Isu Masa Jabatan Presiden Bukan Hal Baru, Tidak Tepat Dimunculkan Saat Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Usulan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dengan syarat sesudahnya tidak dapat dipilih kembali sebagaimana disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) boleh jadi merupakan sebuah ijtihad dari para ulama. Usulan itu dinilai untuk ikut membantu memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Kalau saya baca alasan-alasan di balik usulan tersebut sebetulnya juga ada unsur-unsur yang menggambarkan landasan sosiologisnya. Sampai di sini, tawaran MUI itu saya hormati," kata Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin saat dihubungi SINDOnews, Selasa (20/10/2020).
Namun, kata Said, isu itu harus diakui bukanlah isu yang benar-benar baru. Sudah sejak lama wacana mengenai hal tersebut muncul di ruang publik dan disuarakan oleh banyak pihak.
( ).
Dia berpandangan, isu itu disampaikan pada waktu yang kurang tepat. Sebab, masyarakat saat ini tengah fokus pada isu penolakan UU Cipta Kerja dan sedang berusaha menjaga agar isu tersebut tidak tergeser apalagi tertutup oleh isu-isu yang lain.
"Nah, wacana mengenai perubahan masa jabatan presiden yang disampaikan oleh MUI itu menurut saya berpotensi mengganggu konsentrasi rakyat yang sedang berjuang membatalkan UU Cipta Kerja," ujar Said.
Pertanyaannya, lanjut Said, kenapa isu itu harus disampaikan sekarang? Menurutnya, jika ingin dikaitkan dengan agenda Musyawarah Nasional (Munas) MUI pada November yang akan datang, ia melihat tak ada urgensi di sana.
"Kalau MUI berpikir isu itu penting dilontarkan sekarang dengan harapan aturan mengenai perubahan masa jabatan bisa diberlakukan untuk Pilpres 2024, itu jelas tidak rasional," katanya.
"Sebab, aturan masa jabatan Presiden tidak mudah untuk diubah. Aturan itu tidak hanya diatur di dalam undang-undang, tetapi juga diatur di dalam konstitusi," tambahnya.
Nah, pemerhati hukum tata negara ini menilai, untuk mengubah konstitusi itu juga bukan perkara yang mudah. Sejak bertahun-tahun lalu wacana mengenai amendemen UUD 1945 sudah sering diwacanakan, tetapi faktanya sampai hari ini tak kunjung terealisasi.
Selain itu, Said menyebut, ada banyak sekali faktor yang menyebabkan UUD 1945 termasuk aturan masa jabatan Presiden sangat sulit untuk diubah. Hal ini semestinya disadari oleh MUI. Sehingga, selain tidak ada urgensinya, tidak ada faktor kemendesakan, mencuatkan isu perubahan masa jabatan presiden saat ini adalah waktu yang sangat-sangat tidak tepat.
"Saya khawatir, setelah isu ini mucul, MUI justru bakal mendapat cemooh dari masyarakat. Bahkan mungkin saja akan muncul kecurigaan dari masyarakat bahwa di balik wacana perubahan masa jabatan Presiden ini jangan-jangan MUI memiliki ‘hidden agenda’ yang berdimensi politik," ucap Said.
(Baca Juga: Jokowi: Ada yang Ingin Cari Muka dan Jerumuskan Saya).
Menurutnya, terkait masalah masa jabatan presiden ini, yang menjadi masalah pokoknya bukan terletak pada soal berapa lama masa jabatan Presiden. "Tetapi pada soal bagaimana memperbaiki sistem rekrutmen calon presiden yang dapat membuka ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan lebih banyak calon pemimpin alternatif yang terbebas dari oligarki dan kepentingan-kepentingan pragmatis partai politik," pungkasnya.
"Kalau saya baca alasan-alasan di balik usulan tersebut sebetulnya juga ada unsur-unsur yang menggambarkan landasan sosiologisnya. Sampai di sini, tawaran MUI itu saya hormati," kata Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin saat dihubungi SINDOnews, Selasa (20/10/2020).
Namun, kata Said, isu itu harus diakui bukanlah isu yang benar-benar baru. Sudah sejak lama wacana mengenai hal tersebut muncul di ruang publik dan disuarakan oleh banyak pihak.
( ).
Dia berpandangan, isu itu disampaikan pada waktu yang kurang tepat. Sebab, masyarakat saat ini tengah fokus pada isu penolakan UU Cipta Kerja dan sedang berusaha menjaga agar isu tersebut tidak tergeser apalagi tertutup oleh isu-isu yang lain.
"Nah, wacana mengenai perubahan masa jabatan presiden yang disampaikan oleh MUI itu menurut saya berpotensi mengganggu konsentrasi rakyat yang sedang berjuang membatalkan UU Cipta Kerja," ujar Said.
Pertanyaannya, lanjut Said, kenapa isu itu harus disampaikan sekarang? Menurutnya, jika ingin dikaitkan dengan agenda Musyawarah Nasional (Munas) MUI pada November yang akan datang, ia melihat tak ada urgensi di sana.
"Kalau MUI berpikir isu itu penting dilontarkan sekarang dengan harapan aturan mengenai perubahan masa jabatan bisa diberlakukan untuk Pilpres 2024, itu jelas tidak rasional," katanya.
"Sebab, aturan masa jabatan Presiden tidak mudah untuk diubah. Aturan itu tidak hanya diatur di dalam undang-undang, tetapi juga diatur di dalam konstitusi," tambahnya.
Nah, pemerhati hukum tata negara ini menilai, untuk mengubah konstitusi itu juga bukan perkara yang mudah. Sejak bertahun-tahun lalu wacana mengenai amendemen UUD 1945 sudah sering diwacanakan, tetapi faktanya sampai hari ini tak kunjung terealisasi.
Selain itu, Said menyebut, ada banyak sekali faktor yang menyebabkan UUD 1945 termasuk aturan masa jabatan Presiden sangat sulit untuk diubah. Hal ini semestinya disadari oleh MUI. Sehingga, selain tidak ada urgensinya, tidak ada faktor kemendesakan, mencuatkan isu perubahan masa jabatan presiden saat ini adalah waktu yang sangat-sangat tidak tepat.
"Saya khawatir, setelah isu ini mucul, MUI justru bakal mendapat cemooh dari masyarakat. Bahkan mungkin saja akan muncul kecurigaan dari masyarakat bahwa di balik wacana perubahan masa jabatan Presiden ini jangan-jangan MUI memiliki ‘hidden agenda’ yang berdimensi politik," ucap Said.
(Baca Juga: Jokowi: Ada yang Ingin Cari Muka dan Jerumuskan Saya).
Menurutnya, terkait masalah masa jabatan presiden ini, yang menjadi masalah pokoknya bukan terletak pada soal berapa lama masa jabatan Presiden. "Tetapi pada soal bagaimana memperbaiki sistem rekrutmen calon presiden yang dapat membuka ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan lebih banyak calon pemimpin alternatif yang terbebas dari oligarki dan kepentingan-kepentingan pragmatis partai politik," pungkasnya.
(zik)