damai dan masa perang. Pada masa damai, pasukan khusus dapat dioperasikan untuk bantuan kemanusiaan, mengetasi terorisme hingga operasi khusus seperti peperangan hibrida. Lebih lanjut, seiring dengan luas spektrum operasi khusus tersebut, maka pasukan khusus ke depan tidak hanya menjadi instrumen militer, namun juga politik dan diplomasi, beroperasi di arena internasional, serta sebagai kekuatan awal dalam menghadapi ancaman militer, non-militer dan hibrida,” tutur perwira tinggi bergelar Doktor ini.

Selaras dengan itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo menuturkan, peningkatan kapasitas pasukan khusus harus menjadi sebuah upaya yang berkesinambungan. Sebab, berbaurnya ancaman militer dan non-militer mendorong terciptanya dilema geopolitik dan geostrategis global yang sulit diprediksi dan diantisipasi.

Konsepsi mengenai ancaman keamanan nasional telah mengalami pergeseran, di mana ancaman keamanan nasional tidak hanya dalam bentuk konvensional, namun juga non-konvensional yang bersifat kompleks, multidimensional, serta berdimensi ideologis yang hadir antara lain dengan berkembangnya sikap intoleran, tumbuhnya radikalisme dan terorisme, munculnya sikap disintegrasi hingga separatisme, serta berbagai bentuk ancaman lainnya yang menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Dia menuturkan, pasca reformasi terjadi kekosongan yang luar biasa terhadap pembinaan mental ideologi bangsa, terutama pada anak-anak kita di sekolah dan perguruan tinggi. Akibatnya, data PPIM UIN 2018 menyebutkan, sebanyak 63 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain.

Berdasarkan data Kemhan, sebanyak 3 persen anggota TNI terpapar ekstrimisme. Survei Alvara menyatakan 19,4% PNS tidak setuju Pancasila. Survei Cisfrom 2018 menyatakan, 36,5% kampus islam setuju khilafah, serta data BNPT menyatakan tujuh kampus terpapar ekstrimisme agama.

“Pasca reformasi terjadi kekosongan yang luar biasa terhadap pembinaan mental ideologi bangsa, terutama pada anak-anak kita di sekolah dan perguruan tinggi. Akibatnya, data PPIM UIN 2018 menyebutkan, sebanyak 63 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain. Berdasarkan data Kemhan, sebanyak 3 persen anggota TNI terpapar ekstremisme," tuturnya.

Survei Alvara, kata dia, menyatakan 19,4% PNS tidak setuju Pancasila. Survei Cisfrom 2018 menyatakan 36,5% kampus islam setuju khilafah, serta data BNPT menyatakan tujuh kampus terpapar ekstremisme agama,” tuturnya kepada lebih dari seribu peserta Webminar.

Sementara itu, Danjen Kopassus, Mayjen TNI M Hasan menyatakan, Kopassus dibutuhkan sebagai satuan pemukul yang memiliki kemampuan dan fleksilibilitas tinggi dengan bertujuan untuk merubah perimbangan strategis.

Menurut dia, Kopassus selalu siap digerakkan dalam menghadapi ancaman militer, non militer dan hibdria, serta potensi ancaman saat ini, yaitu Covid-19, krisis ekonomi, perang siber, media sosial, perang nubika, bencana alam, proxy war, terorisme, narkoba, dan ideologi.

Strategi Kopassus dalam menghadapi kompeksitas ancaman tersebut adalah dengan mewujudkan Kopassus yang adaptif, fleksibel, modern dan tangguh dengan pembangunan postur Kopassus yang highly prepared, highly trained, highly equipped dan highly supported. Secara khusus, dalam menghadapi ancaman terorisme, Kopassus sudah melakukan sejak tahun 1981 dan telah diakui oleh dunia.
(Baca juga: Pemerintah Tegaskan Vaksin Covid-19 Gratis untuk Rakyat Miskin)
Untuk itu, dari sisi kemampuan dan pengalaman, Kopassus mampu dan siap dalam mengatasi aksi terorisme, namun perlu adanya payung hukum berupa peraturan presiden yang sedang dirancang saat ini.

Menurut dia, strategi Kopassus dalam menghadapi kompeksitas ancaman tersebut adalah dengan mewujudkan Kopassus yang adaptif, fleksibel, modern dan tangguh dengan pembangunan postur Kopassus yang highly prepared, highly trained, highly equipped dan highly supported.

"Secara khusus, dalam menghadapi ancaman terorisme, Kopassus sudah melakukan sejak tahun 1981 dan telah diakui oleh dunia. Untuk itu, dari sisi kemampuan dan pengalaman, Kopassus mampu dan siap dalam mengatasi aksi terorisme, namun perlu adanya payung hukum berupa peraturan presiden yang sedang dirancang saat ini,” kata perwira tinggi lulusan akademi militer angkatan 1993, ini.

Dankormar, Mayjen TNI (Mar) Suhartono menjelaskan, latar belakang pembentukan Denjaka adalah banyaknya objek vital nasional berada di daerah pantai dan lepas pantai.

Dia juga menyoroti latar belakang meningkatnya ancaman terorisme internasional, perlunya penanggulangan teror aspek laut, serta belum terbentuknya kesenjataan yang menangani secara khusus terhadap penanggulangan terorisme di laut.

Untuk itu, dia berharap perpres yang mengatur pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme dapat segera selesai sesuai dengan amanat undang-undang.

Dankorpaskhas, Marsda TNI Eris Widodo menyatakan, sesuai Pidato Presiden RI, Joko Widodo, pada peringatan HUT TNI Ke-75 di Istana Negara, ketika berbicara ancaman hibdrida, maka dapat muncul ancaman konvensional dan non-konvensional.(Baca juga: Jokowi Belum Teken UU Cipta Kerja)

Ketika ancaman tersebut masuk kepada perang hibrida, maka cara berperang menjadi demasifikasi, yaitu pelibatan unit kecil, teknologi persenjataan yang presisi, serta perang drone. Untuk itu, peran pasukan khusus dengan misi khusus yang memiliki keunggulan kecepatan dan fleksibilitas menjadi penting dan relevan dalam aspek penangkal, penindak dan pemulih ancaman tersebut.

Sebagai penyelenggara Webminar, Ketua Indonesia Peace & Conflict Resolution Association (IPCRA) Bonar Nasution mengatakan, selain untuk memperingati HUT ke 75 TNI, kegiatan ini bertujuan untuk membuka wawasan publik mengenai peran strategis TNI, khususnya pasukan elite dari tiga matra, dalam menghadapi kompleksitas ancaman keamanan nasional ke depan.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1070 seconds (0.1#10.140)