Kepala Daerah Diminta Waspadai Bencana di Tengah Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Memasuki musim penghujan para kepala daerah diminta mengantisipasi potensi multibencana yang mungkin terjadi. Apalagi, tahun ini fenomena La Nina akan meningkatkan frekuensi dan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia.
Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), saat ini La Lina sudah teraktivasi di Pasifik Timur. Kesimpulan tersebut didasarkan pada analisis dari potret data suhu permukaan laut di Pasifik. (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah, Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)
Kondisi ini dapat memicu frekuensi dan curah hujan di wilayah Indonesia pada bulan-bulan ke depan hingga April tahun depan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Dampaknya potensi hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, hingga longsor akan kian besar.
Tak hanya itu, ancaman gempa dan tsunami juga ikut mengancam. Antisipasi terhadap dampak bencana harus disiapkan sejak dini, apalagi kondisi pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda segera terkendali.
“Selain berbicara tentang meteorologi, kita juga berbicara tentang gempa dan tsunami. Jadi, mohon maaf kami harus menyampaikan data dan fakta potensi multibencana itu dapat terjadi. Karena, kita semua sudah tahu adalah Indonesia ini rawan gempa dan tsunami karena kondisi geologi dan tektoniknya,” ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Rakornas Antisipasi Bencana Hidrometeorologi dan Gempa Bumi-Tsunami secara virtual kemarin.
Khusus untuk gempa bumi, Dwikorita mengingatkan tren kejadian yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jika dilihat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata kejadian gempa hanya satu digit. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)
“Jadi, kalau tahun 2008 sampai 2016 tren itu rata-rata dalam satu tahun itu terjadi 5.000-6.000 kali rata-rata itu. Tetapi, 2017 meningkat jadi lebih 7.000 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan setiap tahunnya,” katanya.
Dalam dua tahun terakhir, lanjut dia, lonjakan kasus gempa kian banyak terjadi. Bahkan lonjakan bisa menembus angka dua digit. “Namun, 2018 trennya itu melompat menjadi 11.920 kali, trennya melompat. Dan, 2019 trennya masih di atas 11.000, yaitu 11.588 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan dalam satu tahun,” ucapnya.
Dari lonjakan kasus gempa bumi, kata Dwikorita, semua pihak harus mewaspadai potensi terjadi tsunami. Menurutnya, jumlah kasus gempa bumi akan linier dengan potensi kasus tsunami. Potensi tsunami ini tak hanya dipicu oleh pergeseran lempeng bumi (tektonik), tetapi yang perlu diperhatikan juga tsunami akibat aktivitas gunung berapi. “Tentunya tren kejadian gempa bumi yang meningkat ini akan memicu potensi tsunami yang juga meningkat,” katanya. (Baca juga: Berpikir Positif Enyahkan Covid-19)
Dwikorita mengatakan, dari data zona-zona yang rawan tsunami akibat gunung api terjadi di sebagian besar Indonesia timur. “Mulai dari Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku Utara, Maluku ya, sampai di dekat Papua Barat. Salah satu yang apa yang khusus ada di Selat Sunda. Jadi itu potensi tsunami di Indonesia timur,” paparnya.
Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), saat ini La Lina sudah teraktivasi di Pasifik Timur. Kesimpulan tersebut didasarkan pada analisis dari potret data suhu permukaan laut di Pasifik. (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah, Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)
Kondisi ini dapat memicu frekuensi dan curah hujan di wilayah Indonesia pada bulan-bulan ke depan hingga April tahun depan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Dampaknya potensi hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, hingga longsor akan kian besar.
Tak hanya itu, ancaman gempa dan tsunami juga ikut mengancam. Antisipasi terhadap dampak bencana harus disiapkan sejak dini, apalagi kondisi pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda segera terkendali.
“Selain berbicara tentang meteorologi, kita juga berbicara tentang gempa dan tsunami. Jadi, mohon maaf kami harus menyampaikan data dan fakta potensi multibencana itu dapat terjadi. Karena, kita semua sudah tahu adalah Indonesia ini rawan gempa dan tsunami karena kondisi geologi dan tektoniknya,” ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Rakornas Antisipasi Bencana Hidrometeorologi dan Gempa Bumi-Tsunami secara virtual kemarin.
Khusus untuk gempa bumi, Dwikorita mengingatkan tren kejadian yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jika dilihat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata kejadian gempa hanya satu digit. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)
“Jadi, kalau tahun 2008 sampai 2016 tren itu rata-rata dalam satu tahun itu terjadi 5.000-6.000 kali rata-rata itu. Tetapi, 2017 meningkat jadi lebih 7.000 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan setiap tahunnya,” katanya.
Dalam dua tahun terakhir, lanjut dia, lonjakan kasus gempa kian banyak terjadi. Bahkan lonjakan bisa menembus angka dua digit. “Namun, 2018 trennya itu melompat menjadi 11.920 kali, trennya melompat. Dan, 2019 trennya masih di atas 11.000, yaitu 11.588 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan dalam satu tahun,” ucapnya.
Dari lonjakan kasus gempa bumi, kata Dwikorita, semua pihak harus mewaspadai potensi terjadi tsunami. Menurutnya, jumlah kasus gempa bumi akan linier dengan potensi kasus tsunami. Potensi tsunami ini tak hanya dipicu oleh pergeseran lempeng bumi (tektonik), tetapi yang perlu diperhatikan juga tsunami akibat aktivitas gunung berapi. “Tentunya tren kejadian gempa bumi yang meningkat ini akan memicu potensi tsunami yang juga meningkat,” katanya. (Baca juga: Berpikir Positif Enyahkan Covid-19)
Dwikorita mengatakan, dari data zona-zona yang rawan tsunami akibat gunung api terjadi di sebagian besar Indonesia timur. “Mulai dari Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku Utara, Maluku ya, sampai di dekat Papua Barat. Salah satu yang apa yang khusus ada di Selat Sunda. Jadi itu potensi tsunami di Indonesia timur,” paparnya.