Kepala Daerah Diminta Waspadai Bencana di Tengah Pandemi Covid-19

Kamis, 08 Oktober 2020 - 07:01 WIB
loading...
Kepala Daerah Diminta...
Ilustrasi, Tim SAR saat melakukan evakuasi warga yang wilayahnya terkena banjir besar. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Memasuki musim penghujan para kepala daerah diminta mengantisipasi potensi multibencana yang mungkin terjadi. Apalagi, tahun ini fenomena La Nina akan meningkatkan frekuensi dan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia.

Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), saat ini La Lina sudah teraktivasi di Pasifik Timur. Kesimpulan tersebut didasarkan pada analisis dari potret data suhu permukaan laut di Pasifik. (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah, Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)

Kondisi ini dapat memicu frekuensi dan curah hujan di wilayah Indonesia pada bulan-bulan ke depan hingga April tahun depan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Dampaknya potensi hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, hingga longsor akan kian besar.

Tak hanya itu, ancaman gempa dan tsunami juga ikut mengancam. Antisipasi terhadap dampak bencana harus disiapkan sejak dini, apalagi kondisi pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda segera terkendali.

“Selain berbicara tentang meteorologi, kita juga berbicara tentang gempa dan tsunami. Jadi, mohon maaf kami harus menyampaikan data dan fakta potensi multibencana itu dapat terjadi. Karena, kita semua sudah tahu adalah Indonesia ini rawan gempa dan tsunami karena kondisi geologi dan tektoniknya,” ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Rakornas Antisipasi Bencana Hidrometeorologi dan Gempa Bumi-Tsunami secara virtual kemarin.

Khusus untuk gempa bumi, Dwikorita mengingatkan tren kejadian yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jika dilihat sejak 2008 hingga 2016 rata-rata kejadian gempa hanya satu digit. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)

“Jadi, kalau tahun 2008 sampai 2016 tren itu rata-rata dalam satu tahun itu terjadi 5.000-6.000 kali rata-rata itu. Tetapi, 2017 meningkat jadi lebih 7.000 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan setiap tahunnya,” katanya.

Dalam dua tahun terakhir, lanjut dia, lonjakan kasus gempa kian banyak terjadi. Bahkan lonjakan bisa menembus angka dua digit. “Namun, 2018 trennya itu melompat menjadi 11.920 kali, trennya melompat. Dan, 2019 trennya masih di atas 11.000, yaitu 11.588 kali kejadian gempa bumi dengan berbagai kekuatan dalam satu tahun,” ucapnya.

Dari lonjakan kasus gempa bumi, kata Dwikorita, semua pihak harus mewaspadai potensi terjadi tsunami. Menurutnya, jumlah kasus gempa bumi akan linier dengan potensi kasus tsunami. Potensi tsunami ini tak hanya dipicu oleh pergeseran lempeng bumi (tektonik), tetapi yang perlu diperhatikan juga tsunami akibat aktivitas gunung berapi. “Tentunya tren kejadian gempa bumi yang meningkat ini akan memicu potensi tsunami yang juga meningkat,” katanya. (Baca juga: Berpikir Positif Enyahkan Covid-19)

Dwikorita mengatakan, dari data zona-zona yang rawan tsunami akibat gunung api terjadi di sebagian besar Indonesia timur. “Mulai dari Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku Utara, Maluku ya, sampai di dekat Papua Barat. Salah satu yang apa yang khusus ada di Selat Sunda. Jadi itu potensi tsunami di Indonesia timur,” paparnya.

Dari data dan fakta tersebut, Dwikorita meminta semua pihak harus siap menghadapi bencana yang ada di depan mata. Menurutnya, antisipasi terhadap potensi bencana ini setidaknya akan meminimalkan jumlah korban.

“Ini poinnya kita harus bersiap bersama. Tidak mungkin hanya satu lembaga yang menghadapi. Oleh karena itu, tujuan kita adalah untuk melakukan persiapan-persiapan agar jangan sampai mengalami korban jiwa. Mencegah tidak mungkin, tetapi jangan ada korban jiwa,” tegasnya.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendorong kementerian dan lembaga terkait khususnya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mewujudkan alat pendeteksi tsunami atau early warning system (EWS) buatan dalam negeri. Ini sebagai mitigasi bencana alam di Indonesia. (Baca juga: Jokowi Pergi ke Luar Kota, Istana Bantah Hindari Demo Tolak Omnibus Law)

Dia pun meminta agar pengadaan alat pendeteksi tsunami atau early warning system (EWS) ini masuk ke dalam program stimulus dan tidak hanya masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Nanti tolong Pak Hammam (Kepala BPPT) nanti kita masukkan dalam program kita. Apakah ini bisa tidak kita masukkan dalam program stimulus. Jadi tidak hanya APBN, tapi juga dengan stimulus,” katanya.

Namun, Luhut meminta agar teknologi yang digunakan dalam alat pendeteksi tsunami atau early warning system (EWS) harus buatan dalam negeri sesuai instruksi Presiden Joko Widodo. Apalagi, memang terpaksa menggunakan barang dari luar negeri, maka harus ada transfer teknologi. “Tapi, kita harus pakai sebanyak teknologi karena barusan pidato Presiden juga menyampaikan harus memakai APBN, harus menggunakan sebanyak mungkin teknologi dalam negeri. Jadi, apa yang kita bisa kawinkan, apa yang kita bisa teknologi transfer, nanti tolong kepala BPPT memperhatikan ini. Saya sangat pro sekali kalau kita pakai yang dalam negeri,” tegas Luhut.

Luhut pun meminta agar semua pihak terkait tidak main-main dengan potensi multibencana yang mungkin terjadi akibat La Nina. Dia meminta semua pemangku wilayah dan stakeholder lain memanfaatkan teknologi dalam mengantisipasi dampak bencana. (Baca juga: Sebut Islam Dalam Krisis, Erdogan Cela Macron)

“Oleh karena itu, dengan kecanggihan teknologi sekarang, saya berharap kita semua terintegrasi dalam menghadapi ini semua. Jadi, jangan bermain-main lagi karena 40% lebih parah dari yang normal,” tegasnya.

Apalagi, kata Luhut, saat ini masih terjadi pandemi Covid-19 sehingga dalam penanganan ketika terjadi banjir harus tetap patuh protokol kesehatan. “Nah, ini juga disebabkan sekaligus menyangkut masalah Covid-19. Nah, Covid-19 ini untuk nanti patuh pada protokol kesehatan karena banjir itu juga isu sendiri,” katanya.

Luhut pun mengimbau seluruh gubernur khususnya Pulau Jawa untuk serius menghadapi ada potensi banjir serta penyebaran Covid-19. “Jadi, saya mohon kalau Bapak-Bapak Gubernur Pulau Jawa hadir, kita harus memperhatikan ini. Ibu Khofifah (gubernur Jawa Timur), terus kemudian Pak Ganjar (gubernur Jawa Tengah), kemudian juga Pak Ridwan Kamil (gubernur Jawa Barat), dan juga Pak Anies (gubernur DKI Jakarta) karena ini juga saya sudah bicara sama Pak Anies bahwa peringatan membuat kita juga serius,” tegasnya.

“Jadi, kita sudah menghadapi tadi Covid-19 itu sendiri, kita menghadapi lagi hujan ini akan dampaknya 40% lebih tinggi. Kita menghadapi lagi demo, kita menghadapi lagi pilkada, jadi lengkaplah itu barang itu. Jadi memang kita semua harus bersinergi. Tidak boleh saling salah-menyalahkan lagi dalam ini,” tambah Luhut.

Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan mengatakan, antisipasi bencana harus dilakukan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek perlu disiapkan peta potensi bencana. (Baca juga: Batal Demo di DPR, Ribuan Buruh Tanjung Priok Akan Geruduk Istana)

Saat ini BNPB bersama beberapa kementerian dan lembaga terkait telah mengeluarkan peta risiko bencana yang dimasukkan dalam satu aplikasi bernama InaRISK. “Dalam aplikasi termuat peta gempa bumi, peta potensi tsunami, peta potensi banjir, hingga peta potensi tanah longsor,” katanya.

Lilik mengatakan, dalam InaRISK ini ada semua informasi bencana. Informasi tersebut terus di-update secara berkala sehingga bisa menjadi referensi para pengambil kebijakan. Dalam jangka panjang para pengambil kebijakan semua informasi awal bencana bisa dikroscek dengan InaRISK untuk melihat dampak dan alternatif solusinya.

“Ini ada di sini satu informasi. Kami terus meng-update begitu ada informasi terbaru, kami selalu update ini. Dan, ini bisa menjadi referensi kita pada saat ada informasi-informasi terkait dengan ancaman bencana,” katanya.

Lilik menjelaskan, misalnya jika ada potensi hujan yang cukup ekstrem di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur, maka dengan InaRISK akan diinformasikan wilayah-wilayah mana saja yang harus siap siaga. Pemangku kepentingan kemudian bisa menganalisis apa yang harus disiapkan sehingga potensi jatuhnya korban bisa diminimalkan. (Lihat videonya: Buruh Blokir Pintu Tol di Tangerang Menolak UU Cipta Kerja)

“Ini menjadi satu bagian untuk unit analisis sehingga kalau kemudian kita masuk dalam pemantauan dan integrasi data yang ujungnya adalah informasi potensi bencana bisa sampai ke masyarakat,” katanya. (Binti Mufarida)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1125 seconds (0.1#10.140)