Menata Ulang Pencalonan Kepala Daerah Jalur Parpol

Kamis, 15 Oktober 2020 - 06:05 WIB
loading...
Menata Ulang Pencalonan...
Dayanto
A A A
Dayanto
Peneliti Hukum, Direktur Eksekutif Parliament Responsive Forum (PAMOR)

DALAM buku "Runway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives ", Anthony Giddens (1999) mengingatkan agar demokrasi dan pemerintahan dapat berlangsung secara responsif dan efektif maka suatu negara demokrasi membutuhkan pendalaman demokrasi (a deepening of democracy) yang berlangsung pada dua level sekaligus, di atas dan di bawah negara. Pendalaman demokrasi pada level "di bawah negara" dilakukan dengan membangun dan mengembangkan demokrasi lokal.

Demokrasi lokal berkaitan dengan perlindungan ruang demokratis bagi masyarakat lokal untuk mengatur, mengurus, dan memutuskan sendiri pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan diri dan daerahnya. Oleh karena itu, kebijakan negara dalam mengembangkan relasi pusat-daerah yang berbasis desentralisasi pemerintahan serta diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) menjadi agenda utama dalam penguatan demokrasi lokal.

Berdasarkan hal itu, desentralisasi pemerintahan dan pilkada merupakan dua agenda pendalaman demokrasi pada level lokal yang bak dua sisi dalam satu koin, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan adanya desentralisasi pemerintahan, masyarakat daerah--melalui DPRD dan kepala daerah--menentukan sendiri berbagai kebijakan hukum yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya dan selanjutnya menjalankan berbagai kebijakan hukum tersebut. Sementara dengan adanya pilkada, masyarakat daerah menentukan sendiri kepala daerah sebagai otoritas tertinggi pemangku kekuasaan pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya.

Favoritisme Parpol
Pilkada sebagai agenda penguatan demokrasi lokal dilaksanakan secara serentak sejak 2015 menjadi parameter penting untuk menahbiskan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Penyelenggaraan pilkada dilakukan melalui serangkaian tahapan meliputi tahap pencalonan, kampanye, dan pemungutan suara. Khusus untuk tahap pencalonan, UU Pilkada menentukan 2 (dua) mekanisme pencalonan pilkada, yakni melalui mekanisme jalur partai politik atau gabungan partai politik (parpol) dan jalur perseorangan.

Secara empirik, pencalonan pilkada melalui jalur parpol menjadi pilihan favorit bagi para calon kepala daerah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama , mekanisme jalur perseorangan harus ditempuh melalui sejumlah syarat pencalonan yang tidak mudah sebagaimana yang ditentukan oleh UU Pilkada, yakni bakal pasangan calon harus terlebih dahulu mengantongi dukungan 6,5%-10% jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan serta tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi untuk pilkada provinsi dan lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota untuk pilkada kabupaten/kota.

Kedua , pilihan pencalonan melalui mekanisme jalur parpol atau gabungan parpol diandaikan dapat mendatangkan keuntungan politis sekaligus ketika calon kepala daerah yang diusung oleh parpol atau gabungan parpol berhasil terpilih. Keuntungan politis yang dimaksud berkaitan dengan upaya membangun efektivitas pemerintahan, terutama jika calon kepala daerah didukung oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD. Calon kepala daerah terpilih berkepentingan agar misi dan program yang dijanjikan saat kampanye maupun kebijakan yang diputuskan sebagai kepala daerah tidak diganggu oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang memiliki otoritas penentu kebijakan anggaran dan legislasi daerah serta pengawasan.

Ketiga , masih kuat anggapan psikologi politik calon kepala daerah maupun masyarakat secara umum bahwa calon kepala daerah yang diusung melalui mekanisme jalur parpol atau gabungan parpol dianggap lebih siap untuk berkontestasi. Dukungan parpol atau gabungan parpol yang telah dikantongi oleh calon kepala daerah dianggap sebagai simbol kemenangan awal calon kepala daerah yang secara psikologis dapat memberikan manfaat efek domino untuk meningkatkan daya elektabilitas calon kepala daerah.

Problem Sentralisme Parpol
Akan tetapi, penyelenggaraan pilkada bukannya tanpa problem, terutama jika dikaitkan dengan upaya untuk memastikan hakikat fungsi pilkada sebagai agenda pendalaman demokrasi melalui penguatan demokrasi lokal. Salah satu problem yang mengemuka adalah kuatnya peran parpol tingkat pusat dalam tahap pencalonan kepala daerah melalui mekanisme jalur parpol atau gabungan parpol.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1903 seconds (0.1#10.140)