Kritik dan Pujian Fraksi PKS untuk Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menilai, kinerja satu tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin jauh dari keberhasilan bahkan cenderung memprihatinkan. Hal ini diperparah faktor eksternal pandemi Covid-19 yang sayangnya tidak ditangani dengan manajemen dan kepemimpinan yang efektif.
Meski demikian, Jazuli mengapresiasi bahwa di tengah hantaman Covid-19 ini Indonesia termasuk negara yang tidak terlalu terdampak, dibandingkan negara lain. "Respons cepat tim ekonomi juga patut apresiasi, dalam kerja sama dengan BI dalam menjaga stabilitas rupiah dan pendanaan dampak Covid. Patut disyukuri juga sampai kini tidak ada laporan bank yang collaps," kata Jazuli dalam keterangannya, Rabu (21/10/2020).
Sementara dari sisi penanganan dampak Covid-19, Jazuli menekankan perlunya percepatan realisasi bansos kepada masyarakat diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan ekonomi. Sayangnya, pemerintah tidak hadir dengan manajemen dan kepemimpinan bencana yang efektif, sehingga jelas arah dan kebijakan mengatasi COVID-19 dan dampaknya. ( )
"Akibat ketidakjelasan tersebut, kita tidak pasti kapan terminasi pandemi. Beban ekonomi juga semakin berat jika berlarut-larut. Instruksi dan harapan Presiden pun kepada jajarannya selalu meleset," kata Jazuli.
Secara ekonomi, sambung Jokowi, kinerja satu tahun Jokowi sejak dilantik 20 Oktober 2019 lalu cenderung turun, bahkan sejak triwulan I 2020 sebelum pandemi pertumbuhan ekonomi hanya 2,97%. Kondisi ekonomi pun diperparah pandemi, sehingga tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat memburuk.
"Ditandai dengan melonjaknya kemiskinan dalam setahun ini menjadi 27,5 juta orang/10,2% (naik 3 juta dari akhir 2019). Demikian halnya dengan tingkat pengangguran naik 5,5 juta orang menjadi 12,7 juta orang/9,1%. Juga gini ratio (disparitas kaya dan miskin) meningkat dari 0,380 di akhir 2019 menjadi 0,382," katanya.
"Utang pemerintah juga melonjak tajam. Dalam satu tahun penambahan hutang sebesar Rp323,27 triliun. Sehingga total hutang Indonesia sampai Agustus 2020 mencapai Rp6.035,3 triliun," ungkap Jazuli. ( )
Ia melihat, kondisi pandemi yang tidak terkelola dengan baik mengakibatkan kondisi ekonomi nasional semakin sulit. Kebijakan PSBB yang tidak konsisten, gonta-ganti leading actor dan sektor dalam manjemen COVID-19, hingga realisasi stimulus ekonomi yang berjalan sangat lambat. Ini semua menunjukkan ketidakberesan dalam manajemen dan kepemimpinan pemerintah di tengah krisis.
Dalam catatan resmi dan evaluasi sejumlah lembaga riset ekonomi yang kredibel, sambung Jazuli, realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Penanganan COVID-19 sampai dengan 14 Oktober 2020 baru mencapai angka Rp344,11 triliun atau 49,5% dari pagu Rp695,2 triliun. Kinerja Pemerintah dalam penanganan COVID-19 dan PEN tidak optimal. Pemerintah harus meningkatkan kinerjanya dalam tiga bulan ke depan.
"Dari data Penanganan COVID-19 dan PEN 2020, realisasi Kesehatan (31,51), sektoral K/L (26,40) dan insentif dunia usaha (24,61), masih berada di bawah 50%. Kinerja penyerapan ketiga sektor tersebut belum optimal. Pemerintah perlu membuka data bantuan untuk korporasi (non UMKM), sampai saat ini belum terdapat angka realisasi dan pencapaiannya," katanya. ( )
Karena itu, menurut Jazuli, pemerintah perlu mengevaluasi program-program perlindungan sosial, khususnya Kartu Prakerja, program ini sebaiknya dirombak total jadi bantuan sosial khusus pada korban PHK jadi sangat spesifik by name by address yang datanya sudah tersedia di BPJamsostek dan bisa diverifikasi.
"Di luar serapan yang masih rendah di atas, dua sektor yang serapan tinggi yaitu perlindungan sosial 81,94% dan insentif UMKM 91,77%. Fraksi PKS mengapresiasi capaian ini, sesuai dengan desakan Fraksi PKS selama ini. Tentu saja harus didukung data dan verifikasi yang benar dan valid sehingga menghindari penyelewengan," ujar Jazuli.
Selain itu, anggota Komisi I DPR ini menambahkan, Fraksi PKS juga menyoroti kondisi politik dan penegakan hukum selama satu tahun pemerintahan Jokowi-Maruf. Koalisi besar pemerintah diakui mampu mengkonsolidasi kekuatan politik baik di pemerintahan maupun parlemen. Sayangnya Fraksi PKS menemukan kecenderungan keputusan-keputusan politik yang semakin oligarkis dan miskin diskusi publik.
Hal ini nampak pada proses pengajuan dan pengesahan Perppu Penanganan COVID-19 dan dampak ekonominya dan paling mutakhir pada pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, di mana penolakan oposisi dan suara kritis publik di luar parlemen seperti tidak dihiraukan pemerintah. Bahkan untuk sekedar menunda RUU supaya fokus pada penanganan dampak COVID-19 juga tidak dihiraukan.
"Lebih disesalkan lagi ada semacam kondisi, di mana kelompok kritis berusaha dibungkam suaranya dengan berbagai narasi yang menyudutkan. Pun, aksi demonstrasi juga cenderung dihambat dengan berbagai cara. Dan bahkan, sejumlah tokoh dan kelompok kritis ditangkap dan diproses hukum, yang sulit untuk tidak mengatakan kental bernuansa politis," katanya.
Jazuli menegaskan, hal ini diperkuat oleh banyak tokoh dan lembaga yang memiliki kredibel mengatakan bahwa demokrasi dan penegakan hukum di periode kedua Jokowi ini mengalami kemunduran. Banyak masyarakat merasa ada ketidakadilan dalam proses penegakan hukum. Hukum dirasakan tebang pilih, sebagian kasus diproses cepat bahkan ditangkap dan langsung menjadi tersangka, sementara sebagian kasus lain mandek meskipun sudah berkali-kali dilaporkan.
"Atas dasar evaluasi tersebut, saya meminta agar pemerintah lebih bijak dan memperhatikan suara-suara kritis masyarakat, mengedepankan dialog dan persuasi, bukan malah menghadapinya dengan berbagai narasi yang menyerang, aparat yang represif, serta jeratan proses hukum. Karena kritik yang disampaikan sejatinya sama-sama untuk kemajuan bangsa yang bermartabat dan berdaulat," katanya.
Meski demikian, Jazuli mengapresiasi bahwa di tengah hantaman Covid-19 ini Indonesia termasuk negara yang tidak terlalu terdampak, dibandingkan negara lain. "Respons cepat tim ekonomi juga patut apresiasi, dalam kerja sama dengan BI dalam menjaga stabilitas rupiah dan pendanaan dampak Covid. Patut disyukuri juga sampai kini tidak ada laporan bank yang collaps," kata Jazuli dalam keterangannya, Rabu (21/10/2020).
Sementara dari sisi penanganan dampak Covid-19, Jazuli menekankan perlunya percepatan realisasi bansos kepada masyarakat diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan ekonomi. Sayangnya, pemerintah tidak hadir dengan manajemen dan kepemimpinan bencana yang efektif, sehingga jelas arah dan kebijakan mengatasi COVID-19 dan dampaknya. ( )
"Akibat ketidakjelasan tersebut, kita tidak pasti kapan terminasi pandemi. Beban ekonomi juga semakin berat jika berlarut-larut. Instruksi dan harapan Presiden pun kepada jajarannya selalu meleset," kata Jazuli.
Secara ekonomi, sambung Jokowi, kinerja satu tahun Jokowi sejak dilantik 20 Oktober 2019 lalu cenderung turun, bahkan sejak triwulan I 2020 sebelum pandemi pertumbuhan ekonomi hanya 2,97%. Kondisi ekonomi pun diperparah pandemi, sehingga tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat memburuk.
"Ditandai dengan melonjaknya kemiskinan dalam setahun ini menjadi 27,5 juta orang/10,2% (naik 3 juta dari akhir 2019). Demikian halnya dengan tingkat pengangguran naik 5,5 juta orang menjadi 12,7 juta orang/9,1%. Juga gini ratio (disparitas kaya dan miskin) meningkat dari 0,380 di akhir 2019 menjadi 0,382," katanya.
"Utang pemerintah juga melonjak tajam. Dalam satu tahun penambahan hutang sebesar Rp323,27 triliun. Sehingga total hutang Indonesia sampai Agustus 2020 mencapai Rp6.035,3 triliun," ungkap Jazuli. ( )
Ia melihat, kondisi pandemi yang tidak terkelola dengan baik mengakibatkan kondisi ekonomi nasional semakin sulit. Kebijakan PSBB yang tidak konsisten, gonta-ganti leading actor dan sektor dalam manjemen COVID-19, hingga realisasi stimulus ekonomi yang berjalan sangat lambat. Ini semua menunjukkan ketidakberesan dalam manajemen dan kepemimpinan pemerintah di tengah krisis.
Dalam catatan resmi dan evaluasi sejumlah lembaga riset ekonomi yang kredibel, sambung Jazuli, realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Penanganan COVID-19 sampai dengan 14 Oktober 2020 baru mencapai angka Rp344,11 triliun atau 49,5% dari pagu Rp695,2 triliun. Kinerja Pemerintah dalam penanganan COVID-19 dan PEN tidak optimal. Pemerintah harus meningkatkan kinerjanya dalam tiga bulan ke depan.
"Dari data Penanganan COVID-19 dan PEN 2020, realisasi Kesehatan (31,51), sektoral K/L (26,40) dan insentif dunia usaha (24,61), masih berada di bawah 50%. Kinerja penyerapan ketiga sektor tersebut belum optimal. Pemerintah perlu membuka data bantuan untuk korporasi (non UMKM), sampai saat ini belum terdapat angka realisasi dan pencapaiannya," katanya. ( )
Karena itu, menurut Jazuli, pemerintah perlu mengevaluasi program-program perlindungan sosial, khususnya Kartu Prakerja, program ini sebaiknya dirombak total jadi bantuan sosial khusus pada korban PHK jadi sangat spesifik by name by address yang datanya sudah tersedia di BPJamsostek dan bisa diverifikasi.
"Di luar serapan yang masih rendah di atas, dua sektor yang serapan tinggi yaitu perlindungan sosial 81,94% dan insentif UMKM 91,77%. Fraksi PKS mengapresiasi capaian ini, sesuai dengan desakan Fraksi PKS selama ini. Tentu saja harus didukung data dan verifikasi yang benar dan valid sehingga menghindari penyelewengan," ujar Jazuli.
Selain itu, anggota Komisi I DPR ini menambahkan, Fraksi PKS juga menyoroti kondisi politik dan penegakan hukum selama satu tahun pemerintahan Jokowi-Maruf. Koalisi besar pemerintah diakui mampu mengkonsolidasi kekuatan politik baik di pemerintahan maupun parlemen. Sayangnya Fraksi PKS menemukan kecenderungan keputusan-keputusan politik yang semakin oligarkis dan miskin diskusi publik.
Hal ini nampak pada proses pengajuan dan pengesahan Perppu Penanganan COVID-19 dan dampak ekonominya dan paling mutakhir pada pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, di mana penolakan oposisi dan suara kritis publik di luar parlemen seperti tidak dihiraukan pemerintah. Bahkan untuk sekedar menunda RUU supaya fokus pada penanganan dampak COVID-19 juga tidak dihiraukan.
"Lebih disesalkan lagi ada semacam kondisi, di mana kelompok kritis berusaha dibungkam suaranya dengan berbagai narasi yang menyudutkan. Pun, aksi demonstrasi juga cenderung dihambat dengan berbagai cara. Dan bahkan, sejumlah tokoh dan kelompok kritis ditangkap dan diproses hukum, yang sulit untuk tidak mengatakan kental bernuansa politis," katanya.
Jazuli menegaskan, hal ini diperkuat oleh banyak tokoh dan lembaga yang memiliki kredibel mengatakan bahwa demokrasi dan penegakan hukum di periode kedua Jokowi ini mengalami kemunduran. Banyak masyarakat merasa ada ketidakadilan dalam proses penegakan hukum. Hukum dirasakan tebang pilih, sebagian kasus diproses cepat bahkan ditangkap dan langsung menjadi tersangka, sementara sebagian kasus lain mandek meskipun sudah berkali-kali dilaporkan.
"Atas dasar evaluasi tersebut, saya meminta agar pemerintah lebih bijak dan memperhatikan suara-suara kritis masyarakat, mengedepankan dialog dan persuasi, bukan malah menghadapinya dengan berbagai narasi yang menyerang, aparat yang represif, serta jeratan proses hukum. Karena kritik yang disampaikan sejatinya sama-sama untuk kemajuan bangsa yang bermartabat dan berdaulat," katanya.
(abd)