Penyusunan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Harus Ekstra Hati-hati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik mengenai rencana penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme terus bergulir.
Hal tersebut dibahas dalam webinar bertajuk Polemik Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme yang digelar Academics TV dan Center for Instructional Development (CID) Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Minggu 10 Oktober 2020.
Dalam webinar tersebut disimpulkan penyusunan perpres pelibatan TNI dalam aksi terorisme harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Perpres harus memperhatikan efektivitas penanganan terorisme tanpa menimbulkan masalah baru.
Ahli hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Riau, Mexasai Indra yang menjadi salah satu narasumber berbicara tentang proses regulasi yang mengatur tugas pokok TNI dan Polri yang dilakukan pasca 1998.
Menurut dia, ada perubahan paradigma di kepolisian menjadi aparat penegak hukum sipil dengan kewenangan di bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. "Wilayah penegakan hukum (law enforcement) sejatinya tidak boleh dimasuki aparat non-penegak hukum," katanya. (Baca juga: 3 Tempat Isolasi Pasien Covid-19 yang Disiapkan Pemprov DKI Belum Terisi)
Dia berpendapat pelibatan TNI dalam rangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hendaknya berdasarkan otorisasi dari pemerintah dan dengan persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam Undang-undang TNI, agar Perpres tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Mexasai menggarisbawahi, pelibatan TNI harus bersifat perbantuan, bukan tugas utama dalam hal situasi tidak bisa ditangani aparat penegak hukum.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUSKA Riau, Peri Pirmansyah mengatakan, pemisahan peran TNI dan Polri telah diatur dalam UUD 1945, dan tidak boleh dibuat rancu kembali melalui perundang-undangan yang akan dibentuk.
Menurut dia, perpres pelibatan TNI hendaknya mengatur tentang teknis pelibatan TNI dalam kerangka ancaman pertahanan, atau ancaman keamanan yang tidak mungkin ditangani aparat kepolisian.
"Dalam tugas ini harus diperhatikan rancangan yang tepat agar tidak tumpang tindih dengan aparat penegak hukum, tidak ada kewenangan instansi lain yang diambil, dan tidak mengamputasi kewenangan yang sudah ada di TNI dan instansi lain," tuturnya ( )
Hal tersebut dibahas dalam webinar bertajuk Polemik Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme yang digelar Academics TV dan Center for Instructional Development (CID) Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Minggu 10 Oktober 2020.
Dalam webinar tersebut disimpulkan penyusunan perpres pelibatan TNI dalam aksi terorisme harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Perpres harus memperhatikan efektivitas penanganan terorisme tanpa menimbulkan masalah baru.
Ahli hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Riau, Mexasai Indra yang menjadi salah satu narasumber berbicara tentang proses regulasi yang mengatur tugas pokok TNI dan Polri yang dilakukan pasca 1998.
Menurut dia, ada perubahan paradigma di kepolisian menjadi aparat penegak hukum sipil dengan kewenangan di bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. "Wilayah penegakan hukum (law enforcement) sejatinya tidak boleh dimasuki aparat non-penegak hukum," katanya. (Baca juga: 3 Tempat Isolasi Pasien Covid-19 yang Disiapkan Pemprov DKI Belum Terisi)
Dia berpendapat pelibatan TNI dalam rangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hendaknya berdasarkan otorisasi dari pemerintah dan dengan persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam Undang-undang TNI, agar Perpres tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Mexasai menggarisbawahi, pelibatan TNI harus bersifat perbantuan, bukan tugas utama dalam hal situasi tidak bisa ditangani aparat penegak hukum.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUSKA Riau, Peri Pirmansyah mengatakan, pemisahan peran TNI dan Polri telah diatur dalam UUD 1945, dan tidak boleh dibuat rancu kembali melalui perundang-undangan yang akan dibentuk.
Menurut dia, perpres pelibatan TNI hendaknya mengatur tentang teknis pelibatan TNI dalam kerangka ancaman pertahanan, atau ancaman keamanan yang tidak mungkin ditangani aparat kepolisian.
"Dalam tugas ini harus diperhatikan rancangan yang tepat agar tidak tumpang tindih dengan aparat penegak hukum, tidak ada kewenangan instansi lain yang diambil, dan tidak mengamputasi kewenangan yang sudah ada di TNI dan instansi lain," tuturnya ( )