Kebijakan Cipta Polemik

Kamis, 08 Oktober 2020 - 05:50 WIB
loading...
Kebijakan Cipta Polemik
Banyak pihak berpendapat RUU Cipta Kerja, baik proses legislasi maupun substansinya, berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM)
A A A
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dalam sidang paripurna. Meskipun mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat, namun yang mulia para wakil rakyat bergeming. Pemerintah, setali tiga uang, bahkan terkesan menginginkan RUU, yang banyak dikritik oleh para pakar hukum, pakar tata negara, dan beragam elemen masyarakat tersebut, cepat disahkan menjadi UU.

Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, hanya dua fraksi menyatakan menolak RUU ini, yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Sementara tujuh fraksi, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menyatakan setuju.

Pengesahan yang terkesan terburu-buru dan dibahas hingga tengah malam dan pengesahannya dimajukan itu tentu menjadi pertanyaan besar masyarakat; sejatinya seberapa mendesak RUU tersebut disahkan menjadi UU? Padahal, masih banyak pasal-pasal yang dinilai kontroversial di dalamnya.

Sejatinya RUU Cipta Kerja tersebut didasari pada semangat untuk mengurangi kebijakan-kebijakan yang tumpang tindih dan rumit. Kompleksitas dan obesitas regulasi, baik di pusat maupun daerah, dengan total 43.604 peraturan, dinilai perlu untuk disederhanakan.

RUU Cipta Kerja juga diharapkan mampu mendongkrak peringkat daya saing Indonesia yang masih rendah. Berdasarkan hasil survei, beberapa faktor utama permasalahan berbisnis di Indonesia antara lain korupsi, birokrasi yang tidak efisien, kepastian kebijakan, dan ketenagakerjaan. Selain itu, tingginya angkatan kerja yang tidak/belum bekerja maupun bekerja tidak penuh dapat diakomodasi. Data mencatat, ada 7,05 juta pengangguran, 2,24 juta angkatan kerja baru, 8,14 juta setengah penganggur, dan 28,41 juta pekerja paruh waktu. Artinya, ada 45,84 juta atau 34,4% angkatan kerja yang bekerja tidak penuh.

Dengan RUU Cipta Kerja tersebut, pemberdayaan UMKM dan peningkatan peran koperasi bisa dimaksimalkan. Sebab, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 60,34% dan menyerap lebih dari 97,02% dari total tenaga kerja.
RUU tersebut juga diharapkan mampu menjadi katalisator dan memberikan perlindungan kepada perekonomian nasional di tengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global yang turut memengaruhi kondisi ekonomi Tanah Air. Seperti perang dagang antara AS dan China, ketegangan di Timur Tengah, pandemi virus korona, dan dinamika perubahan ekonomi global lainnya.

Namun, banyak kebijakan yang dinilai masyarakat justru jauh dari tujuan mulia tersebut. Alhasil, RUU Cipta Kerja mendapat respons negatif dari masyarakat. Kalangan buruh melakukan gerakan mogok nasional sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Bahkan, di sejumlah daerah diwarnai aksi demonstrasi yang berujung ricuh. Tak hanya dilakukan oleh para buruh, tetapi juga oleh para mahasiswa.

Meski sudah menuai protes dari serikat buruh di Tanah Air, pemerintah dan DPR bergeming dan terus melanjutkan upaya pengesahan RUU yang masuk dalam paket Omnibus Lawtersebut.

Seharusnya pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draf RUU Cipta Kerja dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan. Bukan malah tergesa-gesa mengesahkannya.

Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki iklim investasi dan memudahkan rekrutmen ketenagakerjaan tentu hal yang baik. Hanya, upaya tersebut harus dibarengi dengan keterbukaan dan memperhatikan aturan-aturan lain serta melindungi masyarakat secara luas. Substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

Para buruh yang tergabung dalam serikat pekerja mendesak masalah tentang pemutusan hubungan kerja (PHK), sanksi, dan tenaga kerja asing (TKA) dapat kembali kepada ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Meski demikian, yang dinilai sangat penting oleh para buruh yakni menyangkut kesejahteraan dan upah para buruh. Agar tidak terus menjadi polemik, pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Apalagi, banyak pihak berpendapat RUU Cipta Kerja, baik proses legislasi maupun substansinya, berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi HAM, terutama menyangkut hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.

RUU Cipta Kerja dinilai berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip nonretrogresi dalam hukum internasional.

Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja. Untuk menghentikan polemik, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU sebaiknya ditunda.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1898 seconds (0.1#10.140)