Tindakan Represif Polisi Terhadap Demonstran Penolak UU Ciptaker Dikritik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tindakan represif oknum aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di sejumlah daerah menuai kritik.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf menilai tidak sepatutnya para demonstran diperlakukan dengan cara kekerasan. Bukhori mengatakan, aparat harus mengubah cara pandang mereka dalam menghadapi demonstran. Dia melanjutkan, para demonstran tidak boleh dipandang sebagai musuh. "Mereka tidak boleh dipermalukan, dianiaya, bahkan direndahkan martabatnya sebagai manusia sepanjang mereka tidak melakukan tindakan yang ofensif kepada aparat maupun sekitarnya,” ujar Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/10/2020). (Baca juga: Komisi III DPR Desak Kapolri Usut dan Sanksi Aparat Penganiaya Wartawan)
Dia mengungkapkan, penindakan secara tegas oleh aparat adalah hal yang dibutuhkan apabila demonstran mulai bertindak anarkis, bahkan berpotensi menimbulkan bahaya yang meluas. Kendati demikian, kata dia, prosedur penindakan secara tegas oleh aparat harus dimaknai secara hati-hati dan dilaksanakan dengan tetap mengedepankan pendekatan humanis. (Baca juga: Tangkap dan Aniaya Wartawan, Polri Didesak Evaluasi Pola Pengamanan Unras)
“Tindakan hard-approach sesungguhnya diperlukan ketika terlihat ada potensi bahaya di sana. Namun perlu diingat, hard-approach ini harus dilakukan dengan cara yang terukur dan beradab serta tidak boleh dipraktikan secara eksesif. Pasalnya, praktik penindakan harus sejalan dengan fungsi Polri, yakni sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat,” tuturnya. (Baca juga: Pengamat Intelijen: Nampak Sekali ada Penyusup dalam Aksi Demonstrasi)
Namun, sambung dia, sangat disayangkan fungsi humanis ini belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian aparat sehingga dalam realisasinya masih terdapat kelemahan. Misalnya, masih ditemukan sejumlah oknum aparat bertindak secara represif dalam penanganan terhadap aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law yang diselenggarakan di sejumlah wilayah di Indonesia beberapa hari terakhir.
“Sejujurnya saya merasa sangat pilu ketika melihat adik-adik mahasiswa kita di sejumlah daerah diperlakukan secara brutal oleh oknum aparat saat demonstrasi pada Kamis lalu. Mereka yang sudah tertangkap dalam keadaan tidak berdaya semestinya tidak diperlakukan secara kasar, apalagi sampai dianiaya secara beramai-ramai. Itu jelas pelanggaran HAM dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan," ujarnya.
"Pun jika ada yang melakukan tindakan yang melanggar hukum, saya yakin mereka adalah penyusup. Polisi pasti bisa mengidentifikasi ini dan memiliki instrumen lengkap untuk merespons hal tersebut,” sambungnya.
Dia menambahkan, para mahasiswa itu hanya ingin menyampaikan aspirasi masyarakat yang mereka bela. Maka, dia menilai tidak sepantasnya para pahlawan rakyat ini diperlakukan secara tidak manusiawi. Sebaliknya, mereka berhak diperlakukan dengan kasih sayang atas niat baik yang mereka bawa dalam aksi tersebut.
Anggota Komisi VIII DPR ini mengimbau agar Polri segera melakukan evaluasi terhadap jajarannya. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjaga reputasi dan memelihara kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Di samping itu, ia tidak lupa mengapresiasi kinerja baik Polri dalam penanganan demonstrasi di beberapa daerah yang berlangsung kondusif.
“Saya salut dengan strategi Polri di Tuban, Jawa Timur yang berhasil mengademkan massa penolak Omnibus Law dengan cara membagikan bunga, air minum, dan permen secara gratis kepada demonstran sebagai wujud simpatik sehingga aksi berlangsung damai dan lancar. Model penanganan humanis ini lah yang harus konsisten dikedepankan oleh Polri di seluruh wilayah untuk mengantisipasi kerugian materiil sampai jatuhnya korban jiwa," ujarnya.
Sebab, lanjut dia, cara kekerasan hanya akan memproduksi kebencian, sedangkan kasih sayang akan menuai penghormatan. “Kekerasan tidak boleh berulang. Rakyat dan aparat tidak sepatutnya saling dibenturkan karena ulah keserakahan oligarki yang hendak merampas kekayaan bangsa ini,” pungkasnya. Rico Afrido Simanjuntak
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf menilai tidak sepatutnya para demonstran diperlakukan dengan cara kekerasan. Bukhori mengatakan, aparat harus mengubah cara pandang mereka dalam menghadapi demonstran. Dia melanjutkan, para demonstran tidak boleh dipandang sebagai musuh. "Mereka tidak boleh dipermalukan, dianiaya, bahkan direndahkan martabatnya sebagai manusia sepanjang mereka tidak melakukan tindakan yang ofensif kepada aparat maupun sekitarnya,” ujar Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/10/2020). (Baca juga: Komisi III DPR Desak Kapolri Usut dan Sanksi Aparat Penganiaya Wartawan)
Dia mengungkapkan, penindakan secara tegas oleh aparat adalah hal yang dibutuhkan apabila demonstran mulai bertindak anarkis, bahkan berpotensi menimbulkan bahaya yang meluas. Kendati demikian, kata dia, prosedur penindakan secara tegas oleh aparat harus dimaknai secara hati-hati dan dilaksanakan dengan tetap mengedepankan pendekatan humanis. (Baca juga: Tangkap dan Aniaya Wartawan, Polri Didesak Evaluasi Pola Pengamanan Unras)
“Tindakan hard-approach sesungguhnya diperlukan ketika terlihat ada potensi bahaya di sana. Namun perlu diingat, hard-approach ini harus dilakukan dengan cara yang terukur dan beradab serta tidak boleh dipraktikan secara eksesif. Pasalnya, praktik penindakan harus sejalan dengan fungsi Polri, yakni sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat,” tuturnya. (Baca juga: Pengamat Intelijen: Nampak Sekali ada Penyusup dalam Aksi Demonstrasi)
Namun, sambung dia, sangat disayangkan fungsi humanis ini belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian aparat sehingga dalam realisasinya masih terdapat kelemahan. Misalnya, masih ditemukan sejumlah oknum aparat bertindak secara represif dalam penanganan terhadap aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law yang diselenggarakan di sejumlah wilayah di Indonesia beberapa hari terakhir.
“Sejujurnya saya merasa sangat pilu ketika melihat adik-adik mahasiswa kita di sejumlah daerah diperlakukan secara brutal oleh oknum aparat saat demonstrasi pada Kamis lalu. Mereka yang sudah tertangkap dalam keadaan tidak berdaya semestinya tidak diperlakukan secara kasar, apalagi sampai dianiaya secara beramai-ramai. Itu jelas pelanggaran HAM dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan," ujarnya.
"Pun jika ada yang melakukan tindakan yang melanggar hukum, saya yakin mereka adalah penyusup. Polisi pasti bisa mengidentifikasi ini dan memiliki instrumen lengkap untuk merespons hal tersebut,” sambungnya.
Dia menambahkan, para mahasiswa itu hanya ingin menyampaikan aspirasi masyarakat yang mereka bela. Maka, dia menilai tidak sepantasnya para pahlawan rakyat ini diperlakukan secara tidak manusiawi. Sebaliknya, mereka berhak diperlakukan dengan kasih sayang atas niat baik yang mereka bawa dalam aksi tersebut.
Anggota Komisi VIII DPR ini mengimbau agar Polri segera melakukan evaluasi terhadap jajarannya. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjaga reputasi dan memelihara kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Di samping itu, ia tidak lupa mengapresiasi kinerja baik Polri dalam penanganan demonstrasi di beberapa daerah yang berlangsung kondusif.
“Saya salut dengan strategi Polri di Tuban, Jawa Timur yang berhasil mengademkan massa penolak Omnibus Law dengan cara membagikan bunga, air minum, dan permen secara gratis kepada demonstran sebagai wujud simpatik sehingga aksi berlangsung damai dan lancar. Model penanganan humanis ini lah yang harus konsisten dikedepankan oleh Polri di seluruh wilayah untuk mengantisipasi kerugian materiil sampai jatuhnya korban jiwa," ujarnya.
Sebab, lanjut dia, cara kekerasan hanya akan memproduksi kebencian, sedangkan kasih sayang akan menuai penghormatan. “Kekerasan tidak boleh berulang. Rakyat dan aparat tidak sepatutnya saling dibenturkan karena ulah keserakahan oligarki yang hendak merampas kekayaan bangsa ini,” pungkasnya. Rico Afrido Simanjuntak
(cip)