Sembilan Sikap PBNU Terkait UU Cipta Kerja

Jum'at, 09 Oktober 2020 - 09:04 WIB
loading...
Sembilan Sikap PBNU Terkait UU Cipta Kerja
Ketua Umum NU, KH Said Aqil Siroj menyampaikan sembilan sikap NU terkait proses legislasi dan pengesahan UU Cipta Kerja. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Disahkannya Rancangan Undang-undang Cipta Kerja ( RUU Ciptaker ) menjadi undang-undang (UU) oleh DPR dan pemerintah menuai kecaman dan protes di berbagai daerah di Tanah Air. Mencermati dinamika terkait proses legislasi dan pengesahan UU Ciptaker itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun menyampaikan sembilan sikap.

Pertama, NU menghargai setiap upaya yang dilakukan negara untuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lapangan pekerjaan tercipta dengan tersedianya kesempatan berusaha. Kesempatan berusaha tumbuh bersama iklim usaha yang baik dan kondusif. (Baca juga: UU Cipta Kerja Pastikan Dukung Penciptaan Lapangan Kerja)

"Iklim usaha yang baik membutuhkan kemudahan izin dan simplisitas birokrasi. UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan menyalurkan bonus demografi sehingga dapat mengungkit pertumbuhan serta keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap)," ujar Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj dalam keterangan resminya kepada SINDOnews, Jumat (9/10/2020).

Namun, kata Said, NU menyesalkan proses legislasi UU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. Untuk mengatur bidang yang sangat luas, yang mencakup 76 UU, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kepentingan. "Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk," tegasnya.

Ketiga, lanjut Said, niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh diciderai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha. Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara.

"NU menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Cipta Kerja, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya," jelasnya..

Yang keempat, menurut Said, upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang diwujudkan dengan perluasan sistem PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan skil terbatas.

NU bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan jangka waktu paling lama tiga tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri.

"Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja," tandasnya. (Baca juga: Buruh di Sulsel Ancam Mogok Kerja Sampai UU Cipta Kerja Dibatalkan)

Kelima, upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam. Menganakemaskan sektor ekstraktif dengan sejumlah insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang, seperti pengenaan tarif royalti 0% sebagaimana tertuang di dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja mengancam lingkungan hidup dan mengabaikan ketahanan energi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1090 seconds (0.1#10.140)