Pangan Bukan Sekadar soal Pasokan

Jum'at, 16 Oktober 2020 - 05:57 WIB
loading...
Pangan Bukan Sekadar soal Pasokan
Edy Purwo Saputro
A A A
Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo dan Editor Buku “Ketahanan Pangan” yang Diterbitkan Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS – Solo)

HARI Pangan Sedunia (World Food Day) diperingati setiap 16 Oktober. Tema Hari Pangan Sedunia kali ini, yaitu Grow, Nourish, Sustain.Together (Bertumbuh, Menutrisi, Mempertahankan. Bersama). Jika dicermati, isu mendasar dari tema ini tidak bisa terlepas dari realitas pandemi Covid-19. Artinya, pemenuhan kebutuhan pangan sangat penting. Esensi hal ini tidak dapat terlepas dari problem ketahanan pangan dan ancaman gizi buruk. Kasus gizi buruk tidak terlepas dari ketersediaan pangan. Padahal, ketersediaan pangan berpengaruh bagi ketahanan pangan. Jadi, impor pangan adalah bagian ancaman gizi buruk.

Jika dicermati, asupan gizi bagi sebagian masyarakat saat ini memang menjadi kebutuhan yang sulit dicapai. Ironisnya, pasokan pangan dalam negeri kini juga semakin dipenuhi dengan impor. Hal ini kemudian memicu sentimen negatif bagi rumah tangga pertanian.

Satu di antara ancaman utama dari kependudukan dunia adalah ketahanan pangan. Karena itu, harapan saat ini tidak lain adalah bagaimana agar sektor pertanian, terutama pertanian pangan, tidak dilecehkan. Sektor ini diharapkan bisa sejajar dengan industrialisasi. Bahkan,industrialisasi yang ada juga harus mengacu pada format industrialisasi yang relevan dengan pertanian pangan.Keyakinan ini pada dasarnya terkait dengan fenomena kian banyaknya kasus kelaparan-kemiskinan dan proses ketahanan pangan yang semakin memudar. Bahkan di banyak daerah, terutama di negara miskin berkembang, banyak terjadi kasus rawan pangan. Atas dasar itu, pada 2002 FAO berkomitmen memerangi kelaparan dan kemiskinan.

Kompleks
Adanya berbagai ancaman serius mengenai kerawanan pangan dan dikaitkan dengan komitmen ketahanan pangan global, maka sangat beralasan jika kini di banyak negara mulai mengembangkan pertanian organik (PO). Saat ini PO berkembang cukup pesat di Indonesia. Ini merupakan salah satu pertanda positif karena PO mulai mendapat tempat di masyarakat, baik produsen maupun konsumen. Perkembangan positif ini perlu dicermati agar tidak memicu bias yang justru merugikan kehidupan di masa depan. Di sisi lain, kendala pengembangan PO di Indonesia ternyata masih besar, lebih besar dibanding perkembangannya.

Ada banyak faktor yang menyebabkan PO masih menjadi wacana marginal dan diragukan peluangnya sebagai pertanian masa depan yang menjanjikan. Padahal, di sisi lain, pasar dan prospeknya sangat terbuka luas. Perkembangan PO di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perkembangan PO dunia, bahkan bisa dikatakan pemicu utama PO domestik yaitu karena tingginya permintaan PO di negara-negara maju. Permintaan PO di negara maju dipicu oleh menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami, dukungan atas kebijakan pemerintah, dukungan industri pengolahan pangan, dan akses pasar konvensional, yaitu supermarket menyerap 50% produk PO. 
Selain itu, adanya harga premium di tingkat konsumen, adanya label generik, serta adanya kampanye nasional PO secara gencar.

Meski sudah ada perkembangan menarik atas PO, tapi upaya itu masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat, terutama atas kebutuhan pangan, apalagi dikaitkan dengan ketahanan pangan global. Pertumbuhan permintaan PO dunia mencapai 15-20% per tahun, tetapi pangsa pasar yang mampu dipenuhi berkisar 0,5-2% dari total produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal PO terus meningkat dari rata-rata di bawah 1% (dari total lahan pertanian) pada 2019, menjadi 2-7% pada 2020 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), tapi tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan.

Fenomena ini menjadi kontras jika dikaitkan dengan ketahanan pangan karena di satu sisi ada kesadaran terhadap produk organik, sementara di sisi lain muncul kerawanan pangan karena ketidakseimbangan demand–supply. Bahkan, situasi ini di Indonesia ditutup dengan impor pangan, apalagi di masa pandemi Covid-19.

Dari fakta itu terlihat bahwa masalah rawan pangan merupakan masalah kronis yang kini dihadapi. Faktor penyebab rawan pangan antara lain lebih cepatnya pertumbuhan penduduk daripada tingkat pertumbuhan produksi pangan, bencana alam, perubahan iklim, dan realita kemunduran sumber daya alam dan lingkungan. Berkenaan dengan ini FAO pada Konferensi FAO Ke-20 November 1970 di Roma mencetuskan resolusi Nomor 179 yang kemudian disepakati semua negara anggota FAO, termasuk Indonesia, yang menetapkan untuk memperingati World Food Day (Hari Pangan Sedunia) mulai 1981 pada setiap 16 Oktober, sesuai hari didirikan FAO. Idealisme ini tidak bisa lepas dari komitmen mengembangkan pertanian pangan dan memenuhi pangan secara mudah dan murah bagi rakyat.

Konsistensi
Kecenderungan rawannya krisis pangan di dunia ini sebenarnya telah diingatkan oleh FAO, yaitu sejak diselenggarakan Konferensi Pangan Sedunia di Roma pada 1974. Indikasi ini kian nyata dengan kian banyak negara di beberapa kawasan dunia cenderung mengarah ke kemiskinan sebagai akibat tersebut. FAO juga menekankan bahwa masalah pangan hendaknya jangan dilihat semata-mata hanya pada masalah di negara-negara berkembang, negara-negara maju pun hendaknya berperan aktif untuk turut membantu mengatasinya. Pada World Food Summit (KTT Pangan Dunia) FAO, November 1996 di Roma, dideklarasikan kemauan politik dan komitmen untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan dengan memperkecil jumlah penderita kurang pangan.

Problem ketahanan pangan memang sangat kompleks, tidak hanya terkait dengan sisi pasokan pangan yang terkadang harus ditutup dengan impor pangan, tetapi juga aspek harga pangan yang murah untuk rakyat serta akses untuk mendapatkan pangan yang mudah. Oleh karena itu, perkembangan PO juga harus diperhatikan meski di sisi lain juga lebih penting untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Karena itu, komitmen atas ketahanan pangan pada dasarnya adalah tanggung jawab bersama.
Jadi, masa pandemi Covid-19 secara tidak langsung menjadi tantangan karena kemiskinan bertambah sebagai akibat dari PHK massal di sejumlah industri. Padahal, situasi yang menyertainya adalah ancaman kelaparan dan tentu bisa berdampak terhadap berbagai kasus kriminalitas. Mata rantai ini memberikan gambaran bahwa menjaga ketahanan pangan adalah tanggung jawab negara dan karenanya membangun ekonomi perdesaan menjadi penting, termasuk melalui alokasi dana desa yang tahun ini sebesar Rp72 triliun.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1657 seconds (0.1#10.140)