Masa Depan Pendidikan Pesantren

Kamis, 22 Oktober 2020 - 05:58 WIB
loading...
Masa Depan Pendidikan Pesantren
Muhtadin AR
A A A
Muhtadin AR
ASN Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI

HARI Santri yang diperingati setiap 22 Oktober selalu memunculkan ingatan pada kontribusi para santri untuk negeri ini. Sudah tak terhitung kontribusi mereka untuk bangsa ini, baik saat merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan hingga hari ini. Santri selalu berada di garda terdepan. Namun, bagaimana prospek santri pada masa-masa yang akan datang?

Tulisan ini ingin memotret pendidikan di pesantren, dan prospeknya bagi masa depan santri pascalahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Banyak orang membayangkan, akan seperti apa pendidikan pesantren ke depan? Pertanyaan ini muncul lantaran dalam UU tersebut terdapat skema baru tentang penyelenggaraan pendidikan di pesantren, sebuah skema yang tidak lagi menginduk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Seperti diketahui, sejak awal 80-an, sebagaimana diungkapkan Karel Steenbring dalam Pesantren Madrasah Sekolah (1986), pendidikan pesantren telah bergeser ke arah pendidikan formal, dari kiai haji menjadi doktorandus. Pergeseran ini mencapai puncaknya saat muncul UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Hampir semua pesantren (untuk tidak mengatakan seluruhnya) beramai-ramai mendirikan lembaga pendidikan formal, baik yang berbentuk sekolah (SD, SMP, SMA/SMK) maupun madrasah (MI, MTs, MA).

Pergeseran ini merupakan respons pesantren atas perlakuan pemerintah yang kurang adil kepada pendidikan di pesantren, di mana para lulusannya tidak diakui sehingga tidak bisa berkompetisi di sektor-sektor formal. Jadi, ini bisa dimaknai sebagai usaha sadar pesantren terhadap masa depan lulusannya. Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui pendidikan formal terpaksa harus disikapi pesantren agar lulusannya bisa ikut berkompetisi.

Tentu pergeseran model pendidikan ini menjadi pilihan berat, tapi itulah takdir yang harus dijalani pesantren. Kontribusi pesantren dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia yang belum menjadi eviden bagi pemerintah untuk mengakui model pendidikannya, tidak menjadikan pesantren patah arang. Namun inilah yang kemudian “menjerumuskan” pendidikan di pesantren ke dalam jurang formalisasi pendidikan.

Akibat pergeseran ini, pesantren bahkan “hampir” kehilangan identitasnya sebagai tempat mencetak ahli agama, lembaga yang hanya fokus pada tafaqquh fiddin. Wajah pesantren telah berubah menjadi wajah pendidikan formal yang penguasaan agamanya hanya sebagai pelengkap, wajah yang gamang: tidak ahli dalam ilmu agama, juga tidak ahli dalam ilmu umum.

Kini, pemerintah telah mengambil langkah yang lebih akomodatif terhadap pendidikan pesantren. UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara terang benderang mengakui pendidikan yang ada di pesantren. Semua lulusan pendidikan di pesantren menurut U ini akan diberikan pengakuan yang sama dengan satuan pendidikan lain, sebagaimana sekolah dan madrasah. Lulusannya juga bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, dan juga bisa berkompetisi di sektor formal.

Pertanyaannya, apakah pesantren berani menanggalkan wajahnya yang sekarang untuk kembali ke wajah lamanya sebagai lembaga pendidikan yang fokus pada pendalaman ilmu agama, tafaqquh fiddin? Beranikah pendidikan pesantren kembali ke wajah aslinya menjadi lembaga yang menyiapkan kader-kader ulama, para ahli agama yang ‘alim ‘allamah?

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara garis besar berisi tiga fungsi pesantren, yaitu fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Tapi dari 55 pasal yang ada, sebanyak 21 pasal berkaitan dengan fungsi pendidikan. Hanya ada 6 pasal berisi tentang fungsi dakwah, dan 3 pasal tentang fungsi pemberdayaan masyarakat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1252 seconds (0.1#10.140)