Tak Jamin Ketahanan Pangan, Food Estate Malah Berpotensi Dikorupsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Target pemerintah memperkuat ketahanan pangan lewat proyek food estate di wilayah Kalimantan Tengah seluas 1,45 juta hektare di atas lahan bekas Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dinilai tidak akan tercapai. Program tersebut tidak bisa menyelamatkan Indonesia dari krisis pangan lantaran pembukaan lahan baru ini memerlukan waktu yang cukup lama.
Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Ferdinand Situmorang mengatakan, untuk pekerjaan land clearing saja bisa memakan waktu empat tahun. Asumsinya, dengan menggunakan satu peralatan traktor untuk satu hektare bisa berlangaung hingga lima hari. Kalau dikerjakan seribu unit traktor berarti dapatnya seribu hektare perhari.
"Dengan demikian, untuk mengerjakan land clearing dengan luas 1,4 juta hektare memerlukan waktu 1.400 hari, atau lebih kurang 4 tahun. Belum lagi pembangunan infrastruktur, penelitian tanah, pembangunan irigasi dan penyiapan tempat tinggal para pekerja. Maka kita akan mengetahui berhasil atau tidaknya pertanian tersebut setelah 6 tahun," ujar Ferdinand Situmorang melalui keterangan tertulis, Jumat (2/10/2020).
(Baca: Menteri LHK Pastikan Food Estate Sumut Gunakan Pola Agroforestry)
Menurutnya, kalau pun Kalimantan Tengah dijadikan food estate, sebaiknya dikerjakan di atas lahan yang sudah produktif saja yang selama ini sudah menghasilkan padi. "Lahan itu saja dioptimalkan sedangkan untuk lahan baru sebaiknya diabaikan saja untuk sementara ini. Kami khawatir, untuk lahan baru ini nanti hanya mengambil kayu saja, tapi pertaniannya justru gagal," katanya.
Ferdinand mengatakan, kalau beras impor tidak ada dan produksi beras dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan pangan nasional, bahaya besar akan menimpa bangsa ini. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, pemerintah harus menggenjot pertanian agar kebutuhan pangan tercukupi dan tidak perlu impor lagi.
"Konsep Pak Prabowo selaku penanggung jawab untuk proyek food estate ini jelas keliru. Kami menganggap ini sebagai proyek hayalan. Selain memerlukan waktu yang cukup lama untuk pengerjaannya dan anggaran yang sangat besar, ini juga berpotensi menjadi bancakan dari kalangan tertentu untuk kepentingan politik," tuturnya.
(Baca: Food Estate Perlu Teknologi yang Tepat)
Di sisi lain, tidak ada jaminan bahwa pertanian di lahan yang baru ini bisa berhasil karena dulu ketika di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pernah menggarap pertanian dengan membuka lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan Tengah, tapi gagal. "Kok masih mau mengulang kesalahan masa lalu?" kata Ferdinand.
Menurutnya, jika proyek ini tetap dilakukan, bukan untuk kepentingan jangka pendek, tapi kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, lebih baik pemerintah mengoptimalkan pertanian di Pulau Jawa, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan yang selama ini merupakan daerah lumbung pangan Indonesia.
"Pertanian di Sumatera Utara akan menjadi lumbung pangan di Pulau Sumatera, lahan pertanian di Sulawesi Selatan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Indonesia Timur, dan lahan pertanian di Pulau Jawa menjadi lumbung pangan di wilayah Pulau Jawa dan beberapa daerah lain yang dekat dari Pulau Jawa," katanya.
Sementara anggaran untuk pembukaan lahan baru di bekas PLG tersebut lebih baik dialihkan dan digunakan untuk pekerjaan padat karya di lahan pertanian Sumatera Utara, Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. "Pemerintah memberi subsidi pupuk kepada para petani, membuat proyek padat karya dengan mempekerjakan para petani supaya mereka mempunyai penghasilan selama proses bercocok tanam hingga memanen. Jadi tidak perlu mengirim transmigran ke Kalimantan Tengah," urainya.
(Baca: MPR Minta Waspadai Ancaman Krisis Pangan Akibat Pandemi)
Dikatakan Ferdinand, demua BUMN yang bergerak di bidang pangan, termasuk perusahaan pupuk dan Bulog supaya diberdayakan secara maksimal untuk mendukung program peningkatan pangan tersebut dengan mengerahkan semua sumberdaya yang dimiki untuk meningkatkan produksi dan distribusi ke seluruh wilayah nusantara.
Diketahui, dalam beberapa tahun ini, Indonesia mengalami krisis pangan sehingga harus mengimpor bahan pangan dari negara lain yaitu beras, gandum, kedelai dan lain lain. Badan Dunia FAO juga telah mengeluarkan warning bahwa dunia akan menghadapi krisis pangan akibat dampak Covid-19.
Dalam beberapa tahun ini pemerintah Indonesia telah menjadi negara yang mengimpor bahan pangan dari negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami krisis bahan pangan. Produksi pangan tidak mencukupi kebutuhan nasional sehingga harus mengimpor.
"Yang harus diwaspadai adalah tindakan dari negara pengekspor bahan pangan yang suatu saat menyetop ekspor mereka ke luar negeri karena mengutamakan kebutuhan dalam negerinya," katanya.
Kalau ini terjadi, kata Ferdinand, bahaya besar akan menimpa bangsa ini karena tidak tersedia bahan pangan yang cukup. "Kelaparan akan terjadi dimana mana. Rakyat mau makan apa?" pungkasnya.
Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Ferdinand Situmorang mengatakan, untuk pekerjaan land clearing saja bisa memakan waktu empat tahun. Asumsinya, dengan menggunakan satu peralatan traktor untuk satu hektare bisa berlangaung hingga lima hari. Kalau dikerjakan seribu unit traktor berarti dapatnya seribu hektare perhari.
"Dengan demikian, untuk mengerjakan land clearing dengan luas 1,4 juta hektare memerlukan waktu 1.400 hari, atau lebih kurang 4 tahun. Belum lagi pembangunan infrastruktur, penelitian tanah, pembangunan irigasi dan penyiapan tempat tinggal para pekerja. Maka kita akan mengetahui berhasil atau tidaknya pertanian tersebut setelah 6 tahun," ujar Ferdinand Situmorang melalui keterangan tertulis, Jumat (2/10/2020).
(Baca: Menteri LHK Pastikan Food Estate Sumut Gunakan Pola Agroforestry)
Menurutnya, kalau pun Kalimantan Tengah dijadikan food estate, sebaiknya dikerjakan di atas lahan yang sudah produktif saja yang selama ini sudah menghasilkan padi. "Lahan itu saja dioptimalkan sedangkan untuk lahan baru sebaiknya diabaikan saja untuk sementara ini. Kami khawatir, untuk lahan baru ini nanti hanya mengambil kayu saja, tapi pertaniannya justru gagal," katanya.
Ferdinand mengatakan, kalau beras impor tidak ada dan produksi beras dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan pangan nasional, bahaya besar akan menimpa bangsa ini. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, pemerintah harus menggenjot pertanian agar kebutuhan pangan tercukupi dan tidak perlu impor lagi.
"Konsep Pak Prabowo selaku penanggung jawab untuk proyek food estate ini jelas keliru. Kami menganggap ini sebagai proyek hayalan. Selain memerlukan waktu yang cukup lama untuk pengerjaannya dan anggaran yang sangat besar, ini juga berpotensi menjadi bancakan dari kalangan tertentu untuk kepentingan politik," tuturnya.
(Baca: Food Estate Perlu Teknologi yang Tepat)
Di sisi lain, tidak ada jaminan bahwa pertanian di lahan yang baru ini bisa berhasil karena dulu ketika di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pernah menggarap pertanian dengan membuka lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan Tengah, tapi gagal. "Kok masih mau mengulang kesalahan masa lalu?" kata Ferdinand.
Menurutnya, jika proyek ini tetap dilakukan, bukan untuk kepentingan jangka pendek, tapi kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, lebih baik pemerintah mengoptimalkan pertanian di Pulau Jawa, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan yang selama ini merupakan daerah lumbung pangan Indonesia.
"Pertanian di Sumatera Utara akan menjadi lumbung pangan di Pulau Sumatera, lahan pertanian di Sulawesi Selatan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Indonesia Timur, dan lahan pertanian di Pulau Jawa menjadi lumbung pangan di wilayah Pulau Jawa dan beberapa daerah lain yang dekat dari Pulau Jawa," katanya.
Sementara anggaran untuk pembukaan lahan baru di bekas PLG tersebut lebih baik dialihkan dan digunakan untuk pekerjaan padat karya di lahan pertanian Sumatera Utara, Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. "Pemerintah memberi subsidi pupuk kepada para petani, membuat proyek padat karya dengan mempekerjakan para petani supaya mereka mempunyai penghasilan selama proses bercocok tanam hingga memanen. Jadi tidak perlu mengirim transmigran ke Kalimantan Tengah," urainya.
(Baca: MPR Minta Waspadai Ancaman Krisis Pangan Akibat Pandemi)
Dikatakan Ferdinand, demua BUMN yang bergerak di bidang pangan, termasuk perusahaan pupuk dan Bulog supaya diberdayakan secara maksimal untuk mendukung program peningkatan pangan tersebut dengan mengerahkan semua sumberdaya yang dimiki untuk meningkatkan produksi dan distribusi ke seluruh wilayah nusantara.
Diketahui, dalam beberapa tahun ini, Indonesia mengalami krisis pangan sehingga harus mengimpor bahan pangan dari negara lain yaitu beras, gandum, kedelai dan lain lain. Badan Dunia FAO juga telah mengeluarkan warning bahwa dunia akan menghadapi krisis pangan akibat dampak Covid-19.
Dalam beberapa tahun ini pemerintah Indonesia telah menjadi negara yang mengimpor bahan pangan dari negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami krisis bahan pangan. Produksi pangan tidak mencukupi kebutuhan nasional sehingga harus mengimpor.
"Yang harus diwaspadai adalah tindakan dari negara pengekspor bahan pangan yang suatu saat menyetop ekspor mereka ke luar negeri karena mengutamakan kebutuhan dalam negerinya," katanya.
Kalau ini terjadi, kata Ferdinand, bahaya besar akan menimpa bangsa ini karena tidak tersedia bahan pangan yang cukup. "Kelaparan akan terjadi dimana mana. Rakyat mau makan apa?" pungkasnya.
(muh)