Tanamkan Pancasila ke Masyarakat dengan Dialog Kerja, Bukan Dialog Teoritis
loading...
A
A
A
MANADO - Pengamalan Pancasila sebagai tindakan dan nilai sosial masyarakat Indonesia perlu menjadi prioritas ketimbang hanya menjadi pemahaman sebagai falsafah bangsa yang terkesan abstrak. Apalagi, seiring arus globalisasi melalui informasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa terancam ditinggalkan generasi muda.
Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Hariyono, dalam Rapat Koordinasi Peningkatan Aparatur Pemerintahan Kecamatan Perbatasan Tahun 2020 Regional II di Manado, Kamis, (8/10), memandang selama ini publik terlalu disesaki oleh ceramah-ceramah Pancasila yang sifatnya teoritis.
Padahal, kata Hariyono, untuk melihat wujud nyata Pancasila, ia harus diimplementasikan dalam bentuk tindakan. Menurutnya, ada dua model Pancasila, yakni dialog teoritis dan dialog kerja.
"Dialog teoritis adalah Pancasila sebagai falsafah hidup. Tapi ketika sudah sampai di masyarakat, maka Pancasila itu sudah seharusnya menjadi laku hidup," kata Hariyono.
Hal ini ditegaskan Hariyono kepada para camat di wilayah perbatasan yang masyarakatnya memiliki potensi konflik ideologi dan budaya dengan negara asing. Membangun daerah dari pinggiran seperti yang tercantum dalam nawacita Presiden Joko Widodo pertama kali adalah dengan membangun karakter masyarakat perbatasan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dorongan kata tak akan cukup membuat masyarakat sadar tentang urgensi Pancasila. Cara efektif untuk merawat Pancasila di benak mereka adalah dengan mendorong dialog kerja.
"Pancasila tak cukup dipidatokan, di kampung harus diaktualisasikan. Mereka diajak berdiskusi dan bekerjasama menerapkan ideologi Pancasila," ujarnya.
Telah banyak contoh konkret dialog kerja Pancasila yang diterapkan desa-desa di Indonesia. Sebagian di antaranya bahkan telah mendapat penghargaan dari BPIP.
Di Bengkulu, Desa Sindang Jati merupakan contoh nyata nilai Pancasila terkemas dalam bentuk moderasi beragama. Desa ini dihuni masyarakat dengan empat agama berbeda: Islam, Katolik, Kristen dan Budha. Keempatnya mampu hidup rukun dan saling membantu dalam perhelatan perayaan keagamaan dan kenegaraan.
Dengan tindakan yang dilakukan para warga di desa Sindang Jati itu, BPIP pun menobatkan desa ini sebagai "Desa Moderasi Beragama dan Kebangsaan".
Di Palu, Sulawesi Tengah, masyarakat sejak dulu kala telah tumbuh dalam semangat toleransi dan gotong royong. Kearifan lokal yang berpijak pada toleransi di wilayah ini dinilai ampuh mengatasi persoalan sosial yang datang mendera kota Palu. Bahkan, saking tingginya toleransi di daerah ini, Presiden Soekarno pernah berujar bahwa Palu ibarat rangkaian mutiara.
Lalu, ada lagi Kampung Glintung Go Green di Malang yang ditetapkan oleh BPIP sebagai Pusat Pelatihan Membangun Kampung Berbasis Gotong Royong. Kampung ini telah menularkan nilai sosialnya ke kampung-kampung lain, di antaranya Kampung Wonosari Go Green yang masih berlokasi di Malang.
Menurut Hariyono, gotong royong yang dilakukan Kampung Glintung Go Green bisa menjadi bagian dari sumber inspirasi dan prestasi di kampung-kampung yang ada di Indonesia, baik dalam hal membangun kedaulatan di bidang ekonomi, maupun sosial dan politik.
Tindakan yang barangkali tak terpikirkan oleh kebanyakan masyarakat adalah inovasi yang diciptakan Desa Ditotrunan di Lumajang. Sungai kumuh bertabur sampah yang semula mengalir di desa ini disulap menjadi tempat budidaya ikan.
Kini, ikan-ikan yang dibudidayakan dengan karamba di sungai itu dicari oleh para pedagang pasar setiap harinya. Buah inovasi ini menjadi lahan penghasilan tambahan bagi warga sekitar. Suasana di kawasan kampung ini juga menjadi asri lantaran kebun dan tanaman menghiasi sepanjang jalan dan halaman rumah warga.
Beragam kekhasan yang ada pada desa-desa tersebut menjadi contoh nyata betapa nilai-nilai Pancasila menjadi sangat berharga manakala diimplementasikan dengan dialog kerja. Gotong royong memang kunci dalam ajaran Pancasila.
Hariyono menjelaskan, Pancasila sebagai sebuah paradigma memang diperlukan dalam menetapkan koridor falsafah kenegaraan. Namun, selama Pancasila belum teraplikasi dalam sebuah tindakan, maka hal itu menjadi ironi keseharian.
Untuk itu, ia meminta para camat di perbatasan agar bersama-sama dengan masyarakatnya mengaktualisasikan nilai Pancasila dalam dialog kerja. Bukan hanya dialog teoritis yang seringkali terjebak pada retorika semata.
"Kami lebih banyak merangkul masyarakat untuk dialog kerja ketimbang dialog teoritis," kata Hariyono.
Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Hariyono, dalam Rapat Koordinasi Peningkatan Aparatur Pemerintahan Kecamatan Perbatasan Tahun 2020 Regional II di Manado, Kamis, (8/10), memandang selama ini publik terlalu disesaki oleh ceramah-ceramah Pancasila yang sifatnya teoritis.
Padahal, kata Hariyono, untuk melihat wujud nyata Pancasila, ia harus diimplementasikan dalam bentuk tindakan. Menurutnya, ada dua model Pancasila, yakni dialog teoritis dan dialog kerja.
"Dialog teoritis adalah Pancasila sebagai falsafah hidup. Tapi ketika sudah sampai di masyarakat, maka Pancasila itu sudah seharusnya menjadi laku hidup," kata Hariyono.
Hal ini ditegaskan Hariyono kepada para camat di wilayah perbatasan yang masyarakatnya memiliki potensi konflik ideologi dan budaya dengan negara asing. Membangun daerah dari pinggiran seperti yang tercantum dalam nawacita Presiden Joko Widodo pertama kali adalah dengan membangun karakter masyarakat perbatasan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dorongan kata tak akan cukup membuat masyarakat sadar tentang urgensi Pancasila. Cara efektif untuk merawat Pancasila di benak mereka adalah dengan mendorong dialog kerja.
"Pancasila tak cukup dipidatokan, di kampung harus diaktualisasikan. Mereka diajak berdiskusi dan bekerjasama menerapkan ideologi Pancasila," ujarnya.
Telah banyak contoh konkret dialog kerja Pancasila yang diterapkan desa-desa di Indonesia. Sebagian di antaranya bahkan telah mendapat penghargaan dari BPIP.
Di Bengkulu, Desa Sindang Jati merupakan contoh nyata nilai Pancasila terkemas dalam bentuk moderasi beragama. Desa ini dihuni masyarakat dengan empat agama berbeda: Islam, Katolik, Kristen dan Budha. Keempatnya mampu hidup rukun dan saling membantu dalam perhelatan perayaan keagamaan dan kenegaraan.
Dengan tindakan yang dilakukan para warga di desa Sindang Jati itu, BPIP pun menobatkan desa ini sebagai "Desa Moderasi Beragama dan Kebangsaan".
Di Palu, Sulawesi Tengah, masyarakat sejak dulu kala telah tumbuh dalam semangat toleransi dan gotong royong. Kearifan lokal yang berpijak pada toleransi di wilayah ini dinilai ampuh mengatasi persoalan sosial yang datang mendera kota Palu. Bahkan, saking tingginya toleransi di daerah ini, Presiden Soekarno pernah berujar bahwa Palu ibarat rangkaian mutiara.
Lalu, ada lagi Kampung Glintung Go Green di Malang yang ditetapkan oleh BPIP sebagai Pusat Pelatihan Membangun Kampung Berbasis Gotong Royong. Kampung ini telah menularkan nilai sosialnya ke kampung-kampung lain, di antaranya Kampung Wonosari Go Green yang masih berlokasi di Malang.
Menurut Hariyono, gotong royong yang dilakukan Kampung Glintung Go Green bisa menjadi bagian dari sumber inspirasi dan prestasi di kampung-kampung yang ada di Indonesia, baik dalam hal membangun kedaulatan di bidang ekonomi, maupun sosial dan politik.
Tindakan yang barangkali tak terpikirkan oleh kebanyakan masyarakat adalah inovasi yang diciptakan Desa Ditotrunan di Lumajang. Sungai kumuh bertabur sampah yang semula mengalir di desa ini disulap menjadi tempat budidaya ikan.
Kini, ikan-ikan yang dibudidayakan dengan karamba di sungai itu dicari oleh para pedagang pasar setiap harinya. Buah inovasi ini menjadi lahan penghasilan tambahan bagi warga sekitar. Suasana di kawasan kampung ini juga menjadi asri lantaran kebun dan tanaman menghiasi sepanjang jalan dan halaman rumah warga.
Beragam kekhasan yang ada pada desa-desa tersebut menjadi contoh nyata betapa nilai-nilai Pancasila menjadi sangat berharga manakala diimplementasikan dengan dialog kerja. Gotong royong memang kunci dalam ajaran Pancasila.
Hariyono menjelaskan, Pancasila sebagai sebuah paradigma memang diperlukan dalam menetapkan koridor falsafah kenegaraan. Namun, selama Pancasila belum teraplikasi dalam sebuah tindakan, maka hal itu menjadi ironi keseharian.
Untuk itu, ia meminta para camat di perbatasan agar bersama-sama dengan masyarakatnya mengaktualisasikan nilai Pancasila dalam dialog kerja. Bukan hanya dialog teoritis yang seringkali terjebak pada retorika semata.
"Kami lebih banyak merangkul masyarakat untuk dialog kerja ketimbang dialog teoritis," kata Hariyono.
(srf)