BKKBN: Mobilitas Penduduk Harus Dikaitkan dengan Daya Dukung Lingkungan
loading...
A
A
A
Diakui Dwi, hingga kini pengetahuan masyarakat, termasuk pejabat, tentang pembangunan berwawasan kependudukan masih terbatas. "Untuk itu kami akan fasilitasi pemahaman tentang pembangunan berwawasan kependudukan hingga ke tingkat daerah," tambahnya.
Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna MPR RI Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pentingnya menempatkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai prioritas utama. “Membangun SDM yang pekerja keras, yang dinamis. Membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Jokowi.
Pernyataan Presiden tersebut menjadi salah satu dasar pemilihan pembangunan manusia serta penguasaan ilmu dan teknologi sebagai pilar pertama Visi Indonesia 2045. Dwi mengatakan penduduk Indonesia haruslah memiliki semangat sebagai pekerja keras, terampil, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. "Informaai teknologi harus dikuasai agar SDM kita bisa berkualitas," tuturnya.
Namun bukan hanya sekedar berkualitas, menurut Dwi, kondisi itu harus juga diimbangi dengan jumlah penduduk yang seimbang dari sisi kuantitas. Kualitas dan kuantitas penduduk harus juga dilandasi oleh nilai-nilai positif dalam keluarga. "Sumber daya keluarga inilah yang menjadi salah satu penentu keberhasilan anggota keluarga," terang Dwi.
Pada bagian lain penjelasannya, Dwi mengungkapkan beberapa persoalan yang harus dituntaskan di sektor kependudukan yakni, pengendalian urbanisasi untuk pemerataan penduduk dengan tetap memperhitungkan Pulau Jawa sebagai sumber cadangan nasional seperti beras. Selain itu, "baby boomers" masih menguasai ekonomi.
Modal dan investasi masih dikuasai oleh kelompok ini. Berikutnya, perlu adanya perbandingan produktifitas antar kelompok umur dan nilai-nikai ekonomi individu. "Lainnya, berupa pemetaan kualitas SDM antar wilayah yang mempengaruhi kualitas SDM secara keseluruhan," ujar Dwi.
Sementara itu, Senior Demographer, Macquarie University, Sydney, Australia Salut Muhidin dalam paparannya mengangkat isu tren mobilitas lintas Negara. Salut mengatakan persentase migran Indonesia pada 2019 lalu 75% karena alasan bekerja. Selebihnya karena alasan konflik, "climed change" atau masalah lainnya.
Salut mengatakan pekerja migran sangat bias gender. Cenderung dikuasai oleh kaum laki-laki atau sekitar 58% dan terkonsentrasi di beberapa Negara seperti Uni Emirat Arab, Qatar, USA, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Global migran, kata Salut, 40% nya berasal dari kawasan Asia, seperti Indonesia, India, China.
Arah perpindahannya, lanjut Salut, lebih banyak ke wilayah sekitar dari negara asalnya. Pasalnya, migrasi berbiaya mahal dan butuh banyak resources, selain diminati karena adanya peluang ekonomi atau peningkatan kesejahteraan. "Pekerja Indonesia akan memilih bekerja di Malaysia. Afrika cenderung berpindah ke sesama Afrika. Asia sesama Asia. Eropa ke Eropa. Tapi ada juga kecenderungan Asia ke Eropa," jelas Salut.
Namun, kondisi itu berubah saat pandemi Covid-19. Pertengahan Maret lalu mulai banyak negara yang melakukan retraction total. Sampai Juli mencapai 400 negara. "Covid telah turunkan tingkat mobilitas. Indonesia awal Januari-Maret kirim tenaga kerja ke Singapura, Taiwan Hongkong, hingga Jepang demikian lancar. Namun mulai turun sejak April," ujarnya.
Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna MPR RI Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pentingnya menempatkan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai prioritas utama. “Membangun SDM yang pekerja keras, yang dinamis. Membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Jokowi.
Pernyataan Presiden tersebut menjadi salah satu dasar pemilihan pembangunan manusia serta penguasaan ilmu dan teknologi sebagai pilar pertama Visi Indonesia 2045. Dwi mengatakan penduduk Indonesia haruslah memiliki semangat sebagai pekerja keras, terampil, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. "Informaai teknologi harus dikuasai agar SDM kita bisa berkualitas," tuturnya.
Namun bukan hanya sekedar berkualitas, menurut Dwi, kondisi itu harus juga diimbangi dengan jumlah penduduk yang seimbang dari sisi kuantitas. Kualitas dan kuantitas penduduk harus juga dilandasi oleh nilai-nilai positif dalam keluarga. "Sumber daya keluarga inilah yang menjadi salah satu penentu keberhasilan anggota keluarga," terang Dwi.
Pada bagian lain penjelasannya, Dwi mengungkapkan beberapa persoalan yang harus dituntaskan di sektor kependudukan yakni, pengendalian urbanisasi untuk pemerataan penduduk dengan tetap memperhitungkan Pulau Jawa sebagai sumber cadangan nasional seperti beras. Selain itu, "baby boomers" masih menguasai ekonomi.
Modal dan investasi masih dikuasai oleh kelompok ini. Berikutnya, perlu adanya perbandingan produktifitas antar kelompok umur dan nilai-nikai ekonomi individu. "Lainnya, berupa pemetaan kualitas SDM antar wilayah yang mempengaruhi kualitas SDM secara keseluruhan," ujar Dwi.
Sementara itu, Senior Demographer, Macquarie University, Sydney, Australia Salut Muhidin dalam paparannya mengangkat isu tren mobilitas lintas Negara. Salut mengatakan persentase migran Indonesia pada 2019 lalu 75% karena alasan bekerja. Selebihnya karena alasan konflik, "climed change" atau masalah lainnya.
Salut mengatakan pekerja migran sangat bias gender. Cenderung dikuasai oleh kaum laki-laki atau sekitar 58% dan terkonsentrasi di beberapa Negara seperti Uni Emirat Arab, Qatar, USA, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Global migran, kata Salut, 40% nya berasal dari kawasan Asia, seperti Indonesia, India, China.
Arah perpindahannya, lanjut Salut, lebih banyak ke wilayah sekitar dari negara asalnya. Pasalnya, migrasi berbiaya mahal dan butuh banyak resources, selain diminati karena adanya peluang ekonomi atau peningkatan kesejahteraan. "Pekerja Indonesia akan memilih bekerja di Malaysia. Afrika cenderung berpindah ke sesama Afrika. Asia sesama Asia. Eropa ke Eropa. Tapi ada juga kecenderungan Asia ke Eropa," jelas Salut.
Namun, kondisi itu berubah saat pandemi Covid-19. Pertengahan Maret lalu mulai banyak negara yang melakukan retraction total. Sampai Juli mencapai 400 negara. "Covid telah turunkan tingkat mobilitas. Indonesia awal Januari-Maret kirim tenaga kerja ke Singapura, Taiwan Hongkong, hingga Jepang demikian lancar. Namun mulai turun sejak April," ujarnya.